Share

Bab 10. Kei

Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya.

 

“Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa.

 

“Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.”

 

Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu ayahnya yang mabuk.

 

Ia masih marah karena Pram melarangnya menikahi Nesa. Lebih tak masuk akal, ayahnya bahkan membenci Nesa. Padahal gadisnya hanya korban, sebagaimana dia pun tak bertanggungjawab atas masa lalu kedua orang tua mereka. Tetapi Pram justru membenci Nesa. Ia harus memikirkan cara agar Nesa tidak terluka. Gadis itu sudah cukup menderita, jika ia tahu apa yang baru saja dikatakan Pram, harga diri dan rasa percaya diri Nesa pasti semakin hancur. Ia tak ingin itu terjadi.

 

“Bagaimana pun aku harus menyelesaikan persoalan ini. Terlalu banyak ocehan laki-laki tua itu yang bikin aku pusing.” Ia menyandarkan kepala di kursi kerja yang empuk. Kepalanya sakit.

 

Ia juga teringat kata-kata Pram yang mengaku tidak mencintai ibunya, dan masih menginginkan Susan. Ia marah. Ia kecewa karena ternyata sang ayah tidak peduli pada ibunya. Bagaimana pun sebagai anak ia sangat menyayangi Vita. Ibunya tidak pernah banyak bicara dan selalu patuh pada Pram. Bahkan terkadang ia merasa Pram sangat keterlaluan pada Ibu.

 

“Bagaimana mungkin mereka bisa hidup lebih dari tiga puluh tahun tanpa cinta? Pernikahan macam apa itu? Aku bahkan tidak bisa membayangkan hidup serumah dengan perempuan yang tidak kucintai meski untuk seminggu.” Ia terus memijat kepalanya yang makin berdenyut.

 

Ia sangat menyayangi Vita, sang mama. Namun sepertinya kehidupan kedua orang tuanya pun menyimpan banyak misteri yang membuat ia semakin pusing.

 

Di saat tertekan seperti ini, biasanya ia lampiaskan dengan aktifitas ranjang. Saat sedang stress dan banyak pikiran, ia menghubungi salah satu dari perempuan yang sabar menanti cintanya. Mereka selalu menerima tawaran Raga dengan senang hati, apalagi jika diajak ke apartemennya yang nyaman. Setelah bercint*, ia baru merasa jauh lebih tenang. Namun sejak enam bulan lalu, setelah memutuskan akan menikahi Nesa, ia tak pernah lagi berhubungan dengan siapapun. Dan saat ini, ia benar-benar sangat membutuhkan seseorang untuk meredakan tekanan yang menyesakkan. Namun itu tak mungkin dilakukan dengan Nesa.

 

“Huh…! Nesa… kamu terlalu susah untuk diajak bersenang-senang. Coba kamu seperti mereka, saat ini aku pasti bisa mengendurkan sedikit ketegangan ini.”

 

Sejenak pikirannya melayang ke sana kemari. Tiba-tiba ia teringat Kei, salah satu gadis yang menyukainya setengah mati. Gadis cantik usia dua puluh lima tahun anak salah seorang pengusaha sukses. Ia sangat berani dan agresif saat di ranjang. Dulu ia sering mengajak gadis itu ke apartemennya. Mereka sama-sama menyukai petualangan saat bercinta. Gadis itu seperti tidak pernah capek melayaninya. Kei sangat menyukai Raga. Namun Raga tak suka sikap dominan dan posesifnya. Ia juga sangat pencemburu sehingga Raga tidak nyaman dan tidak ingin menjalin hubungan lebih dekat. Tetapi gadis itu tetap happy setiap kali Raga menghubungi.

 

Ia mengenal Kei lima bulan sebelum bertemu Nesa. Setelah Nesa bersedia menerima cintanya, ia tak pernah lagi mengontaknya. Namun Kei tetap berusaha ingin bersama, meskipun ia selalu mencari alasan untuk tidak menemuinya.

 

Kini ia sangat ingin bertemu Kei. Nekat, ia coba menghubungi nomor telpon gadis itu. Baru di panggilan pertama, Kei sudah menjawab dengan suara riang.

 

“Hai pangeran. Kamu kemana aja? Aku kangen tau!”

 

Harapan Raga melambung tinggi mendengar sambutan hangat Kei.

 

“Hai Kei. Kamu lagi dimana?”

 

“Aku di kantor. Bokap lagi resek nih minta laporan bulanan. Mesti aku pula yang harus nyiapin. Huh.. untung udah kelar. Sekarang aku lagi santai. Kamu apa kabar? Emang gak kangen?” Kei mengoceh membuat Raga kian pusing. Namun ia sabarkan hati karena berharap mereka bisa segera bertemu.

 

“Hmm.. baguslah. Kamu ada waktu?”

 

“Ada dong. Untuk kamu, sesibuk apa pun aku bela-belain kasih waktu.” Ia terdengar sangat senang menerima ajakan Raga. “Yuk ketemuan. Aku juga butuh penyegaran setelah suntuk ngurusin laporan buat bokap. Kamu di mana sekarang? Aku datang ya. Aku kangen sama kamu.” Kei memang sangat bawel, suka mendominasi dan selalu bicara panjang lebar tanpa diminta.

 

“Aku sedang di kantor. Tapi pengen pulang ke apartemen. Kamu mau ke sana?”

 

“Mau banget. Aku kangen berat sama kamu. Ya sudah. Aku siap-siap ya. Dalam setengah jam aku sampai di apartemen kamu.” Kei terdengat sangat gembira.

 

“Oke. See you there.” Raga menutup telpon dengan wajah sumringah.

 

Membayangkan Kei dengan segala kelihaiannya membuat Raga tak sabar bertemu gadis itu.

Saat ini ia tak mau memikirkan Nesa. Ia ingin melepaskan semua beban pikiran yang menghimpit dan sejenak bersenang-senang dengan Kei.

 

Bergegas, ia membereskan beberapa dokumen di atas meja dan beranjak keluar ruangan. Dee, sekretarisnya yang seksi tampak heran.

 

“Pak Raga mau keluar kantor?”

 

“Iya. Tolong re-schedule semua appoinment hari ini.”

 

“Tapi nanti balik kantor kan Pak?” Dee menyelidik, karena di jadwal Raga tidak ada acara keluar kantor hari ini.

 

“Belum tau.” Ia berlalu meninggalkan Dee yang menatap dengan penuh tanda tanya.

 

“Hish.. si ganteng kenapa lagi sih?” Dee bergumam memandangi punggung bossnya yang berjalan menjauh.

 

Dee menyukai Raga. Mereka kadang menghabiskan waktu bersama. Namun ia tahu Raga tak mencintainya. Raga hanya butuh saat ia sedang diperlukan saja. Tapi Dee tetap senang. Terkadang Raga berlaku sangat lembut padanya, namun kadang bersikap tak acuh. Ia juga sangat mengetahui sepak terjang Raga di luar bersama perempuan lain. Tapi itu tak menghalangi kebahagiaannya jika Raga sedang menginginkannya. Ia memuja laki-laki itu.

 

***

Tak berapa lama setelah sampai di apartemen, bel berbunyi. Raga bergegas membuka pintu. Kei sudah berdiri dengan wajah sumringah dan senyum manisnya.

 

“Hai..hai.. jagoan… nice to meet you again.” Ia merangsek masuk. Begitu Raga menutup pintu,

 

Kei langsung memeluk tubuh laki-laki gagah itu dengan erat.

 

“I miss you so so much ….” Tanpa malu ia mencium bibir Raga.

 

Raga yang sudah mengkhayalkan Kei sejak di kantor membalas ciumannya dengan penuh gairah. Dalam sekejap mereka sudah terhanyut dalam ciuman panjang dan panas. Tanpa melepaskan mulut Kei yang terus mendesah, Raga menyeret tubuh gadis itu ke dalam kamar.

 

Tak butuh waktu lama, kedua anak manusia yang sama-sama telah menahan hasrat, bergumul di ranjang yang selalu menjadi saksi tingkah polah Raga bersama para wanita yang ia bawa ke apartemennya. Mereka bagai dua ekor singa yang sedang kelaparan. Raga yang telah enam bulan tidak berhubungan benar-benar kalap mengimbangi aksi-aksi Kei yang agresif dan ahli dalam bercinta. Nyaris satu jam mereka habiskan waktu untuk saling memuaskan hasrat yang terpendam sekian lama, hingga ahirnya teriakan kencang Raga dan erangan panjang Kei menyudahi permainan mereka yang liar.

 

Seketika Raga merasa plong. Ia tergeletak lemas dan dihinggapi rasa kantuk yang teramat sangat. Kei menatap wajah laki-laki yang selalu membuat ia lupa diri saat bersamanya. Ingin ia menjadi milik Raga untuk selamanya, namun laki-laki itu sangat sulit untuk diajak bicara tentang masa depan.

 

“Aku akan bikin kamu jadi milikku. Aku mau kita selalu seperti ini.” Ia menciumi wajah Raga. Ia masih menginginkan Raga. Ia ingin menebus kehilangan waktu selama enam bulan tanpa Raga. Ia ingin mengguncang laki-laki itu lebih dahsyat. Namun ia harus membiarkan Raga istirahat sejenak. Masih ada ronde kedua, ketiga dan keempat.

 

Ia bertekad, kali ini akan membawa laki-laki itu terbang jauh lebih tinggi hingga melupakan apapun persoalan yang sedang ia hadapi.

 

***

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status