LOGINIt was an arranged marriage. She tried her best to please him and make him love her! But what's his problem?!. He's ruthless, arrogant, powerful and even cruel! When he brought home an elegant lady and married her, his action forced his arranged-marriage wife to sign the divorce papers in tears and run away from him. Unfortunately, when his arranged-marriage wife left, she got into an accident and lost almost all her memories!, She left the country and returned 5 years later as a powerful lady– admired by all! But, why was this possessive and powerful CEO chasing after her– and saying nonsense like; “Stop pretending not to know me, Vivianne!”. She doesn't know him, so, what's his problem?!.
View MoreSully menyemprotkan parfum mahal yang ia dapat dari hasil endorse toko online ke leher dan pergelangan tangannya. Rino sebentar lagi datang. Aktor pendatang baru yang ketampanannya dinilai nyaris menyerupai Dewa Yunani itu akan menyambangi apartemennya untuk pertama kali. Mengingat hal itu, Sully terkikik sembari menambahkan parfum ke leher. Ia sudah membayangkan bakal bermesraan bersama Rino sejak pagi. Mumpung Oky asistennya baru akan kembali malam nanti.
Ponsel Sully bergetar pendek-pendek. “Pasti pesan dari Rino,” ucapnya, mengecek bulu mata ekstensi sebelum mengusap layar ponsel dan membaca pesan.
‘Aku udah sampai di lobi. Jemput, ya.’
“Okay, Babe,” ucap Sully seraya mengetikkan balasan. Ia kembali memutar tubuhnya di pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca.
Sully merasa langkahnya seringan bulu dan cuping hidungnya mengembang saat beberapa orang wanita di sofa lobi melihat Rino langsung memeluk pinggang dan mengecup pipinya kanan-kiri. “Cantik banget,” kata Rino.
“Kamu juga … ganteng banget.” Sully menggandeng Rino dan menyeret pria itu ke lift untuk menuju lantai sepuluh.
“Kamu tinggal sendiri aja?” tanya Rino, mengeratkan pelukannya di pinggang Sully.
“Aku tinggal bareng Oky. Asistenku yang kemarin ketemu kamu. Oky juga temanku dari SMP,” jelas Sully, membuka pintu kamar dengan kuncinya.
“Ooo … jadi apartemen ini milik kamu?” tanya Rino, mengedarkan pandangan ke tiap sudut unit apartemen dua kamar yang baru dimasukinya.
Sully melepaskan pelukan Rino dengan senyum canggung. Itu adalah kali pertama ia dan Rino berdua di tempat tertutup. Biasanya ia bertemu Rino di café, atau clubbing bersama asisten dan teman-teman mereka. Tidak pernah pergi berdua. Hari itu bisa dikatakan sebagai kencan pertama atau pendekatan hari pertama. Entahlah. Whatever. Sully hanya ingin terlihat sempurna dan keren. Ia tak mau Rino tahu kalau itu adalah apartemen kontrakan. “Iya, ini apartemen aku,” jawab Sully tanpa menatap Rino. Ia meninggalkan Rino untuk membuat minuman di mini bar.
“Ternyata Sully keren banget,” ucap Rino, mendatangi Sully yang sedang berdiri di mini bar membuat dua gelas es teh leci untuk mereka.
Sully terkesiap saat Rino memeluknya dari belakang. Melingkarkan tangan di pinggangnya dengan erat, lalu mengecup lehernya hingga ia setengah terangkat. Isi gelas yang dipegangnya sedikit berguncang. Sully menunduk memandang jemari Rino yang seputih pualam mengusap perutnya dari atas kaus.
“Wangi banget,” bisik Rino, mengecup cuping telinga Sully dengan mata terpejam.
Gerakan Sully mengaduk es teh terhenti. Ia menelengkan kepala menikmati kecupan-kecupan kecil yang didaratkan Rino di lehernya. Kuduknya merinding karena embusan hangat napas pria itu. Sully merasa tubuhnya limbung, lalu Rino menguatkan cengkeraman di perutnya.
Tak sadar Sully mengerang halus dan meletakkan pengaduk ke meja bar. Es teh leci bisa menunggu. Mereka sudah sering meminumnya. Berbeda dengan kesempatan langka bisa bertemu dan bercumbu di luar jadwal Rino yang padat. Saat ia merasa jemari Rino menyusup menyentuh kulit pinggangnya, Sully memutar tubuh. Ia menautkan pandangan pada Rino yang sudah menatapnya dengan sorot sayu.
“Sully memang cantik,” ucap Rino, mengusap pipi Sully dengan punggung jarinya. Pria itu lalu membawa tubuh Sully semakin rapat, kemudian menunduk.
Sully memejamkan mata menantikan ciuman Rino.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan keras di pintu membuat keduanya membuka mata. “Siapa?” bisik Rino, memandang Sully.
Tok! Tok! Tok!
“Lis! Buka!” teriak suara dari luar.
Sully membelalak dan melepaskan pelukan Rino dari pinggangnya. “Itu asisten aku. Kamu duduk aja. Aku buka pintu sebentar.” Sully kikuk menghampiri pintu seraya merapikan pakaian dan rambutnya. Ia membuka pintu dengan sedikit celah. “Ada ap—” Ucapannya terhenti. Seorang wanita berpakaian batik dan dua orang wanita berseragam polisi berdiri di belakang Oky.
“Di dalam ada Rino, kan? Minta dia pulang sekarang juga. Bilang aku ada urusan yang lebih penting dan perlu pakai ruang tamu. Sekarang juga,” bisik Oky.
Sully menoleh gelisah pada tiga wanita asing di belakang Oky. “Ada masalah apa, sih? Memangnya enggak bisa kamu selesaikan di lobi aja?” Sully melihat ke dalam ruangan. Rino sedang tersenyum manis ke arahnya. “Tunggu ke lobi aja. Aku susul ke bawah sebentar lagi.”
Oky berdecak kesal dan membuka sebuah kantung serut besar yang ditentengnya sejak tadi. “Masalah ini. Kamu ingat?” tanya Oky dengan bisikan bernada tajam. “Kamu jual barang palsu, Lis.”
Mata Sully terbelalak. Ia membekap mulut untuk mencegahnya berteriak. Sebuah tas brand high-end LEMMES yang baru dijualnya seminggu yang lalu pada Istri Kapolda sekarang berada di tangan Oky.
Sully segera masuk ke dalam dan tak lama menyeret Rino ke depan pintu. “Maaf—maaf. Asistenku…Mbak Oky maksudnya baru kasih info kalau hari ini ada jadwal meeting,” kata Sully, meraup bum bag dan kunci mobil Rino dari meja lalu menjejalkannya ke dekapan pria itu.
“Meeting?” Rino menerima semua barang-barangnya dengan wajah bingung. Ia melirik kehadiran dua wanita berseragam polisi bersama Oky.
“Meeting kerja sama mengisi acara ulang tahun Bayangkari. Ini sepatu kamu. Ayo, dipakai,” kata Sully, berjongkok menyodorkan sepasang sepatu Rino, lalu mendorong punggung pria itu agar cepat keluar dari apartemen. “Ayo, ibu-ibu silakan masuk. Ky, tamunya dibawa masuk dulu. Aku antar Rino sampai ke lift.” Sully menelan ludah dan mengangguk pada tiga orang wanita yang menatapnya tajam. Sekejab saja ia merasa tubuhnya tak dialiri darah. Tangannya sedingin es dan keringat membasahi dahinya. Ia bahkan tidak mendengar apa yang dikatakan Rino sebelum mereka berpisah di mulut lift.
“Barang palsu? Barang palsu? Kok, bisa palsu? Selama ini aman-aman aja.” Sully menyugar rambutnya dengan kalut sebelum masuk ke apartemennya.
Sully berdeham pelan dan duduk di sebelah Oky. Seorang wanita memakai pakaian batik duduk di seberang mereka. Sedangkan dua wanita yang memakai seragam tetap berdiri mengawasi.
“J-jadi gimana, Ky?” tanya Sully terbata. Ia tak berani menatap wanita di seberangnya.
“Istri Pak Kapolda minta pengembalian uang segera. Tas ini terbukti palsu. Kamu juga bisa dituntut pasal perbuatan tidak menyenangkan. Katanya sudah membuat malu Istri Pak Kapolda. Beliau merasa dilecehkan di depan teman-temannya. Gimana, Lis?” Oky bicara dengan nada setenang mungkin. Rahangnya terjatuh rapat setelah itu.
“M-maaf, Bu. Saya benar-benar tidak ada maksud mempermalukan beliau. Terakhir kali bertemu kami makan siang dan semuanya baik-baik aja. Itu adalah tas kedua yang dibeli beliau dari saya. Dari supplier yang sama. Saya juga enggak tahu kalau itu palsu. Kalau untuk penggantian seluruhnya, uang saya tidak cukup—”
“Tapi kamu harus bertanggung jawab,” potong wanita dengan baju batik.
Sully tersentak menyentuh dadanya. “Iya, Bu…iya. Saya pasti tanggung jawab. Sekarang saya cuma punya seratus juta,” kata Sully. “Saya pasti kembalikan semuanya. Tapi saya perlu waktu. Saya mau cari suppliernya. S-saya enggak mungkin punya uang sebanyak itu sekarang-sekarang ini,” tambah Sully cepat-cepat.
“Sully pasti tanggung jawab, Bu. Dia juga enggak akan berani macam-macam. Apalagi customernya orang penting,” tambah Oky.
Wanita dengan baju batik menarik napas memandang Sully dan Oky bergantian. Dia meraih ponselnya dan mengetik cukup lama, kemudian menunggu beberapa saat.
Lalu ….
“Kita buat surat perjanjian di atas materai. Pelunasan sesuai harga tas paling lama diterima bulan ketiga di tanggal yang sama dengan hari ini. Uang seratus juta tadi bisa ditransferkan sekarang ke rekening beliau. Beliau tunggu sekarang.”
Sully mengambil ponselnya dan menatap Oky dengan wajah merana. Dalam hitungan menit uang seratus juta sudah berpindah tangan dan menit berikutnya ia sudah menandatangani perjanjian pengembalian 700 juta paling lama tiga bulan ke depan.
“Oke, surat perjanjian ini akan saya bawa dan tas palsu ini juga akan tetap saya bawa sebagai barang bukti. Mbak Sully diharap untuk selalu mengupdate kabar terbaru soal progress kasus ini dan saya akan meminta dua anggota saya untuk rutin datang ke sini.”
Sully dan Oky saling pandang dan membisu cukup lama. Sampai dengan semua tamu pulang, Sully menangis sejadi-jadinya. “Ky, aku enggak mau didatangi polisi lagi. Aku pasti bayar, tapi aku enggak mau ketemu polisi-polisi itu lagi.”
“Jadi, gimana?”
“Aku mau pergi dari sini. Ke mana aja. Yang penting enggak ketemu polisi,” jawab Sully dalam isakan.
“Kabur? Lagi?” Oky menendang coffee table dengan putus asa.
To Be Continued
After eating together with her family, Vivianne drove to her company and was currently inside her office. During the past year, so many things have happened. Not only did her company flourish very well and was ranked third after her brother's many companies, she received two confessions from the two people she had never expected the confessions from. Before that, it was thanks to all the investments she made that her company boosted into success. All four companies she had invested in: the technology company, the perfume manufacturing company, the interior design company, and the food manufacturing company. All of them turned out really great and contributed a lot to her Z-company's unshakable growth. Everyone who had doubted her leadership at first, even manager Erika, couldn't stop praising and complimenting her. Also, she got inspired because of what had happened to her in her life. Due to that, she developed a game. A special game where women with weak voices are given the o
Ever since the moment Brianna ran away with Harry a year ago, Kendrick had been searching for them ever since, but to no avail. His life had been a mess. He had no idea that Brianna was so wicked and would actually do such a miserable thing to him. He missed his son. He had even involved the police, but he couldn't understand why they had not been able to find his son, Harry. That made him begin to wonder. Was it that the police were incompetent? Or was it because Brianna was such a great hider? He simply didn't understand at all. As a result of his messy life, his company had almost gone down the drain, as he infrequently visited the company. Even if he did visit the company, he wouldn't pay attention to his company's stock or anything, as his full attention was fixed on finding his son and getting his son back. He didn't care about Brianna anymore and even hated her completely because of the kind of evil she had done to him. He didn't mind if she decided to stay hiding all
Inside a restaurant, A long two-seater sofa and two chairs surrounded a fancy red table. Sitting on the sofa were Vivianne and her mother, Pearl. While Barrett and Garrett were sitting on the chairs. The waitress came and served the food Vivianne and her family had ordered, before she went on her way. On the table, there were burgers, chicken drumsticks, a cup of ice cream, rice and vegetables, and lastly, a bottle of milk and two bottles of red wine and glasses of water. The burgers and ice cream were ordered by Vivianne, while the rest of the food was ordered by Barrett and Garrett. Barrett and Garrett purposely ordered a lot of food because they wanted Pearl to eat her fill today. Recently, Pearl had been skipping eating food, and they did not like that. They knew that she missed her husband, but they wanted her to understand that they also missed him, even though they weren't shedding tears like her every single day for him to return. Grabbing her cup of ice cre
Upon arriving inside the building and parking her car in the building’s parking lot, Vivianne got out of her car and went to the building’s first floor, where she entered an elevator and pressed the 19th floor button. Luckily, no one stopped the elevator, so she arrived at her condo’s unit floor just in time. The door to the elevator opened up, and she went out of it, before heading straight for her condo. She opened the door to the condo and entered the house. Actually, she has a penthouse, which she fully bought from the building’s owner. But the thing was, she had to leave the penthouse and newly bought a condo, because the condo was closer to her company, compared to the penthouse. Though the penthouse still belonged to her. Vivianne arrived inside her bedroom and tossed her car key and her cell phone on top of her bed. She rushed into the bathroom, and after removing her grey shorts and the black tank top she was wearing, she stood under the shower after switching it on.
A year later, The boxing gym, Vivianne’s eyes were shut, and she was standing in front of a punching bag. She was wearing grey shorts, together with a black tank top, and punching gloves. The clothes she wore revealed her fairly muscular body, but her six-pack was hidden behind the tank top. She took a deep breath, before opening her eyes. Her gaze was fierce, and her brows furrowed as she stared at the punching bag, before attacking it with the different punching and kicking techniques she had learned over the months under coach Jimmy’s supervisor. The punching bag eventually scattered, thanks to Vivianne's brutal attacks on it. “Wow, you've greatly improved, Vivianne!”. Jimmy clapped as he said to her. He had been standing close and had been watching her. He was proudly smiling as he approached her with a towel. Vivianne chuckled. She collected the towel from Jimmy and used it to wipe the sweat on her face and neck. She was still wiping away her sweat when she ask
The eyes of the shareholders were fixed on Theodore and they never left his side. The long silence was starting to become too awkward. Taking a deep breath in, Theodore’s gaze became serious. He said, “Who among you were the ones that daringly tried to take over this company after my father was imprisoned?”. “Ahem”. The shareholders cleared their throats and avoided staring at Theodore. Their action made Theodore frown and get up from his seat. He slammed both his hands on the long table, and they flinched. He said to them, “I will let your betrayal slide this time, because if I should fire all of you right now, the company would be shaken. But if you dare try to take over this company next time, you will find out that a doctor can also get crazy”. After saying that, Theodore looked at the shareholders' faces and didn't avert his gaze from them for even a second. The aura that surrounded him was filled with authority. He was reminding them that after Richard, his father, he w












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments