Della mengerjap. Matanya terbuka perlahan. Gadis itu mengernyit saat merasa silau karena cahaya yang masuk dari sela-sela jendela.
Saat akan bangun, sebuah tangan menahannya. Della mendongak, menatap orang yang berada tepat di sampingnya itu.
"Ardan?" lirihnya.
"Jangan bangun dulu! Istirahat aja!"
Della mendesis pelan saat merasakan kepalanya terasa nyeri. "Gue dimana ini, Dan?""Rumah sakit."
Della terdiam. Gadis itu menjelajah sekeliling tempat dia berada dengan matanya. "Kok gue bisa disini sih, Dan? Apa maag gue kambuh lagi ya?"
Ardan menatapnya bingung. "Lo nggak inget?"
"Inget apa?"
"Kemarin kita makan di restoran. Terus pulangnya elo-"
"Restoran?" sela Della.
Ardan mengangguk mantap. Dan hal itu membuat Della kebingungan.
"Bukannya gue lagi sama Vika kemarin?" ujar gadis itu.
Ardan mengerjap. Pemuda itu mengamati Della dengan seksama. Gadis itu terlihat aneh.
"Elo lagi sama Vika?" ujar Ardan bingung.
Della mengangguk cepat. Dan setelahnya gadis itu meringis akibat rasa sakit luar biasa di kepalanya saat dia mengangguk. Matanya langsung terpejam rapat. Gelap dan sakit, itulah yang mendominasi pikirannya.
"Sakit... " rintihnya.
"Della!" Ardan maju untuk memeriksa kepala Della yang berbalut perban. Luka benturan di kepalanya akibat kecelakaan cukup parah. Della mengalami koma selama satu minggu. Ardan benar-benar bersyukur nyawa Della masih bisa diselamatkan. Karena jika tidak, Ardan pasti merasa sangat berdosa. Karena ajakannya untuk makan di luar waktu itu membuat Della celaka.
"Gue panggil dokter bentar. Lo diem disini!" pesannya pada gadis itu. Kemudian Ardan bergegas keluar ruangan untuk memanggil dokter.
***
"Dan!"
Ardan mendongak mendengar seseorang memanggil namanya. "Iya Dok?"
"Bisa ke ruangan saya?"
Ardan mengangguk. Pemuda itu mengikuti langkah Dokter Adam, dokter di klinik kampusnya yang kini sedang bertugas di rumah sakit tempat Della di rawat.
"Duduk, Dan!" suruh Dokter Adam.
Ardan mengangguk. Pemuda itu menarik kursi tepat berhadapan dengan Dokter Adam. Ardan begitu cemas saat melihat raut wajah Dokter Adam. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Della.
"Gimana Della, Dok?"
Dokter Adam tidak langsung menjawab. Pria itu menghela nafas panjang terlebih dahulu sebelum berbicara. Dan itu semakin menguatkan dugaan Ardan jika ada yang tidak beres dengan Della.
Ardan mendengarkan setiap perkataan Dokter Adam dengan dada berdebaran. Dia sangat-sangat ketakutan. Ardan sungguh takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Della. Dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Kamu udah kasih tau Della kalau dia keguguran?" tanya Dokter Adam dengan hati-hati.
Ardan menggeleng. "Sesuai saran Dokter, saya nggak kasih tau tentang bayinya."
Dokter Adam mengangguk paham. "Sebaiknya memang nggak dulu, Dan. Atau jangan dikasih tau sama sekali."
Ardan menaikkan sebelah alisnya. Dia bingung dengan ucapan Dokter Adam. "Maksudnya, Dok?"
"Saya perlu pemeriksaan lanjutan pada Della. Karena-"
"Della kenapa, Dok?" sela Ardan cemas.
Dokter Adam terdiam sejenak. "Ada sesuatu buruk yang menimpa Della, Dan." Pria itu menghela nafas panjang. Raut wajahnya terlihat sedih. Dia sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada Della.
Della adalah gadis yang baik. Dia sudah mengenalnya bertahun-tahun lalu ketika pertama kali bekerja sebagai dokter umum di klinik milik universitas tempat Della dan Ardan berkuliah.
"Ap-apa?" kata Ardan terbata. Wajahnya seketika putih pucat. Pria itu memandang Dokter Adam dengan was-was.
"Saya perlu persetujuan keluarga Della untuk pemeriksaan lanjutan. Kamu tau dimana tempat tinggal mereka?"
Ardan menggeleng pelan. Jantungnya berdebar-debar. Mendengar pernyataan ambigu dokter Adam membuatnya sontak cemas tidak terkira.
"Dan!"
Ardan tersentak. "Y-ya, Dok?"
"Saya perlu persetujuan keluarga Della."
Ardan menggeleng. "Saya nggak berhubungan sama keluarganya, Dok. Setau saya mereka di Surabaya. Dan Kakaknya nggak bisa dihubungi sama sekali."
Dokter Adam mendesah pelan. "Kalau begitu saya nggak bisa memeriksa Della lebih lanjut, Dan. Harus ada persetujuan dari pihak keluarganya."
"Kalau gitu anggap saja saya keluarganya, Dok."
"Tapi kamu kan teman-"
"Saya calon suaminya!" ujar Ardan cepat sebelum Dokter Adam menyelesaikan kata-katanya. Entah apa yang dipikirkan oleh pria itu. Rasa penasaran membuatnya melontarkan kata-kata asal yang mungkin akan membuatnya dalam masalah.
Tapi biarlah, dia hanya ingin tau tentang keadaan Della. Soal masalah lain, biar jadi urusan nanti. Baginya Della yang terpenting. Gadis itu yang terpenting baginya.
Dokter Adam terlihat kaget karena pernyataan Ardan. Namun akhirnya dia mengangguk. "Jadi kamu pria yang menghamili Della ya?" kesalnya.
***
"Amnesia?" ujar Ardan lirih.
Dokter Adam mengangguk. "Amnesia retrograde lebih tepatnya. Della melupakan sebagian peristiwa sebelum dia kecelakaan, Dan. Dan mungkin nanti dia juga melupakan kejadian setelah kecelakaan itu."
Ardan terbelalak. Pria itu menggeleng tak percaya. Apa separah itu kecelakaan yang dialami Della tempo hari sampai menghilangkan sebagian ingatannya?
"Apa itu buruk, Dok?" kata Ardan dengan suara serak karena terlalu syok.
Dokter Adam tersenyum tipis. "Jelas buruk, Dan. Della kehilangan ingatannya selama beberapa waktu. Dan ingatannya mungkin nggak akan pulih seperti semula biarpun dilakukan terapi."
"Astaga, Della..."
Ardan memukul meja tanpa sadar. Kemudian pemuda itu menjambak rambutnya sendiri. Dia jelas begitu terpukul mendengar kabar itu.
Ardan merasa bersalah karena sudah memaksa Della ikut dengannya saat itu. Coba saja kalau dia tidak mengajak Della makan di luar, pasti Della tidak akan seperti ini sekarang. Seharusnya dia saja yang celaka, kenapa harus Della.
"Pesan saya, jangan bilang apapun tentang bayinya, Dan. Kemungkinan Della nggak ingat kalau dia sedang hamil."
Ardan hanya diam mematung. Tidak merespon sedikitpun perkataan Dokter Adam. Dia malah memikirkan seberapa banyak yang dilupakan Della.
"Apa kamu melihat tanda-tanda yang aneh pada Della sebelum kecelakaan?" tanya Dokter Adam.
Ardan menggeleng. "Saya nggak tau pasti, Dok. Tapi teman saya, Vika. Dia lebih tau tentang Della dibanding saya."
Dokter Adam mengangguk. "Saya nggak menemukan adanya trauma otak pada Della. Jadi, jika tidak terjadi trauma neutro, kemungkinan besar penyebab Della mengalami amnesia retrograde adalah trauma psikologis atau emosional," jelasnya.
Ardan menggeleng tak mengerti akan ucapan Dokter Adam. "Maksud Dokter?"
"Mungkin dia pernah mengalami sesuatu yang buruk sebelumnya. Dan trauma emosional itu yang membuat Della kehilangan sebagian ingatannya," ujar Dokter Adam
Ardan masih melayangkan tatapan bingungnya pada Dokter Adam.
"Atau dia memang sengaja ingin melupakannya," sambung Dokter Adam lagi.
***
"Jadi kamu pria yang menghamili Della ya?" ucapan Dokter Adam terus terngiang di benak Ardan. Berbagai pertanyaan terus memenuhi pikirannya. Ardan tau Della adalah gadis baik-baik. Selama ini Ardan tidak melihat Della dekat dengan laki-laki.
Orang terdekatnya hanyalah dia dan juga Vika. Ardan sangat mengenal Della. Dia tau Della tidak mungkin semurah itu sampai hamil di luar nikah. Tidak, Della tidak seperti itu...
Lantas bagaimana Della bisa hamil? Apakah ada yang selama ini gadis itu sembunyikan darinya dan Vika. Karena menurut Vika Della tidak sedang berpacaran dengan siapapun. Sehari-hari Della hanya berhubungan dengan Vika dan Ardan saja di kampus.
Ardan menghela nafas panjang, berusaha mengingat-ingat siapa lagi pria yang belakangan ini dekat dengan Della. Namun sungguh sulit untuk mengingatnya. Tapi kemudian Ardan mendadak teringat akan seseorang. Dia yang Della sebut Kakak. Pria itu... Mungkinkah?
"Dan..."
Ardan tergagap ketika Della menepuk pundaknya keras. "Kenapa, Del? Ada yang sakit?" tanyanya dengan nada cemas.
"Gue pengen keluar," kata Della pelan.
"Keluar kemana?"
"Kemana aja, Dan. Gue bosen disini terus. Gue butuh udara segar."
"No! Elo masih sakit," balas Ardan dengan tegas.
"Tapi kan Dan... "
"Nanti kalo elo udah sembuh baru elo boleh keluar."
"Ardan...!"
"Nggak, Della! Gue bilang nggak ya nggak!" Pria itu mengabaikan Della, memilih menyalakan televisi dan melihat siaran berita olahraga dari channel televisi nasional.
"Dan please... "
"Nggak!"
"Ardan! Tolong dong, bentar aja kok."
"Sekali nggak ya nggak!"
"Ardan!' Ardan mendesah lelah endengar rengekan Della untuk kesekian kalinya hari ini. Gadis itu memang sangat keras kepala. "Apalagi, sih?" kesalnya.
Della mencebik. "Gue pengen keluar," ujarnya memelas. Berharap Ardan akan luluh seperti biasanya.
"Lo masih sakit, Dell! Lo nggak denger kata Dokter Adam tadi, hah? Lo nggak boleh banyak gerak!"
"Tapi gue bosen disini, Dan!"
"Tunggu beberapa hari lagi," ujar Ardan.
"Tapi kan, Dan-"
"Della, please! Jangan nyusahin gue yang udah bayarin biaya rumah sakit lo ya! Nanti kalau lo keluar sekarang dan akhirnya lo drop lagi, gue yang susah! Biaya rumah sakit lo itu nggak murah, Dell!"
Della merengut mendengar ucapan Ardan. Ternyata dia tidak berharga buat sahabatnya itu. Bahkan Ardan sepertinya lebih khawatir pada uangnya daripada Della. Dasar!
"Lo mah lebih sayang uang dari pada gue," kata Della sebal. Dan tentu saja perkataannya diabaikan begitu saja oleh Ardan. Pria itu justru mengambil sebungkus roti yang ada di atas nakas samping tempat tidur Della. Ardan membuka bungkusnya lalu memberikannya pada Della.
"Nih! Makan aja rotinya sama nonton TV!"
Della menampik roti yang diberikan oleh Ardan. "Gue nggak doyan roti," kesalnya.
Ardan menyipitkan mata tak percaya. "Biasanya lo doyan makan apapun kecuali sampah."
"Ardan!" seru Della sebal.
Ardan terkekeh. Meskipun dalam kondisi sakit, ternyata Della masih bisa membuatnya tertawa.
"Eh... Kakak lo kok masih nggak biaa dihubungin sih, Dell?" tanya Ardan seraya melahap roti yang tadi ditolak oleh Della.
Della mengendikkan bahu. "Paling Kak Verona sibuk sama acara lamaran sama pertunangannya. Sampe lupa sama hapenya."
Ardan manggut-manggut. "Kakak lo sama pikunnya ya sama lo!"
Della melotot tak terima. "Lebih parah Kak Ve tau! Gue kan pinter. Ingatan gue tajem setajem silet!" ujarnya.
Mendadak roti yang akan ditelan Ardan tersangkut di tenggorokan. Pemuda itu buru-buru menyambar botol air minum di atas meja. Lalu meminumnya hingga setengah.
Dia tiba-tiba berdiri. "Eh... gue ke kantin dulu ya! Mau beli rokok. Lo mau nitip nggak?" ujarnya.
Della menggeleng. "Nggak deh. Gue udah kenyang."
Ardan mengangguk. "Ya udah. Gue keluar bentar ya! Lo disini aja!" pesannya.
"Iya."
Ardan beranjak menuju ke arah pintu. Namun langkahnya terhenti saat Della memanggilnya.
"Kenapa? Mau sesuatu?"
Della menggeleng. "Jangan banyak ngerokok. Nggak baik buat kesehatan lo!" ujarnya seraya tersenyum.
Ardan balas tersenyum kemudian mengangguk. Dia kembali melanjutkan langkahnya keluar kamar rawat Della dengan perasaan bersalah merundung hatinya.
Satu tahun kemudian."Ai!" Raka berlari kencang kemudian memeluk erat seorang gadis berjilbab merah.Gadis itu terkekeh pelan. Dan membalas pelukan Raka tak kalah eratnya. "Lama banget liburannya!" Raka tertawa lalu melepaskan pelukannya. Dia menggandeng gadis itu dan mengajaknya menuju ke mobil."Gimana Bali?"Raka hanya tersenyum tipis. "Ya gitu-gitu aja, Ai. Nggak ada yang spesial," balasnya."Ceweknya?""Em... biasa aja!""Biasa aja tapi lo nggak pulang-pulang!"Raka terkikik. Pria itu memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi mobil Aisha. Baru setelah itu dia menyusul Aisha masuk ke mobil."Gimana Jakarta?" tanya Raka pada gadis itu.Aisha mengendikkan bahu. "Gini-gini aja. Nggak ada yang berubah."Raka manggut-manggut. Pria itu mulai menjalankan mobilnya keluar dari banda
"Selamat datang, Pak. Saya Nadella Paramita yang ditunjuk Pak Haria untuk menjadi sekretaris anda."Mata Raka melebar sempurna. Pria itu tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia benar-benar syok dengan apa yang dilihatnya sekarang."Della?"Della mengangguk cepat. Gadis itu tersenyum lebar pada Raka. "Benar, Pak. Pak Raka boleh panggil saya Della."Raka termanggu. Saat terakhir bertemu Della, hubungan mereka tidak baik. Bahkan yang terburuk, Della melihatnya bercumbu dengan gadis lain di toilet.Kemudian mereka hilang kontak sama sekali. Dan Raka memutuskan untuk pergi ke Bali. Saat pulang, mereka bertemu kembali namun saat ini Della sudah berubah.Gadis yang ada di hadapannya ini, sangat berbeda dengan Della satu tahun yang lalu. Penampilannya masih sama. Wajahnya pun sama. Tapi Raka meresa dia seperti bukan Della. Raka bahkan tidak mengenali Della yang sekarang.
"Sejak kapan Della tinggal di rumah, Pa?"Haria mengernyit mendengar pertanyaan Raka. Pria tua itu bingung karena pertanyaan aneh Raka. Tumben sekali, pikirnya. Biasanya Raka tidak pernah memikirkan orang lain. Apalagi dia adalah Della, adik dari wanita yang dia cintai.Kenyataan bahwa kini Verona telah menikah dengan Romeo sangat membuat Raka terluka sampai dia kabur ke Bali selama satu tahun. Haria pikir dia tidak ingin berhubungan lagi dengan sesuatu yang menyangkut Verona. Apalagi ini adalah adiknya."Apa?" kata Haria ragu.Raka mendesah kecil. "Sejak kapan Della tinggal di rumah kita?" ulangnya menahan jengkel. Dia sudah sangat penasaran. Tapi papanya tak kunjung memberikan jawaban."Kenapa kamu tanya itu?" kata Haria."Kenapa emangnya? Nggak boleh aku nanya gitu?"Haria terkikik mendengar nada suara ketus putra bungsunya. Dia yakin saat ini wajah Rak
Della melangkah cepat ke dalam sebuah club. Gadis itu mengabaikan tatapan bingung bercampur heran orang-orang yang sedang berada disana. Iyalah, jelas saja mereka terheran. Tidak pernah ada seorang gadis berpakaian piyama masuk ke dalam sebuah club malam bukan?Gadis itu berjalan mengikuti seorang pria bertubuh besar yang berjalan di depannya. Dialah yang tadi menghubungi Della. "Mas Raka ada di dalam," ujarnya.Della mengangguk pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu pun bergegas masuk ke sebuah ruangan VVIP dimana Raka berada."Pak Raka...." ujarnya syok melihat Raka terkapar di sofa dengan serpihan botol minuman dimana-mana.Della segera mendekatinya. Ditepuk-tepuknya wajah Raka. Namun pria itu hanya bergumam pelan. Raka mabuk berat. Dia bahkan tidak bisa membuka matanya. "Pak Raka bangun! Pak! Ini saya Della, Pak.""Dia mabuk berat, Mbak.""Apa dia minum banyak sekali?" tanya Della pada pria yang
"Raka?" Kasih terpaku melihat sang putra bungsu berdiri tegap di depannya. Pria itu tersenyum lebar pada Kasih. Lalu mengecup pipi Kasih dengan hangat."Apa kabar, Ma?" sapa Raka.Kasih langsung menyemburkan tangisnya. Wanita itu menubruk dada Raka, memeluknya erat. Kasih terisak di pelukan Raka."Mama kira kamu udah lupa sama Mama, Ka! Kamu nggak pernah ngabarin Mama! Pulang ke Jakarta juga kamu nggak bilang-bilang sama Mama," tangisnya.Raka tersenyum tipis. Diusapnya punggung Kasih dengan lembut. "Sorry, Ma. Raka nggak keinget Mama sama sekali. Soalnya Mama udah tua sih. Beda sama pacar-pacar Raka yang seksi."Kasih sontak menghentikan tangisnya. Dan melepaskan pelukan Raka. Ekspresinya yang tadi sendu mendadak berubah kesal. Dicubitnya perut Raka secara brutal. Sehingga putra bungsunya itu kesakitan."Ampun, Ma! Ampun!""Anak durhaka kamu! Mama dibandingin sama pacar kamu yang lusinan itu?
"Apa maksud kamu dengan hilang ingatan? Jelas-jelas dia mengingat semua orang. Dia bahkan ingat sama saya!" ujar Raka pada seorang pria berjas hitam di depannya."Bukan hilang ingatan secara total, Pak Raka. Dia memang mengalami hilang ingatan tapi cuma sebagian.""Sebagian?" ulang Raka.Pria itu mengangguk. "Kecelakaan yang dia alami membuat dia terkena amnesia retrograde. Mbak Della kehilangan sebagian memori sebelum dan sesudah kecelakaan itu terjadi."Raka menggeleng tidak mengerti. "Saya nggak paham maksud kamu," ujarnya.Pria itu berdehem sebelum mulai menjelaskan pada Raka tentang apa yang terjadi pada Della. Musibah yang tidak banyak orang tau. Bahkan dengan keluarganya sendiri.Raka tertegun mendengar penjelasan detektif suruhannya yang memang dia tugaskan untuk menyelidiki tentang Della selama satu tahun terakhir. Pria itu curiga ada sesua
Raka menguap lebar. Matanya masih terpejam saat dia bangun dari ranjang lalu keluar kamar. "Bentar! Bentar! Astaga!" kesalnya saat mendengar bunyi bel ditekan terus-terusan.Sial sekali dirinya. Sudah semalam tidak bisa tidur, lalu saat dia baru terpejam satu setengah jam, dipaksa bangun. Benar-benar...Sembari menggerutu pria itu berjalan membuka pintu depan. Dia sudah bersiap-siap memaki orang yang membangunkannya dengan kasar. Namun wajah cantik nan lembut di depan pintu membuatnya terpaku."Kak Raka?"Raka mengerjap. "De-Della?" ujarnya."Kak Raka ngapain disini?" tanya Della.Raka mengerutkan keningnya. "Harusnya aku yang tanya ngapain kamu disini?" balasnya.Della meringis kecil. "Maaf, Kak. Habisnya aku kaget pas tau Kak Raka yang buka pintunya.""Aku juga kaget pas tau kamu yang ngetuk pintunya dan buat aku kebangun tiba-tiba," bal
"Raka?" ujar Kasih tak percaya saat melihat sang putra bungsu sedang berdiri di depan pintu, meringis lebar padanya."Pagi, Mama Sayang."Kasih mengerutkan keningnya, menatap pria tampan itu dengan mata menyipit. "Tumben kamu pagi-pagi kesini? Mau ngapain?" tanyanya heran.Raka hanya tersenyum mendengarnya. Pria itu merangkul pundak sang mama dan mengajaknya masuk. "Mama gitu banget sih sama Raka. Masa Raka dateng bukannya disambut malah dibilang tumben."Kasih tersenyum sinis melihat kerlingan mata putranya itu. Dia tau jika anak itu pasti ada maunya. Kalau tidak, tidak mungkin seorang Raka Milan yang kepala batu menginjakkan kakinya disana setelah semua yang terjadi.Wanita itu menatap Raka penuh selidik. Kasih melipat tangannya di depan dada dengan gaya khas seorang Nyonya Milan. "Mau minta apalagi kamu sekarang? Uang tabungan Mama udah ludes ya, Ka. Terakhir Mama kasih kamu untuk beli rumah kecil itu," ketusnya.Lagi-lagi san