Home / Young Adult / Murid Kesayangan / Bab 6. Pertengkaran Tak Bisa Dihindari Lagi

Share

Bab 6. Pertengkaran Tak Bisa Dihindari Lagi

last update Last Updated: 2022-07-23 22:48:41

Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja.

Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga.

"Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal.

Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola.

- aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya.

Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku terus mencoba menolak, bahwa kekasihku, yang selama ini aku sayang, setega itu bermain dengan pria lain di belakangku.

"Ih! Avin!"

Aku tersentak. Kaget saja Kak Lili berteriak dari luar kamarku. Aku sedikit melompat turun dari kasur. Segera aku buka pintu kamar dan Kak Lili ada di sana beberapa meter di depan kamarku.

"Apa sih, Kak?" ujarku dengan wajah cemberut.

"Hei, mulai lagi. Kalau makan ga dihabisin. Buang-buang makanan. Kakak dari kecil ngajarin apa? Masa udah jadi pak guru juga ..."

"Iya, iya, besok aku ga ulangi. Ga usah sewot," jawabku jadi makin ga enak hati.

"Lha, kok kamu ..."

Tanganku bergerak hendak menutup pintu kamar. Kak Lili lebih cepat. Dia mendorong agar pintu terbuka, lalu dia masuk.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Lili.

Aku tidak menjawab. Aku berbalik dan kembali naik di kasur. Kak Lili mengikuti dan ikut duduk di kasur, di depanku.

"Pasti kalau kayak gini ada yang ga beres. Bilang, kenapa?" tanya Kak Lili.

Peran yang muncul kali ini sebagai ibu yang cemas dengan anaknya. Aku tidak akan bisa menghindar kecuali memberi jawaban yang membuat Kak Lili lega.

"Ga apa, Kak. Biasalah. Lagi galau. Ntar juga baik lagi." Aku tidak ingin bicara apapun sebenarnya. Berharap saja, jawaban itu tidak berlanjut ke pertanyaan berikutnya.

"Mana bisa? Kamu ini ngajar baru juga mulai. PR juga belum tentu kamu kasih ke murid. Napa Pak Guru dah pasang muka asem?" Ternyata Kak Lili tidak menyerah. "Hm, ini bukan urusan sekolah. Ini urusan cinta. Lola lagi? Kalian ribut lagi?"

Tidak bisa menghindar. Lebih baik aku mengaku.

"Ya, Lola. Tapi ga ribut. Aku dapat kabar ga enak soal Lola. Bikin cenut-cemut, Kak." Aku menjawab dengan nada enggan.

Kak Lili memandangku, makin dalam.

"Vin, tidak ada cara lain, kamu harus bicara serius, sangat serius dengan Lola. Pastikan dia masih peduli kamu, sayang kamu, atau gimana. Kamu juga. Jujur, telisik hatimu. Masih cinta nggak? Emang Lola yang pas buat kamu apa nggak?"

Aku menarik napas dalam.

"Kamu udah punya karir bagus. Masa depan udah jelas. Jangan sampai soal cinta merusakkan yang lain. Kalau emang yakin, ya jalani yang bener. Kalau nggak, ngapain bikin susah diri sendiri." Kak Lili melanjutkan.

"Aku mau putusin dia aja, Kak." Aku menjawab seperti tanpa mikir.

"Heii, bukan gitu juga maksudku. Pikir baik-baik. Yang matang. Doakan. Tuhan tuh, yang paling tahu. Kamu minta pimpinan-Nya. Ga asal mutusin gitu aja." Kak Lili menegaskan.

"Iya, aku ngerti, Kak." Aku mengangguk, makin resah.

"Udah, aku mau mandi." Kak Lili mengusuk kepalaku lalu keluar kamar.

Jawaban dari Lola akhirnya datang juga. Dia hanya bilang oke. Galauku tak berkurang.

****

"Mau ngomong apa, sih? Kamu serius amat. Kayak ga ada hari lain saja." Lola tersenyum memandangku.

Cantik. Dengan rambut pirangnya, menarik dilihat. Meski aku lebih suka rambut kecoklatan atau hitam. Salah satu pesona Lola buatku dulu, adalah rambutnya yang mengkilap dan halus.

"La, aku pingin kita saling terbuka. Jujur apa adanya satu sama lain." Aku memang ga bisa basa basi, bukan cowok pintar merayu dan berkata manis. Langsung aku sampaikan saja yang muncul di kepala.

"Avin, di mana-mana yang jujur itu yang harus, dong. Apaan, sih?" Lola memandangku dengan manja. Tangannya meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

Degupan halus menyusup di dadaku. Aku masih merasa getaran itu muncul. Kurasa, sayangku pada Lola tidak hilang, hanya tersisihkan saat aku kesal dan mulai kecewa.

"Kamu kalau ke mana-mana kasih tahu. Sama siapa, ngapain aja. Jangan kayak kita ini sekedar teman. Biar juga kalau ada apa-apa ga saling curiga. Bisa ngerti kesibukan dan bisa saling dukung." Aku melanjutkan.

"Iya, ngerti aku. Aku ga kasih tahu kamu. Jadi kamu curiga sama aku. Emang apa yang kamu pikir kalau aku ga balas pesan kamu, ga terima telpon? Kamu mikir apa?" Ucapan Lola lebih serius, tapi masih terasa dia berusaha santai.

"Kamu suka ke club lagi sekarang?" tanyaku.

"Hm?" Lola menaikkan kedua alisnya.

"Jujur, La." Aku mau Lola segera menjawab.

"Vin, aku rasa itu hal normal saja. Kenapa kalau aku ke club? Kami sering ke sana. Abis ada syuting, ada pemotretan, ya refreshing gitu. Ga salah, kan?" Lola mulai menaikkan nada suaranya.

"Sama siapa? Ngapain di sana?" Pertanyaanku berlanjut.

"Avin!" Lola menghempaskan kedua tanganku dan menatapku tajam.

"Jujur, Lola," tegasku.

"Kamu posesif banget, sih! Aku ga harus kasih tahu secara detil apapun yang aku buat. Aku tahu apa yang aku lakukan. Mau sama siapa, ngapain, ga usah kamu ngatur segitunya. Aku ga oon kali!" Lola mulai keluar taring dan tanduknya.

Aku menghela nafas. Terjadi lagi. Lola tidak bisa diajak bicara baik-baik. Emosinya jalan duluan.

"La, kamu udah punya kekasih, ada hal-hal yang mesti kamu batasi. Kamu hargai aku, karena ..."

"Kamu laki-laki dan akan jadi kepala keluarga. Tahu! Mama juga ulang kali bicara kayak gitu. Bosan aku!" Lola menyentakku.

"Bisa ga pakai emosi, bicara yang tenang?" ujarku mencoba meredakan Lola.

"Kamu yang mulai dan buat emosiku meledak! Kamu sengaja cari kesalahanku lagi?!" Lola melotot dan berdiri dengan berkacak pinggang.

"La, denger dulu. Diam. bentar, aku mau jelaskan. Please ..."

"Kamu yang diam dan dengar!" Tangan Lola terulur menunjuk ke wajahku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Semua Sudah Selesai, Ke Mana Setelah Ini?

    Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Bulan Madu dan Klarifikasi

    Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg

  • Murid Kesayangan   Bab 133. Murid Kesayanganku

    "Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika

  • Murid Kesayangan   Bab 132. Tidak Akan Berpisah Lagi

    Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri

  • Murid Kesayangan   Bab 131. Mata Sayu dan Sendu Itu

    Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo

  • Murid Kesayangan   Bab 130. Siapa Jono?

    Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status