Share

Bab 6. Pertengkaran Tak Bisa Dihindari Lagi

Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja.

Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga.

"Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal.

Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola.

- aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya.

Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku terus mencoba menolak, bahwa kekasihku, yang selama ini aku sayang, setega itu bermain dengan pria lain di belakangku.

"Ih! Avin!"

Aku tersentak. Kaget saja Kak Lili berteriak dari luar kamarku. Aku sedikit melompat turun dari kasur. Segera aku buka pintu kamar dan Kak Lili ada di sana beberapa meter di depan kamarku.

"Apa sih, Kak?" ujarku dengan wajah cemberut.

"Hei, mulai lagi. Kalau makan ga dihabisin. Buang-buang makanan. Kakak dari kecil ngajarin apa? Masa udah jadi pak guru juga ..."

"Iya, iya, besok aku ga ulangi. Ga usah sewot," jawabku jadi makin ga enak hati.

"Lha, kok kamu ..."

Tanganku bergerak hendak menutup pintu kamar. Kak Lili lebih cepat. Dia mendorong agar pintu terbuka, lalu dia masuk.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Lili.

Aku tidak menjawab. Aku berbalik dan kembali naik di kasur. Kak Lili mengikuti dan ikut duduk di kasur, di depanku.

"Pasti kalau kayak gini ada yang ga beres. Bilang, kenapa?" tanya Kak Lili.

Peran yang muncul kali ini sebagai ibu yang cemas dengan anaknya. Aku tidak akan bisa menghindar kecuali memberi jawaban yang membuat Kak Lili lega.

"Ga apa, Kak. Biasalah. Lagi galau. Ntar juga baik lagi." Aku tidak ingin bicara apapun sebenarnya. Berharap saja, jawaban itu tidak berlanjut ke pertanyaan berikutnya.

"Mana bisa? Kamu ini ngajar baru juga mulai. PR juga belum tentu kamu kasih ke murid. Napa Pak Guru dah pasang muka asem?" Ternyata Kak Lili tidak menyerah. "Hm, ini bukan urusan sekolah. Ini urusan cinta. Lola lagi? Kalian ribut lagi?"

Tidak bisa menghindar. Lebih baik aku mengaku.

"Ya, Lola. Tapi ga ribut. Aku dapat kabar ga enak soal Lola. Bikin cenut-cemut, Kak." Aku menjawab dengan nada enggan.

Kak Lili memandangku, makin dalam.

"Vin, tidak ada cara lain, kamu harus bicara serius, sangat serius dengan Lola. Pastikan dia masih peduli kamu, sayang kamu, atau gimana. Kamu juga. Jujur, telisik hatimu. Masih cinta nggak? Emang Lola yang pas buat kamu apa nggak?"

Aku menarik napas dalam.

"Kamu udah punya karir bagus. Masa depan udah jelas. Jangan sampai soal cinta merusakkan yang lain. Kalau emang yakin, ya jalani yang bener. Kalau nggak, ngapain bikin susah diri sendiri." Kak Lili melanjutkan.

"Aku mau putusin dia aja, Kak." Aku menjawab seperti tanpa mikir.

"Heii, bukan gitu juga maksudku. Pikir baik-baik. Yang matang. Doakan. Tuhan tuh, yang paling tahu. Kamu minta pimpinan-Nya. Ga asal mutusin gitu aja." Kak Lili menegaskan.

"Iya, aku ngerti, Kak." Aku mengangguk, makin resah.

"Udah, aku mau mandi." Kak Lili mengusuk kepalaku lalu keluar kamar.

Jawaban dari Lola akhirnya datang juga. Dia hanya bilang oke. Galauku tak berkurang.

****

"Mau ngomong apa, sih? Kamu serius amat. Kayak ga ada hari lain saja." Lola tersenyum memandangku.

Cantik. Dengan rambut pirangnya, menarik dilihat. Meski aku lebih suka rambut kecoklatan atau hitam. Salah satu pesona Lola buatku dulu, adalah rambutnya yang mengkilap dan halus.

"La, aku pingin kita saling terbuka. Jujur apa adanya satu sama lain." Aku memang ga bisa basa basi, bukan cowok pintar merayu dan berkata manis. Langsung aku sampaikan saja yang muncul di kepala.

"Avin, di mana-mana yang jujur itu yang harus, dong. Apaan, sih?" Lola memandangku dengan manja. Tangannya meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

Degupan halus menyusup di dadaku. Aku masih merasa getaran itu muncul. Kurasa, sayangku pada Lola tidak hilang, hanya tersisihkan saat aku kesal dan mulai kecewa.

"Kamu kalau ke mana-mana kasih tahu. Sama siapa, ngapain aja. Jangan kayak kita ini sekedar teman. Biar juga kalau ada apa-apa ga saling curiga. Bisa ngerti kesibukan dan bisa saling dukung." Aku melanjutkan.

"Iya, ngerti aku. Aku ga kasih tahu kamu. Jadi kamu curiga sama aku. Emang apa yang kamu pikir kalau aku ga balas pesan kamu, ga terima telpon? Kamu mikir apa?" Ucapan Lola lebih serius, tapi masih terasa dia berusaha santai.

"Kamu suka ke club lagi sekarang?" tanyaku.

"Hm?" Lola menaikkan kedua alisnya.

"Jujur, La." Aku mau Lola segera menjawab.

"Vin, aku rasa itu hal normal saja. Kenapa kalau aku ke club? Kami sering ke sana. Abis ada syuting, ada pemotretan, ya refreshing gitu. Ga salah, kan?" Lola mulai menaikkan nada suaranya.

"Sama siapa? Ngapain di sana?" Pertanyaanku berlanjut.

"Avin!" Lola menghempaskan kedua tanganku dan menatapku tajam.

"Jujur, Lola," tegasku.

"Kamu posesif banget, sih! Aku ga harus kasih tahu secara detil apapun yang aku buat. Aku tahu apa yang aku lakukan. Mau sama siapa, ngapain, ga usah kamu ngatur segitunya. Aku ga oon kali!" Lola mulai keluar taring dan tanduknya.

Aku menghela nafas. Terjadi lagi. Lola tidak bisa diajak bicara baik-baik. Emosinya jalan duluan.

"La, kamu udah punya kekasih, ada hal-hal yang mesti kamu batasi. Kamu hargai aku, karena ..."

"Kamu laki-laki dan akan jadi kepala keluarga. Tahu! Mama juga ulang kali bicara kayak gitu. Bosan aku!" Lola menyentakku.

"Bisa ga pakai emosi, bicara yang tenang?" ujarku mencoba meredakan Lola.

"Kamu yang mulai dan buat emosiku meledak! Kamu sengaja cari kesalahanku lagi?!" Lola melotot dan berdiri dengan berkacak pinggang.

"La, denger dulu. Diam. bentar, aku mau jelaskan. Please ..."

"Kamu yang diam dan dengar!" Tangan Lola terulur menunjuk ke wajahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status