Jihan baru saja sampai dirumah orang tuanya, namun saat akan masuk, dia sudah mendengar suara tangisan dari putri kecilnya. Dia tengah menangis minta untuk dipanggilkan mamanya.
"Gak mau, Kakak maunya mama pulang."
Tangis Nindya makin menjadi saat sang nenek malah menggendong dan menenangkannya, dan itu membuat Sabrina kewalahan karena cucunya itu sangat susah untuk di bohongi.
"Ya ampun Nindy. Kamu gak boleh nakal dong sayang kalau Mama tinggal sama Oma," Ucap Jihan. Lalu menghampiri putrinya yang masih menangis, namun tangisannya terhenti saat mendengar suara Jihan.
"Mama." Nindya pun meronta minta diturunkan oleh sang nenek, dia berlari dan langsung memeluk perut sang mama yang memang sudah membesar. Sabrina hanya menggelengkan kepalanya, dia jadi teringat saat Jihan masih seusia Nindya, seperti itu lah dia tidak mau jauh darinya. Dan akan marah jika dia ditinggalkan dalam keadaan tidur dan Sabrina perg
Setelah keluar dari ruangan dokter yang menangani Septian. Jihan pun pamit pada ayah dan ibu mertuanya untuk pulang saja. Dan nanti dia akan menceritakan semuanya pada ibu dan ayahnya. Juga dia akan memikirkan alasan untuk Nindya saat putrinya itu bertanya tentang ayahnya.Dengan berat hati, Aleta pun mengizinkan menantunya itu tinggal bersama kedua orang tuanya. Itu semua dia lakukan agar Jihan tidak sedih karena mungkin Septian akan menolak kenyataan yang akan dijelaskan kedua orang tuanya itu. Jadi demi kesehatan dan juga keselamatan Septian. Mereka memutuskan untuk merahasiakan Pernikahannya lebih dulu untuk sementara waktu.Aleta dan Reno kembali memasuki ruang rawat Septian. Namun kali ini mereka hanya berdua tanpa Jihan yang memang sudah pulang bersama kedua orang tuanya juga Nindya. Didalam ruangan itu Septian hanya sendirian karena Kiara belum kembali setelah meminta izin ke kantin saat kedua orang tuanya pergi ke ruang dokter yang menangani kakaknya."
Jihan baru saja selesai memakaikan baju pada putrinya. Hari ini Jihan akan mengajak putrinya itu jalan-jalan ke taman, dia akan menemui Gilang yang mengajaknya bertemu di taman tidak jauh dari rumah orang tua Jihan."Mama, kita mau jalan-jalan kemana?" Tanya Nindya. Dia terlihat senang saat ibunya bilang akan mengajaknya jalan-jalan keluar. Namun, hanya berdua saja."Ke taman sayang, nanti kakak boleh makan ice cream rasa apa saja yang kakak inginkan.""Hole, benarkah Ma? Asyik Kakak seneng banget." Gadis kecil itu terlihat sangat senang dan antusias."Iya sayang, itu hadiah karena Putri Mama ini sudah mau belajar bersabar, ya sudah ayo kita berangkat udah sore ini," Ajak Jihan. Nindya pun mengangguk dengan antusias dan dia pun menggandeng tangan Mama dengan sesekali mengayunkan tangan yang sang ibu genggam."Mau kemana?" Tanya Sabrina. Saat melihat Cucunya sudah tampil cantik.
sudah menghabiskan dua cup ice Creamnya. Dia pun pergi ke tempat permainan perosotan berada. Dia pun memulai bermain bersama teman-temannya sebayanya yang juga sedang asyik bermain perosotan."Bagaimana keadaan kamu, Han?" Tanya Gilang setelah mereka kini duduk hanya berdua saja sambil memperhatikan Nindya yang tengah bermain perosotan."Baik. Kamu sendiri, gimana hasil seminarnya?" Jihan balik bertanya. Sambil sesekali menyuapkan ice cream ke mulutnya."Memuaskan. Banyak sekali pelajaran yang aku petik saat berada di desa terpencil.""Gimana keadaan suamimu?" Lanjutnya dengan memberikan pertanyaan pada Jihan.Mendengar pertanyaan Gilang. Jihan hanya tersenyum tipis. Dia bingung harus mengatakan apa pada Gilang, karena dia belum siap menceritakan semua yang terjadi sekarang dalam rumah tangganya. Terlebih prihal Septian yang tidak mengingatnya maupun putrinya karena Septian amnesia.****"Kenapa diam?" Tanya Gilang saat melihat Jihan
18 Tahun Kemudian Sore ini. sepasang sahabat tengah pergi ke sebuah tanah lapangan.Rencananya Gara akan bertanding sepak bola bersama clubnya. "Kak Gara tunggu...!" panggil gadis yang sedari dari tadi asik memutar mutar tutup botol minuman yang kini berada di tangannya. "Hm!" Gara tidak menoleh sedikitpun. dirinya masih sibuk dengan tali sepatunya. "Ini gimana sih? Kayaknya ribet amat dari tadi nggak bisa-bisa juga." Gara kini terlihat mulai kesal. Pemuda itu mengacak rambutnya dengan sedikit prustasi. Melihat itu gadis yang kini ada dihadapannya hanya diam, pura-pura tak melihat, dalam hati gadis itu tertawa. Karena sudah sebesar itu sahabatnya itu masih belum bisa mengikat tali sepatu, dan masih saja membutuhkan bantuan orang lain. "Naira, sayang. cantiknya Kak Gara." Mendengar ucapan Gara. Gadis yang adalah Naira menatap Gara yang duduk disebe
Naira terlihat gelisah dalam tidurnya, dia masih mengingat senyuman Gara. Bayangan wajah tampan dan senyuman Gara, mendadak muncul bahkan terlihat nyata bukan seperti bayangannya saja.Gadis itu terbangun dari tidurnya. Lalu dia tiba-tiba tersenyum, saat mengingat senyuman manis sahabat kecilnya itu.Naira mengambil ponselnya dan dia langsung menekan tombol untuk menghubungi Gara. Tidak lama panggilan teleponnya pun diterima."Ada apa cantik?" Tanya Gara. Dari sebrang sana."Gak bisa tidur kak." Naira menjawab sambil terlentang diatas ranjang dengan menatap langit-langit kamarnya."Ya ampun kasihan, mau aku nyaiin gak?" Gara bertanya lagi."Mau, tapi nyanyiin sampai Naira tidur ya kak," Jawab Naira dengan semangat.Setelah mendengar jawaban Naira. Gara pun mulai bernyanyi. Sesekali Gadis itu ikut bernyanyi, namun tak butuh waktu lama. Suara Naira pun sudah
Naira memutar malas bola matanya. Selalu seperti ini jika Gara dan Bandnya Selesai manggung di cafe. Banyak gadis cabi-cabian berkerumun, untuk minta tanda tangan, minta foto bersama, dan lebih parahnya lagi. Ada sampai ada yang mendaratkan ciuman di pipi pemuda tanpan itu."Kak Gara. I love you, minta foto bareng ya kak!" Teriak salah satu fans fanaticnya.Jujur saja, Gara merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Ia tahu memang bukan kesalahannya jika ia terlahir dengan wajah tampan rupawan.Naira masih setia menunggu di parkiran, menunggu hingga Gara datang menghampirinya."Udah kan, Kak?" Tanya Naira. Sesaat setelah Gara menampakkan dirinya dihadapan Naira."Apanya yang udah, Nai? Lihat nih muka aku. Jadi penuh lipstick! Jijik tau nggak, geli banget ih." keluh pemuda itu, memang benar di sana tepatnya di wajah Gara begitu banyak noda-noda merah yang tercetak dengan jelas."Fans ya kakak emang pada nggak waras semua. Untung aku nggak ikut-i
"Selamat pagi Ma, Pa!" seruan itu terdengar dari pemuda yang berjalan menuruni tangga, kemudian di susul oleh perempuan di belakangnya yang berjalan terburu buru sambil memasukan buku-bukunya kedalam tas, hampir saja Gara terjatuh saat gadis itu menabraknya. "Woy, kecoa bunting! Jalan itu di dong matanya. Entar kalau gue nyungsep gimana. dasar kecoa bunting," Plak! Plak! Gara memegangi kepalanya yang terkena jitaka dari gadis jadi-jadian di sampingnya, kurang asem pikirnya. "Apa lo hah! ngatain kakak sendiri kecoa bunting, gak sopan tau gak?! Terus itu juga jalan di mana-mana juga pake kaki kali, bukan pakai mata. Oh lo bilang tadi jalan pakai mata kan? Coba lo praktek kin pengen lihat gue kaya apa sih kalau jalan pakai mata?" Skak Mat. Gara kini hanya terdiam, benar juga kata kakaknya. Masa iya jalan pake mata, gimana caranya
Naira berpikir sejenak, seperti mengingat-ngingat sesuatu. Tapi dia lupa apa yang dia lewatkan"Eitsss tunggu dulu! Ini kan...." Gadis itu lalu mendorong tubuh Gara hinggak jatuh ke ranjang miliknya.Berlari menuju jendela kamarnya. Dia memeriksa bunga Mawarnya yang sudah lama ia nanti untuk berbunga. dan Gara dengan mudahnya memetik bunga itu. Terus dia kapan ngambilnya?"Ini kan bunga mawar aku, Kak! kenapa malah kak Gara petik. Kakak ini Bener -bener ya!" Naira pun mengejar Gara yang siap kabur karena ulahnya sudah ketahuan."Eh. Jangan di gelitikin dong. Naira udah stop! Geli tau, hahahaha." Gara pun tertawa terbahak-bahak saat Naira bisa menangkap dan dia langsung menggelitiki pemuda itu."Masa bodo, rasain nih. siapa yang suruh lancang ngambil bunga kesayangan aku."Tiba-tiba saja...."Aaaaa...!"Brukk!