"Aku tak pernah membencinya. Tapi, aku hanya tak menyukainya.”
**
“Semoga harimu menyenangkan,” ucap pria tua itu dengan senyum tipis dari dalam mobil. Aku pun membalasnya dengan senyuman sebelum masuk ke halaman sekolah.
“Tam!” Sebuah panggilan membuatku menoleh kebelakang dan ternyata itu adalah sahabatku.
Ia memberikan senyuman ceria dihari pertamanya sekolah. Berbeda denganku yang sama sekali tak memberi ekspresi Bahagia. Karena aku sedang kesal.
“Apa ada yang membuatmu begitu senang selain hari pertama di sekolah ini?” tanyaku to the point.
“Apa kau mau tau?” Gadis berambut pirang ini malah menggodaku balik. Pasti ada berita menarik yang ia bawa.
“Tentu saja,” balasku sambil melangkah menuju kelas.
“Emm … Tommy menyatakan perasaannya padaku semalam.” Ucapan yang keluar dari mulut sahabatku itu membuat sudut bibirku terangkat.
Aku begitu senang untuknya, karena aku tahu berapa lama ia mengharapkan hal itu. Namun disisi lain, aku merasa menyesal, karena sudah memberikan pria yang kusuka pada sahabatku sendiri.
“Kau pasti sangat senang. Jadi, apakah kalian sudah resmi pacaran?” Ia dengan cepat mengangguk.
“Rasanya seperti mimpi,” ucapnya berbunga-bunga.
“Tapi, kau harus ingat, bahwa Tommy adalah pria populer. Jadi, cepat atau lambat ia pasti akan disukai banyak wanita. Kau harus siap-siap mencegah hal itu.”
Wajah yang awalnya berseri itu menjadi muram. Apa perkataanku membuatnya sedih? Tapi, bukankah itu realitanya?
“Kau benar. Aku harus lebih hati-hati.”
“Ya, karena itulah kenyataannya,” lanjutku yang sudah menaruh tas ranselku ke salah satu bangku di kelas.
Brak …
Bunyi pintu yang didorong kencang itu membuatku tertegun dan Ketika mataku bertemu dengan mata gadis itu, aku langsung menunduk. Ah, mengesalkan. Apa mereka adalah preman Angkatan kami?
“Hei, bukankah itu Liza?” ungkap sahabatku yang mengenali salah satu dari tiga perempuan tersebut.
Liza? Tidak mungkin. Kenapa aku harus satu SMA lagi dengannya? Padahal aku tak ingin bertemu lagi dengannya. Lalu, siapa teman-temannya itu?
“Oh, Tamara. Apa itu kau?” tanya Liza yang mengetahui keberadaanku dan sialnya dia mulai mendekat kearahku.
“Wah wah, apa dunia sesempit ini?” Pertanyaan yang keluar dengan senyum licik itu membuatku agak kesal. Namun, aku sama sekali tak bisa membalas apapun.
“Apa kau mengenalnya? Tanya gadis berambut pendek itu kepada Liza. Aku hanya berharap ia tak mengatakan apapun.
“Ya, aku mengenalnya. Namanya Tamara dan dia adalah teman SMP ku,” jelasnya dengan tatapan sinis kearahku.
“Oh, salam kenal. Namaku Alexi dan yang satu ini Maria. Apa kau mau berteman juga dengan kami?”
Aku diam sejenak. Sebelum Liza memberiku syarat dengan anggukan. Aku pun menurut.
“Ah ya, boleh,” jawabku terpaksa.
“Lex, kau harus tau, bahwa gadis ini sama-sama gilanya dengan kita.”
“Benarkah? Berarti itu bagus. Kita memiliki banyak kecocokan,” ucap Alexi yang senang dengan perkataan Liza.
Astaga, memangnya kecocokan apa? Aku bahkan baru mengenal dirinya. Bisa-bisanya ia bilang seperti itu.
“Oh ya, kenalkan juga sahabatku Sandra. Dia juga teman Liza waktu SMP.”
“Eh, emm … salam kenal,” ujar Sandra gugup.
“Oh, hai.”
Mereka memberikan ekspresi yang berbeda pada Sandra. Apa karena Sandra tak menarik? Hmm … kurasa jika aku memancing mereka sedikit, mereka akan tertarik pada Sandra.
“Apa kalian kenal Tommy James?” tanyaku kepada mereka yang masih berdiri didepan meja.
“Bukankah dia pria populer dari kelas sebelah?” tanya Maria balik.
“Benar, dan Sandra ini adalah pacarnya,” beberku yang membuat mereka langsung terdiam.
Sandra yang mendengar omonganku segera mengajakku keluar dari kelas. Aku bisa merasakan genggaman tangannya begitu kuat. Apakah ia sedang marah?
“Tam, kenapa kau memberitahu mereka? Tommy akan marah jika tahu berita itu tersebar!”
“Kenapa dia harus marah? Apa dia malu denganmu?”
Spontan mata biru itu terbelalak menatapku dan aku tahu ucapanku begitu keterlaluan. Aku pun mendekatinya dengan bersalah. Namun, gadis yang sedang mengusap air matanya itu menghindariku.
“Lagi-lagi ucapanmu menyakitiku, Tam. Apa sebenarnya kau sedang marah karena aku mengambil pria yang kau suka?”
Aku hanya diam, tak memberi respon atas perkataannya dan perlahan, aku meninggalkannya sendiri di koridor perpustakaan.
Pulang sekolah nanti, aku harus meminta maaf padanya. Jika tidak, Ibu akan tahu dan mengomeliku sepanjang malam. Ah, menyebalkan.
“Bahkan dalam hal pertemanan, ia juga mengaturnya.”
**
“San, lihatlah yang kubawa.” Kejutku sambil menyodorkan sebatang coklat susu yang ia suka.
Aku sengaja bergegas ke kantin setelah mendengar bel istirahat berbunyi hanya untuk membelikannya coklat. Kuharap ia mau berbaikan denganku.
“Untuk apa? Aku sedang diet.” Jawaban yang menyebalkan. Namun aku tidak bisa mengumpat untuknya.
“Hei, apa kau masih marah? Padahal aku sudah susah payah ke kantin untuk membelikanmu ini. Ayolah, jangan marah lagi!” pintaku yang sedikit jahil mendekatkan coklat itu ke pipi tembemnya.
“Huh, ya sudah. Aku terima.”
Dia memang gadis yang mudah. Itu sebabnya aku tidak susah membujuknya. Ah, entah sampai kapan persahabatan ini akan berjalan.
“Oh ya, ayo ke kantin! Kita kan belum makan siang,” ajakku sambil membenarkan kunciran rambut yang berantakan.
“Gak ah, aku mau di kelas aja.”
“Kenapa?”
“Mau makan coklat.”
“Nanti aja makannya. Kita makan siang dulu,” rengekku dipundaknya.
“Iya iya.”
Akhirnya dia yang mengalah dan menemaniku. Ia lalu merangkul lenganku dengan cepat dan seketika detak jantungnya yang cepat bisa terasakan olehku.
“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku yang membuatnya bingung.
“Apa ada yang salah?” tanyanya balik dan aku langsung menggeleng.
Mungkin reaksiku agak berlebihan. Tapi aku sangat mengakhawatirkannya. Apalagi, ia diam saja dari tadi.
Sesampainya di kantin, aku dan Sandra segera mengambil makanan yang masih tersaji di meja. Hari ini menunya adalah sandwich dengan jus dan aku cukup menyukainya.
“Kurasa makanan di sekolah ini jauh lebih baik dibanding SMP dulu,” candaku pada Sandra.
Prang …
“Ups.”
“Hahaha ….”
Ah, sial. Sepatu baruku terkena cipratan jus gadis itu dan lagi, aku dan Sandra juga harus menjadi tontonan karena ulahnya.
“Tam, sepatumu ….”
“Begitulah.”
Mataku lalu tertuju pada gadis berkacamata yang masih terduduk di lantai. Ia dengan tatapan sendu membuatku agak kasihan. Seluruh pakaiannya kotor akibat tumpahan makanan dan jusnya. Ah, setidaknya ia impas denganku.
“Tam, aku minta maaf atas apa yang terjadi pada sepatumu. Sejujurnya dia memang sangat ceroboh,” cibir Alexi yang baru selesai menikmati makan siangnya.
Ia yang duduk tak jauh dari tempat kejadian itu benar-benar santai menatap kami. Demikian juga siswa lain, yang hanya tertawa dan bergunjing tentang gadis dibawahku.
“Kau akan terbiasa melihat pemandangan ini, Tam. Jadi persiapkan dirimu,” bisik Alexi ditelingaku sebelum ia pergi.
Meski ia seorang diri. Ia sangat berani membuat masalah. Apa ada sesuatu yang mendukung perbuatannya?
“Tam, ayo ke toilet! Kau harus membersihkan sepatumu,” ajak Sandra dengan menarik pelan lengan bajuku.
Aku pun mengangguk. Meski sejenak menatapi gadis tadi. Ah, aku begitu kasihan. Tapi, aku enggan menolongnya.
“Ayo!” ajakku pada Sandra.
Namun sebelum aku keluar dari kantin. Aku menyadari, bahwa ada satu orang yang terus melihatku. Pria yang ada dibangku pojok. Mengapa ia terus melihatku?
"Apa yang kau baca?” celetuk Nicky dan membuatku langsung menyembunyikan surat itu ke tas.Untung, ia belum sempat membaca dan aku hanya perlu mengatakan hal lain agar ia tak curiga.“I-ini surat Ibuku. Aku tak sengaja membawanya,” ucapku berbohong.“Oh, begitu?”“Emm … ya.”“Kalau gitu, apa aku boleh membacanya?”Hah? Dia mau membacanya? Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya. Aku harus mencari alasan lain dan menyuruhnya untuk pergi. Bisa gawat jika ia tahu ini surat dari Tommy.“Emm … aku malu,” jawabku.“Kenapa? Apa suratnya aneh?”“I-iya.”Astaga! Aku tidak tahu apa yang kukatakan? Padahal aku bisa mengatakan hal lain, tapi kenapa aku tidak mengucapkannya? Ah gila!
Aku terdiam cukup lama setelah menerima kecupan itu. Sangat lama sampai aku tidak sadar Paman mulai menjamah bagian tubuhku yang lain. Astaga! Apa yang sudah terjadi? Mengapa aku tidak bisa menggerakan tubuhku dan pasrah menerima belaiannya?“P-paman ….”“Ada apa? Hmm?” balas Paman yang masih sibuk mencium aroma tubuhku.Sungguh, aku begitu bingung sekarang dan mencoba untuk menjauhkan tubuh Paman dariku. Tapi, itu begitu sulit, serasa tak memiliki tenaga sama sekali. Lalu, aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikmatinya, bukan? Pasti aku sudah gila bila menerimanya.“P-paman, lepaskan ….”Aku berusaha melepaskan tangannya yang hampir menyentuh dadaku, untung saja berhasil tapi langsung berubah ke pahaku. Owh … ini benar-benar gila. Aku tidak kuat jika terus ia sentuh. Tapi, bagaimana aku bisa kabur? Disaat ia men
Aku memandang keluar jendela, melihat banyaknya bintang mewarnai angkasa, melihat gelapnya malam, dan mendengar suara yang sunyi. Entah kenapa, Hal-hal sekecil ini sangat menenangkan hatiku dan memberiku sedikit kelegaan, meskipun hanya sesaat.Dulu, Ketika aku masih kecil, Nenek dan Kakek selalu mengajakku keluar untuk melihat bintang. Mereka lalu menceritakan banyak hal agar membuatku tertidur dan tak menunggu Ibu. Dan setiap pagi, aku pasti akan menangis karena mereka tidak membangunkanku.Padahal, aku selalu ingin menjadi orang pertama yang menyambut Ibu sepulang kerja. Dan Aku ingin menjadi orang yang ia peluk Ketika sampai ke rumah. Tapi, aku tak bisa mewujudkannya saat itu.Seandainya, aku bisa bercerita dengan diriku dimasa lalu, aku hanya ingin bilang, supaya dia tak terlalu berharap banyak pada Ibunya. Karena itu hanya akan membuatnya kecewa.“Tam!” panggil Ibu.
"Kalau iya, kau mau apa?” tanyaku membalas perkataan Nicky.“Aku tidak mau apa-apa.”Hah? Aku tidak mengerti. Tapi sudahlah, aku harus memaksanya untuk ikut pergi dari sini. Lagi pula, apa susahnya mengikutiku? Aku bahkan tak meminta bayaran darinya.“Kenapa kau terus memaksaku?” tanya Nicky yang benar-benar bingung.Aku pun juga bingung harus menjawabnya dengan apa. Karena aku tidak memiliki alasan yang masuk akal untuknya. Mungkin kalau berkata jujur, ia malah semakin tidak mau pergi dari sini. Betapa menyebalkannya itu.“Memangnya kenapa? Kau tidak mau ikut?” balasku yang malah bertanya balik.“Emm … tentu saja aku mau ikut, tapi sekarang aku tidak ada kepentingan denganmu,” jelas Nicky yang membuatku bingung.Apa maksudnya ia ada kepentingan dengan Ibu? Oh, ayolah! Ini sungg
Aku Kembali ke tempat duduk setelah Alexi melarangku untuk bicara. Aneh, aku bahkan tak bisa memberikan suara untuk sesuatu yang ia lakukan? Aku benar-benar kesal. Dan semoga saja keadaan Sandra baik-baik saja. Jika tidak, mungkin aku akan disalahkan oleh Ibu dan Tante.Tapi, aku masih tak paham mengapa Sandra memberikan obatnya kepada Alexi, padahal sudah jelas-jelas Alexi bukanlah anak yang baik, bahkan hampir mencelakai nyawa Sandra. Semoga saja setelah ini Sandra tak lagi berteman dengan Alexi.“Tam, kau tahu, aku tak menyukaimu,” ungkap Alexi tiba-tiba dan membuatku mengangkat alis kebingungan.Tumben sekali ia jujur? Aneh! Tapi baguslah, aku tidak perlu lagi berpura-pura baik didepannya. Sekarang hubungan kita pun berantakan. Dan aku tidak ingin memperbaikinya.Memang hubungan itu sekecil bolongan yang ada diatas jarum, sekalinya kamu memasukkan benang kedalamnya, belum tentu benang itu bisa bertahan. Ia
Wow, aku terkejut karena Tommy bisa teriak seperti itu. Bahkan, ia membuat semua orang menatap kami. Apa dia sangat kesal? Oh … tapi tolong suruh Nicky untuk melepaskan tangannya! Karena aku merasa, pria ini sedang memakai kukunya. Apa dia sengaja menyakitiku? Ingin membuat tanganku berdarah? Gila!“Tumben sekali kau teriak. Bahkan didepan kekasihmu sendiri,” ungkap Nicky yang langsung membuat Tommy terdiam.Gila! Apa Sandra menatap kami? Bukankah itu menyenangkan? Apakah ia cemburu? Seharusnya begitu. Tapi … kenapa aku malah senang? Bukankah ini ancaman bagiku? Astaga!“Hei Tam! Apa kau sedang merebut kekasih sahabatmu sendiri?” tanya Nicky dihadapan semua orang.Tunggu! Ini jebakan! Aku tidak boleh menjawab iya, jika tidak, aku akan dipermalukan seisi sekolah.Aku harus mencari jawaban lain dan membuat Sandra yang malu.&