Share

5. Pertengkaran

Itu dia. Seseorang yang sebenarnya tidak ingin Kay temui. Sejak lama. tetapi Kay malah harus kembali berada di dalam satu lingkungan yang sama dengannya. Aurelie Artawinata. Seorang perempuan yang sekaligus pernah menjadi teman satu sekolahnya. Perempuan yang pernah menjadi penyebab pertengkaran hebat antara dirinya Rendy. Padahal Kay sudah berharap bahwa kelulusan sekolah merupakan hal yang ditunggu-tunggu, agar dirinya tidak perlu bertemu dengan Aurel lagi.

Namun sepertinya untuk doanya yang satu ini, Tuhan sedang tidak berpihak kepada dirinya. Mereka dipertemukan kembali di satu universitas yang sama. Meski dengan fakultas yang berbeda. tetapi tetap saja, ketika Rendy menjemputnya, mau tidak mau sering berpapasan dengan Aurel.

“Lo lagi ngapain sama cowo ini?” tanya Aurel sambil menatap Alzam.

Kay tersadar dari lamunannya. dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Awalnya, Kay idak berminat untuk menjawab. tetapi, satu ide gila muncul di benaknya. dia menatap Alzam sejenak langsung menggenggam tangan lelaki tersebut. Membuat Alzam sedikit terkejut.

“Gu–e abis dari ruangan bu Lia. Ditemenin sama dia,” jawab Kay dengan senyuman.

Aurel melihat Kay menggenggam tangan lelaki di sebelahnya. Dia memberikan pertanyaan secara tersirat melalui matanya “itu siapa?”

Seakan mengerti dengan maksud dari tatapan yang dibeirkan oleh Aurel. Tanpa basa-basi, Kay pun langsung menjawab dengan lantang.

“Cowo gue.”

Alzam yang semula sedang berusaha melepas genggaman Kay mendadak terdiam menatap Kay dengan lebih tajam lagi dari biasanya. Kay mengeratkan genggamannya pada Alzam, seakan meminta lelaki itu untuk menurutinya kali ini. Sementara Aurel, perempuan itu sedikit terkejut tidak lama tertawa sinis.

“Kenapa lo tertawa?” tanya Kay dengan nada sedikit sebal.

Aurel meredakan tawa sinisnya, “Dulu lo selalu nuduh kalau Rendy selingkuh atau apa lah. tetapi kenyataannya? Lo sama dia baru putus kemarin kan? sekarang lo dengan beraninya ngenalin pacar baru lo itu.”

“Jadi siapa sebenernya yang main belakang? Rendy? atau lo?”

Kay mencoba menahan rasa sesaknya. Aurel melangkahkan kakinya untuk mendekati Kay.

“Syukur deh kalau lo udah putus sama Rendy. Dengan begitu, gue bisa sama dia. Tanpa harus diem-diem. Tanpa ada penghalang lagi. Anyway, congrats buat hubungan baru lo. mengapa gak dari lama saja?”

Setelah mengatakan hal tersebut, Aurel kembali tersenyum dnegan sinis pergi meninggalkan Kay serta Alzam yang sedari tadi hanya diam sambil mendengarkan mencerna perbincangan kedua perempuan ini.

Genggaman tangan Kay yang semula erat perlahan mulai terlepas. Alzam pun akhirnya benar-benar melepaskan genggaman tangan antara dirinya Kay. dia melihat Kay terdiam dengan sorot matanya yang sendu.

“Maksud lo ngomong kayak tadi apa?” tanya Alzam.

Kay tersadar dari lamunannya mencoba menyembunyikan wajah sendunya dengan senyuman, “Aduh, iya deh, maaf. tetapi serius tadi tuh gue spontan.”

“apa pun alasan lo, jangan pernah libatin gue dalam urusan lo.”

Alzam langsung pergi meninggalkan Kay yang terdiam. Jika tadi Kay menahannya, kali ini tidak. Perempuan itu malah kembali terdiam. Bukan karena ucapan Alzam pedas Alzam. Melainkan setiap kalimat yang baru saja dikatakan oleh Aurel kepada dirinya.

Sementara itu ketika Alzam baru saja sampai di parkiran, satu notifikasi pesan menghentikan kegiatannya.

Ibu

[Abang masih di kampus? Nanti pulangnya mampir ke rumah sakit Pertiwi ya.]

Membaca isi pesan yang dikirimkan oleh ibunya itu mampu membuat Alzam sedikit kebingungan. Dia pun bergegas menancapkan gas motornya untuk menuju ke rumah sakit. Ibunya langsung menyambut kala Alzam baru saja memasuki ruang tunggu.

“Siapa yang sakit, Bu?” tanya Alzam dengan sedikit khawatir.

“Adik kamu.”

“Alsya kenapa? Sakit apa?”

Rini–ibu Alzam tersenyum untuk mencoba menenangkan putra sulungnya itu, “Adik kamu kena tifus. Semalaman dia panas, ibu udah kompres sama kasih obat. tetapi tadi panasnya malah makin tinggi. Kata dokter, Alsya harus dirawat.”

Kini mereka sudah sampai di depan pintu kamar tempat di mana Alsya dirawat. Alzam sedikit terkejut ketika baru saja membuka pintu, dia melihat seseorang sedang duduk di samping Alsya bersenda gurau. Baik Alsya seseorang itu menoleh bersamaan dengan Alzam Rini yang datang.

Alzam menghentikan langkahnya. dia terdiam menatap seorang pria itu dengan tatapan sedikit tajam. Seakan menunjukkan rasa tidak sukanya dengan keberadaan pria tersebut di dalam ruangan ini. Seakan tahu akan terjadi suasana seperti ini, Rini pun mengusap punggung Alzam dengan lembut.

“Abang!” panggil Alsya di tengah keheningan kecanggungan.

Alzam pun menatap Alsya. dia mencoba mengubah raut wajahnya tersenyum tipis kepada adik perempuan satu-satunya itu. Dia menghampiri Alsya.

“Kok sakit gak bilang-bilang?” tanya Alzam.

Alsya menatap sebal ke arah kakak laki-lakinya itu, “Ibu saja tahu kok. Abang terlalu cuek sih, jadinya gak tahu kan kalau aku sakit.”

“Jangan cuek-cuek, Bang. Kasian nanti pacarnya,” lanjut Alsya sambil tertawa meledek.

Mendengar ledekan dari Alsya, Alzam langsung mengacak puncak kepala adik perempuannya itu sambil terkekeh.

“Kamu udah punya pacar sekarang, Bang?”

Pertanyaan yang keluar dari mulut seseorang itu membuat senyum Alzam memudar kala dia mengetahui siapa yang bertanya. Alzam hanya melirik sebentar tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Punya dong, Yah. Cantik,” jawab Alsya.

“Dih, kata siapa?” tanya Alzam kepada Alsya.

Alsya yang memang pada dasarnya selalu menjahili kakaknya itu pun menjawab kembali, “Ah abang. Suka pura-pura lupa. yang kemarin itu loh.”

“Mana ada. Jangan ngarang!” Balas Alzam. Dia pun ikut tertawa bersamaan dengan Alsya. Alzam tahu, adiknya ini hanya bercanda mengada-ngada.

“Kok gak dikenalin ke ayah?”

Lagi, tawa senyum Alzam memudar kala dia mendangar suara itu.

“Gak ada,” jawab Alzam dengan datar tanpa berniat untuk menatap ayahnya.

“Bagus lah kalau begitu. Lebih baik memang kamu fokus dahulu sama kuliah. Habis itu kerja. Urusan cinta-cintaan itu, belakangan.”

“terus bagaimana perkembangan skripsi kamu?” lanjut Arhan–ayah Alzam.

Alzam terdiam sejenak, “Revisi judul.”

“Apa? Baru revisi judul? Abang, kamu kuliah sempet cuti satu tahun. Menunda kelulusan kamu yang seharusnya cuma tiga setengah tahun. terus sekarang, skripsi kamu baru sampai judul? itu pun harus direvisi?”

“Mau sampai kapan kamu nunda-nunda kelulusan? Masih betah kamu ada di kampus itu?”

Suasana mendadak menjadi tegang. Alsya yang semula masih tersenyum, perlahan memudarkan senyumannya. Rini, yang sedari tadi berdiri memperhatikan hanya bisa menghela napasnya. Dia tidak tahu sampai kapan hubungan putra sulungnya dengan mantan suaminya itu terus seperti ini.

Sementara Alzam, dia sudah tahu bahwa perdebatan ini akan terjadi. Seharusnya tadi dia tidak usah menjawab pertanyaan dari ayahnya itu. dalam diamnya, Alzam mengepalkan tangannya. Berusaha untuk menahan segala amarah yang ada di dalam dirinya karena perkataan dari seorang pria yang disebut “ayah”.

“Dari awal kamu masuk kuliah, ayah selalu minta kamu untuk bisa lulus tiga setengah tahun. Supaya kamu bisa cepet cari kerja. Kamu mengiyakan, menyanggupi. tetapi mana buktinya, Bang? Bahkan kamu diem-diem ambil cuti selama satu tahun. Kamu piker ayah gak kecewa?”

Alzam yang sedari tadi enggan menatap ayahnya itu, kini menatapnya. Matanya penuh amarah. Degup jantungnya berpacu lebih cepat. Dia masih berusaha untuk menahan emosinya.

“Yang ayah tahu cuma itu kan?”

“Ayah pernah gak, nanya alasan jelasnya kenapa abang mutusin buat cuti kuliah kemarin? Ayah peduli gak? Gak kan!” Lanjut Alzam.

“Semua yang ayah ucapin barusan, itu cuma berdasarkan perspektif ayah saja! Pernah gak ayah coba buat liat berbagai hal itu dari perspektif yang lain?”

“Ini rumah sakit, Yah. Alsya lagi sakit begini. Jangan bikin keributan,” tutup Alzam.

Setelah mengatakan hal tersebut, Alzam langsung keluar dari kamar inap adiknya. Meninggalkan Arhan yang semula berusaha menahan putranya, namun dilarang oleh Riri. Alsya hanya bisa terdiam memperhatikan punggung kakak laki-lakinya yang perlahan menjauh.

Alzam berjalan mengikuti langkah kakinya. Dia sendiri tidak tahu akan pergi kemana, yang jelas dia harus segera menjauh dari ayahnya. Karena jika tidak, emosinya malah akan semakin memuncak. Langkahnya terhenti ketika dia menerima satu notifikasi pesan Whatsup dari nomor yang tidak dikenalinya.

+62817289xxx

[Hai, Zam. I am home. Can’t wait to see you.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status