Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal.
"Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.
Pintu diketuk.
Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti.
"Vai, ini Nenek, buka pintunya!"
Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu.
"Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya.
"Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.
Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang.
"Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"
Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan.
"Mungkin."
Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai.
"Aku
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai meloncat pindah menuju balkon di samping kamarnya, lalu mengetuk pintu kaca yang sudah tertutup gorden. Dilger yang tengah mengetik saat itu terusik. Dia menghela napas dan bangkit membuka pintu, tampak Vai yang menyengir dihadapannya, badannya bergerak ke kanan-kiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang persis anak kecil yang tengah meminta sesuatu. "Ini sudah malam, Vai!" Vai mengerucutkan bibir menunduk, lalu mendongak menatap pria yang berwajah setengah timur tengah dihadapannya. "Dingin." Vai berujar diikuti tampang memelasnya. Senyum Dilger terbit, dia mengelus kepala Vai, dan mempersilakannya masuk. Gadis itu menyelonong berlalu dengan riang, lalu melempar tubuh mungilnya di ranjang king size. Gadis itu Vairre Midelli, tingkahnya bagai remaja; lucu, polos, dan menggemaskan. Namun, tak ada yang menyangka jika dia sudah menginjak umur 25 tahun. Wajah dan tubuh langsingnya begitu menipu. "Aku 'kan sudah bila
"Sejak kapan kau mencintainya?"Dilger melengos kala tatapan kehancuran Risa bertemu dengannya."Jawab aku!" Risa meremas tangan Dilger.Gigi Dilger saling beradu. Kenapa perasaan terlarang itu harus muncul dalam dadanya? Kenapa harus gadis pungut itu? Kepala Dilger mulai berkecamuk merutuki kebodohannya.Dilger menarik napas. "Aku tak bisa, Risa. Itu tentu melukaimu."Risa membuang wajah, mengusap kasar pipi basahnya. "Luka? Kalau kau tahu kelakuan bejatmu itu melukaiku, lalu kenapa kau tega? Kenapa?" Tangis Risa kini berhenti berganti tatapan nyalangnya. Kedua alisnya meliuk.Risa mendengus menyaksikan Dilger tak berkutik. Wanita berambut hitam itu bangkit dari duduknya."Mau kemana, Ris?"Risa menoleh tanpa menjawab dan melanjutkan langkahnya yang terhenti. Dilger mengusap kasar wajahnya. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran sofa diikuti erangan frustrasi.*Vai cekikikan memeluk boneka beruang yang besarn
Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air."Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main."Itu tak penting. Jawab aku!"Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis."Apa yang remaja tua itu katakan?"Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger."Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya."Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji i
Vai melompat-lompat di atas ranjang, melempar bantal hingga menyentuh langit-langit kamar. Berulang kali hingga bantal itu memuntahkan isinya, kapas-kapas beterbangan di udara.Gadis yang kini mengepang dua rambutnya menjeling ke arah pintu yang sedari tadi diketuk. Namun, dia malas beranjak membukanya hingga suara gedoran itu lenyap.Tak butuh berapa lama, suara gemerincing terdengar di luar kamar dan pintunya terbuka menampilkan sosok Risa dalam balutan blazer cokelat, tak lupa sorot matanya yang tajam menatap Vai yang melompat-lompat di atas kasur."Masuk. Jangan berdiri disana!" ujar Vai. Bantal yang dilemparnya kini menipis seiring isinya dipaksa keluar.Risa mengedarkan pandangannya, pintu lemari yang terbuka menjulurkan susunan pakaian yang berantakan, beberapa terlepas dari gantungannya. Sobekan-sobekan buku bacaan berhamburan bercampur serbuk glitter di lantai.Risa berganti menatap Vai dalam balutan pakaian hitam kini bermandikan kapas ba
Risa menoleh menatap Vai yang kini menyengir jahat di samping wajahnya."Sebenarnya aku hanya bermain-main saja. Namun, tak kusangka kamu terpancing amarah. Oh, iya, kau tahu aku melihat segalanya kemarin. Kau mungkin tak menyadariku sembunyi di balkon kamarmu!"Vai memundurkan badannya, tangannya terangkat menampar pipinya sendiri. "Kau melakukan itu di wajah Dilger, kan? Hahahah!" Vai bertepuk tangan.Risa kembali bergeming."Oh, iya, lalu setelah itu kalian baikan, kan? Padahal aku masih ingin melihat kalian berduel lebih lama." Tubuh Vai merosot, lalu kembali menatap Risa diikuti senyumnya."Mau lihat sesuatu?"Tanpa menunggu persetujuan Risa, dia bangkit menuju nakas samping tempat tidurnya, membuka satu per satu lacinya. Namun, tak menemukan benda yang dicarinya. Vai mematung sebentar, memikirkan dimana dia meletakkan benda itu."Ah, di sana kau rupanya," ujarnya lalu menarik sebuah tablet yang tertutupi pakaian di atas ranjang.
Risa mengerjapkan matanya. Dia sudah berada di kamar. Sisi kepalanya masih terasa berdentum.Risa mencoba bangun, tapi punggungnya terasa berat."Berbaring saja!"Risa menoleh ke arah sumber suara. Senyum Dilger memesonanya. Raut wajah Risa berubah mengeras, percakapan semalam di kamar Vai berputar."Kamu menghilang semalaman, lalu tiba-tiba ditemukan di lobi utama." Dilger menatap lamat wajah pucat istrinya."Lobi?" Risa mendengus, mengumpat pelan dalam hati, wanita gila itu menelantarkannya saja di luar."Apa yang terjadi?"Amarah Risa menjalari tubuhnya. Dia melengos, Dilger menatapnya sedari tadi dengan raut wajah berkabung."Kamu masih bisa menatapku begitu setelah apa yang kamu lakukan padaku?" gumam Risa.Dahi Dilger berkerut. "Apa maksudmu, Risa?"Risa mendengus lagi. Tangannya mengepal di balik selimut.Pria itu menangkup wajah Risa menghadapnya. "Kamu tahu aku mencemaskanmu semalaman. Aku bahk
Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya."Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya.Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila.Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya."Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu."Ini aku."Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.