Share

2. Maling?

Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Kay sedang merebahkan tubuhnya di lantai sambal menikmati sejuknya pendingin ruangan. Hari ini benar-benar sibuk, bahkan di luar ekspektasinya.

“Aduh, maaf banget ya Kay kamu jadi lembur,” ujar Airin yang baru saja datang, membuat Kay yang semula sedang memejamkan matanya itu pun membuka dengan perlahan.

Kay terkekeh, “gapapa kok tante.”

“Kamu Minggu ini berarti belum libur, Kay. Gimana kalau besok saja liburnya?” tawar Airin.

“Tapi besok kan banyak pesenan yang harus dianter tante. kalau aku libur, takutnya kekurangan orang.”

“Oh iya juga ya.”

“Udah, gapapa tante. Buat masalah libur bisa diatur kok. Lagian aku lagi ingin sibuk,” sambung Kay.

Airin hanya terkekeh mendengar jawaban Kay.

“Sasha belum pulang, tan?” tanya Kay.

“Oh iya, tante lupa. Tadi Sasha titip pesan, katanya kalau kamu udah selesai kerja, dia minta kamu ke rumah. Pulang bareng sama tante saja kalau begitu, Kay,” ajak Airin.

Kay pun mengangguk setuju. Setelah merasa bahwa istirahatnya cukup, Kay pun langsung menuju ke rumah Sasha bersama Airin. Tidak butuh waktu lama, kini dia sudah berada di halaman rumah yang cukup besar.

“Langsung ke kamarnya Sasha saja, Kay,” ujar Airin ketika mereka berdua sudah berjalan masuk ke ruang tamu.

Kay pun menganggukkan kepalanya langsung menaikki tangga untuk menuju kamar Sasha. Kay mengetuk pintu kamar Sasha beberapa kali. Setelah diizinkan masuk, Kay pun membuka pintu.

Kay mematung ketika sebuah bantal dilempar kepadanya. dia menatap Sasha dengan kesal.

“Rese lo!” ujar Kay sambal melempar kembali bantal tersebut.

“Lo yang rese! Lo kok gak bilang kalau putus sama Rendy?!” omel Sasha.

Kay membelalakan matanya. Bagaimana sahabatnya yang satu ini bisa langsung tahu akan hal tersebut? Padahal Kay belum menceritakan apa pun kepada siapa pun.

“Lo tahu dari mana?” tanya Kay.

“Lo lupa kalau cowo lo itu temennya cowo gue?” tanya Sasha balik.

“Ralat, bukan cowo lo. Tapi mantan lo.”

Sasha melanjutkan ucapannya dengan menekan kalimat ‘mantan’.

Mendengar Sasha menyindirnya, Kay menekuk wajahnya. dia hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar. Sementara Sasha, perempuan itu tengah menunggu penjelasan yang akan Kay berikan. Sayangnya yang terjadi hanyalah keheningan dalam beberapa menit. Kay tidak berbicara sama sekali. Perempuan itu justru malah terlihat sedang melamun.

“Lo gak ada niat buat cerita sama gue?” tanya Sasha.

“Apa yang mau diceritain? Lagian lo kan udah tahu kalau gue sama Rendy udah selesai,” jawab Kay.

“Maksud gue, kenapa lo bisa putus sama dia? terus lo gak mau nyoba buat mertahanin itu semua?”

“Tanpa perlu nanya itupun lo udah tahu alesan utamanya apa, Sha. kenapa yang disuruh mertahanin cuma gue? kenapa lo gak nyuruh itu juga ke Rendy?”

Sasha terdiam. Apa yang Kay ucapkan benar. Sasha memang sudah tahu semuanya. Sebab Sasha adalah tempat Kay bercerita tentang apa pun yang terjadi di hidupnya. Salah satunya adalah ‘perselingkuhan’ Rendy.

“Kalau begitu, gue ganti pertanyaan. Kenapa lo harus berpura-pura buat yang kesekian kalinya? Padahal jelas-jelas gue tahu, ini nyakitin buat lo,” ujar Sasha.

“Terus lo mau gue kaya gimana, Sha? Mohon-mohon? Nangis-nangis? atau ngelabrak mereka? itu semua bakalan percuma. Gue juga gak mungkin nyuruh Rendy tetep bertahan sama gue kalau dari diri dianya sendiri juga udah gak mau lagi sama gue. yang ada, malah nyiksa.”

“Gue cuma mengiyakan apa yang dia mau, Sha. Dia bilang ingin selesai. Yaudah, gue iyain. Masa gue tolak?”

Kali ini Sasha yang menghembuskan napasnya dengan kasar. dia pun perlahan menggeser tubuhnya ke dekat Kay.

“Bukan begitu, Kay. Maksud gue, kenapa sih lo harus bersikap kalau lo baik-baik saja? Okelah gue tahu, lo orang yang ceria. Tapi lo gak bisa terus-terusan ngegunain karakter ceria lo buat nutupin apa yang lagi lo rasain. Lo lupa ya, kalau kita juga harus memvalidasi emosi kita.”

“Jangan terus-terusan lari, Kay. itu semua gak akan bisa selesai. Satu-satunya cara biar rasa sedih lo ini bisa berkurang, ya validasi itu semua. kalau memang sedih, bilang. Lo perlu nikmatin kesedihan itu, supaya hati pikiran lo jauh lebih tenang,” jelas Sasha.

“Tumben bahasa lo ribet banget.”

Sasha memamerkan sederet gigi putihnya, “Hehehe, gue tadi abis liat postingan tentang validasi emosi di Lovagram. Kebetulan timingnya pas sangat sama lo yang lagi patah hati plus Sukanya lari dari kesedihan.”

“Ck. Ngeselin,” balas Kay.

Sasha terkekeh, “begini deh, buat ngobatin yang lagi patah hati. Besok kita nge-mall, mau gak?”

Kay menggelengkan kepalanya, “besok gue ke kampus, abis itu langsung kerja.”

“Lo kaya sama siapa saja deh. Gue tinggal bilang sama nyokap kalau besok lo mau nganterin gue,” balas Sasha.

“Next time deh, Sha. Besok ada pesenan banyak soalnya. kalau gue libur, takutnya kekurangan orang lagi kaya tadi. Ditambah lagi besok pagi gue harus nyerahin tugas proposal dulu.”

Setelah mengucapkan kalimaT tersebut, Kay langsung berdiri dari tempatnya sambal memakai tas yang dia bawa. Membuat Sasha menatapnya dengan bingung.

“Terus, lo mau ngapain?” tanya Sasha.

“Pulang, lah.”

“Maksud gue minta lo ke sini kan supaya lo nginep, Kay.”

“Kan tadi lo sendiri yang bilang, kalau gue harus mulai belajar buat memvalidasi emosi gue. Nah sekarang, gue mau lakuin itu. Gue lagi mau sendiri. Nikmatin kesedihan gue di malem Minggu,” jawab Kay.

Sasha tertawa, “yaudah lah, Kay. Terserah lo saja.”

“kalau begitu, gue pamit ya, Sha.”

Setelah berpamitan, Kay pun berjalan menjauh dari rumah Sasha. dia sempat ditawari untuk diantar oleh sopir yang bekerja di rumah Sasha, namun lagi-lagi Kay menolak. dia lebih memilih untuk naik angkutan umum saja. Saat ini Kay benar-benar hanya ingin sendirian, menikmati semua yang sedang dia rasakan dan dia pikirkan.

Kay melirik jam tangan dia pakai di pergelangan tangan kirinya, jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang. Jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sudah hampIr lima menit Kay berdiri menunggu angkutan umum yang sedaritadi belum terlihat sama sekali.

Malam ini, Kay kembali teringat dengan semuanya. Membuat diirnya larut dalam lamunan di tengah menunggu angkutan umum. Tanpa dia sadari, ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Seorang laki-laki yang memakai topi abu tua itu terus memperhatikan Kay. dia perlahan berjalan ke arahnya.

Lamunan Kay buyar ketika seseorang merampas tas yang dia genggam. dia dengan spontan menoleh berteriak, “Maling!”

Di tengah ramainya jalan raya, tidak ada satu pun orang yang membantunya. Bahkan pengendara motor mobil yang berlalu lalang seakan acuh dan hanya memperhatikan Kay yang sedang berlari mengejar maling tersebut.

Dapat! Kay berhasil menyusul maling tersebut menarik tasnya. Namun, kekuatannya memang tidak sebanding jika dibandingkan dengan laki-laki.

“Tolong! Maling!”

Maling tersebut mendorong tubuh Kay sampai terjatuh. tiba-tiba,

Bugh!

Kay melihat jelas seorang laki-laki berdiri membelakangi tubuhnya meninju wajah maling tersebut sampai tersungkur. Sebuah perkelahian terjadi di hadapannya. Membuat Kay meringis, sebab laki-laki itu seakan mengeluarkan semua tenaga dalam yang dimilikinya untuk menghajar maling tersebut.

Tidak berselang lama, keheningan secara tiba-tiba menyapa. Kay yang masih menutupi kedua mata dengan lengannya itu perlahan mengintip.

“ini tas lo.” Suara berat itu terdengar membuat Kay membuka matanya lebar-lebar.

Kay terdiam. Menatap laki-laki yang ada di hadapannya ini.

“Ehh tunggu!” tahan Kay ketika laki-laki yang menolongnya ini hendak pergi. Laki-laki itu langsung menghentikan langkahnya.

Kay memperhatikan sudut bibir lelaki tersebut yang sedikit terluka, “itu, ujung bibir lo berdarah. mau diobatin dulu?”

Bukannya menjawab, lelaki yang belum diketahui namanya ini langsung naik ke atas motornya. Tanpa mengucap kalimat apa pun lagi, dia langsung pergi meninggalkan Kay yang terkejut dengan perlakuan yang baru saja diterimanya.

“Eh! Kok malah pergi?!” teriak Kay.

Dia menghembuskan napas sambil mengercutkan bibirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status