Share

6. Ingatan Masa Lalu

"Dor!!"

Suara yang cukup lantang itu membuat Kay yang semula sedang termenung mendadak terkejut. Ditambah lagi, seseorang itu menepuk pundaknya. Dia menoleh dan langsung mendengus ketika mengetahui bahwa Sasha adalah pelakunya.

"Lagi hujan gini malah melamun," ujar Sasha sambil memberikan secangkir matcha latte hangat kepada sahabatnya itu.

Kay tersenyum kecil dan mengucapkan terima kasih untuk matcha latte hangat yang dibawakan oleh Sasha.

"Lo gak pernah baca buku angkatan ya?" tanya Kay.

Sasha memberikan ekspresi bingung.

"Disitu tertera jelas kalau hobi gue selain mendengarkan musik yaitu melamun," lanjut Kay.

"Aneh," balas Sasha sambil terkekeh.

Kekehannya memudar, Kay pun kembali larut dalam lamunannya. Dia memperhatikan situasi jalan raya dari dalam kafe. Jendela kaca yang besar menjadi pelindung Kay dari cipratan air hujan. Suara kendaraan yang berlalu lalang ditambah rintikkan air hujan benar-benar memberikan ketenangan sendiri untuknya.

"Kali ini apa yang lagi lo pikirin?" tanya Sasha setelah meneguk cokelat hangatnya.

Kay menggelengkan kepalanya.

"Gue temenan sama lo sudah lama. Jangan pikir kalau gue gak tahu," lanjut Sasha.

Kay menghela napasnya, "gue cuma masih kepikiran sama hubungan gue yang baru saja kandas kemarin."

"Apa yang mengganggu pikiran lo?"

"Gak tahu. Tapi rasanya kayak ada yang hilang saja. Misalnya, kalau lagi hujan gerimis begini biasanya Rendy suka telfon gue. Dia nanya, apa yang ada di pikiran gue di hujan hari ini? Terus kalau redanya cepat, biasanya dia langsung jemput gue. Sekedar jalan-jalan, cari jajanan," cerita Kay.

Sasha memperhatikan wajah sahabatnya itu. Tatapan Kay lurus ke depan. Namun Sasha tahu, bahwa Kay sedang memutar kembali kenangan yang pernah ada diantara dia dan juga Rendy. Sasha paham, ini akan sangat sulit untuk dilalui. 

"Lo hanya belum terbiasa, Kay," balas Sasha.

"Maksudnya?"

Lagi-lagi Sasha meneguk terlebih dahulu cokelat hangatnya, "iya, lo hanya belum terbiasa sama situasi ini. Lo sama Rendy kan pacaran sudah lama. Selama itu, lo sudah terbiasa sama kehadiran Rendy di hidup lo. Terus sekarang ketika hubungan kalian selesai, semua hal yang lo lakuin bareng Rendy, harus lo lakuin sendiri."

"Gak mudah memang. Gak perlu terburu-buru juga kok. Lo juga baru banget putus. Yang terpenting, lo harus bisa terima semuanya dulu. Pelan-pelan."

Kay mendengarkan dengan penuh apa yang disampaikan oleh sahabatnya itu. Andai fase menerima dan ikhlas adalah hal yang mudah, mungkin sudah Kay terapkan. Tapi Kay tahu, itu adalah sebuah proses kehidupan. Setiap hal yang terjadi dalam hidup pasti akan selalu memberikan kita sebuah pelajaran.

Kay tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya, "kalimat lo itu akan gue ingat."

Sasha memberikan ibu jarinya kepada Kay. 

***

Alzam sedikit terkejut ketika melihat seorang perempuan sedang duduk di bangku halaman rumahnya. Perempuan itu yang semula sedang memainkan ponselnya, langsung menghampiri Alzam ketika motornya baru saja sampai.

"Hai," sapanya dengan lembut.

Alzam terdiam ketika melihat bagaimana ekspresi ceria dari perempuan ini menyambut dirinya yang baru saja pulang dari rumah sakit. 

"Kok pulangnya jam segini? Bukannya biasanya jam lima juga sudah di rumah, ya?" tanya perempuan itu ketika menyadari bahwa sekarang sudah hampir jam enam sore.

"Kamu ngapain disini?" tanya Alzam balik. Dia menghiraukan pertanyaan dari perempuan tersebut.

Perempuan itu terdiam sejenak. Namun dia langsung menunjuk ujung hidung Alzam dengan jari telunjuknya, "kalau ada orang yang nanya itu, dijawab dulu. Baru kamu nanya balik."

Alzam menghembuskan napasnya, "abis ada urusan."

"Kamu ngapain disini?" Alzam mengulangi pertanyaannya.

Perempuan tersebut lagi-lagi tersenyum, "ya mau ketemu kamu. Aku tahu, kalau aku ajak kamu ketemuan di luar, pasti kamu gak mau. Yaudah deh aku kesini. Anggap saja surprise."

"Oh iya, ngomong-ngomong ibu sama adik kamu kemana? Kok tumben rumah sepi banget?" perempuan itu bertanya lagi.

"Rumah sakit. Alsya dirawat."

Alzam pun berjalan menuju rumahnya sementara perempuan itu masih mengikuti Alzam. Dia berusaha menyamakan langkahnya dengan Alzam.

"Hah? Alsya sakit apa?! Dia dirawat di rumah sakit mana? Kok kamu gak bilang sama aku?" tanyanya dengan cukup khawatir.

"Bell, cukup," balas Alzam.

"Udah, cukup. Aku lagi capek. Aku gak mau diganggu."

Perempuan itu terdiam dan perlahan menghampiri Alzam. Dia mencoba menggenggam tangan Alzam, hal itu membuat Alzam sedikit terkejut dan dengan spontan melepas genggaman tangannya.

"Maaf. Aku hanya khawatir, Zam. Kamu lagi ada masalah sama ayah, ya?" tanya Bella dengan nada pelan.

Alzam menghembuskan napasnya dengan kasar. Seakan memang sudah tahu, Bella paham bahwa itu merupakan sebuah jawaban. 

"Kamu udah makan, Zam? Kalau belum, aku masakin ya?" 

"Kamu mau dimasakin apa? Omelet? Mie rebus? Atau butter rice?" tawar Bella.

"Bell, aku minta tolong sama kamu. Kamu pulang. Aku gak lapar sama sekali. Aku lagi mau sendiri. Tolong, jangan ganggu aku," jawab Alzam dengan nada tegas. Saat ini emosinya benar-benar sedang tidak baik. Dia tidak mau sampai melepaskan emosinya kepada seseorang yang tidak mengerti apa-apa tentang permasalahannya.

Bella terdiam sesaat. Dia memperhatikan langit yang semakin gelap. Kemudian menatap Alzam dengan penuh harap, "tapi ini sudah mau gelap. Kamu gak mau anterin aku, Zam?"

"Kamu bisa pakai ojek atau taksi online. Aku tungguin sampai drivernya datang," balas Alzam.

Kali ini giliran Bella yang mendengus dengan kasar. Dia juga mendudukkan tubuhnya pada kursi yang ada disana.

"Kenapa sih, Zam? Kenapa kamu jadi berubah secepat ini? Aku paham kamu marah--"

"Bell. Stop. Aku sudah bilang sama kamu, aku lagi gak mau diganggu. Kalau kamu masih mau ditungguin sama aku, kamu pesan ojek atau taksi onlinenya sekarang. Kalau enggak, aku mau masuk," potong Alzam.

Bella benar-benar terpaksa menuruti perkataan Alzam. Dia memesan taksi online. Setelah beberapa kali membujuk, akhirnya Alzam mau duduk di sampingnya. Meski Alzam masih sering menepis sentuhan yang Bella berikan, namun setidaknya laki-laki itu untuk saat ini menuruti salah satu permintaannya.

"Drivernya sudah mau sampai," ujar Bella. Dia pun bangun dari duduknya, begitu juga dengan Alzam.

"Kalau gitu aku pulang dulu ya, Zam? Nanti kalau aku chat, jangan lupa dibalas. Besok aku mau ajak kamu jalan-jalan sambil cari makanan."

"Bell--"

"Sst! Aku gak nerima penolakan," potong Bella.

Alzam hanya diam. Tidak mengiyakan dan tidak menolak. Secara tiba-tiba, Bella memeluk tubuhnya. Lagi-lagi hal itu membuat Alzam terkejut. Dia hendak melepaskan, tetapi Bella menolak. Perempuan itu malah semakin mempererat pelukannya. 

Alzam tidak mengerti. Seakan ini adalah hal yang dia butuhkan. Tetapi pikirannya selalu memintanya untuk menolak. Karena mengingat hal yang terjadi diantara mereka berdua beberapa waktu lalu. Untuk sesaat, Alzam membiarkan tubuhnya didekap erat oleh Bella.

Beberapa saat..

"Permisi! Kiriman kue--"

Teriakan dari seseorang itu mengejutkan Alzam. Ditambah lagi, ketika dia melihat siapa seseorang tersebut. Perempuan itu. Perempuan yang tadi cukup mengganggunya ketika di kampus. Mereka sama-sama terdiam dan menatap satu sama lain.

Kay mematung di tempatnya ketika melihat apa yang ada di hadapannya kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status