Share

Bab 4. Andai Waktu Bisa Diulang

Nesa merespon sekilas. Ia sedang tak ingin bermesraan dengan Raga. Pikirannya sedang gundah. Ia masih bertanya-tanya, apa mungkin Raga benar kakaknya?

 

“Jika benar aku dan dia sedarah, apa yang harus kulakukan?” Ia memandangi Raga yang saat itu juga tengah menatapnya. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan. Semua berkecamuk membuat ia merasa lelah dan tak berdaya.

 

“Aku harus bagaimana, Mas?” Ia bertanya lirih dengan wajah sedih.

 

“Ya ampun, Sayang. Apa yang bagaimana? Aku juga gak ngerti apa yang kamu takutkan. Kalo soal adik kakak, itu gak masuk akal. Gak perlu kamu resah soal itu. Lagian, kalau pun benar kamu adikku, aku akan tetap menikahi kamu. Ngerti?” Ia tersenyum ringan, tak percaya apa yang dikatakan Nesa.

 

Nesa membelakkan mata. “Ngaco kamu, Mas.”

 

”Aku tuh cinta mati sama kamu. Jadi gak usah aneh-aneh mikirnya.”

 

“Tapi Mas…. “

 

“Sudah, Sayang. Kamu harus buang pikiran itu jauh-jauh. Konyol, tau!” Raga mengusap gemas rambut Nesa.

 

“Kalo kamu begini terus, ntar aku gendong kamu ke kamar!” Raga berusaha bercanda.

 

Nesa kembali mendelikkan mata. “Tapi kamu benar bukan kakakku kan?“ Tiba-tiba ia bangun dan mencium bibir Raga dengan beringas. Raga yang tersentak kaget tidak menyangka Nesa akan menyerangnya. Barusan ia tampak seperti tak bersemangat, kini ia mencium Raga dengan penuh gairah.

 

Raga yang sejak tadi menahan diri, membalas dengan perasaan membuncah. Lalu secara tiba-tiba Nesa menghentikan ciuman dan menjauhkan diri dari Raga. Kembali raga dibuat tersentak dengan aksinya yang serba dadakan. Nesa benar-benar tak bisa ia prediksi dengan mudah.

 

“Arrrgghh… “ Ia mengeluh pelan.

 

“Kamu bener-benar bikin aku gila, Babe.” Ia menatap Nesa dengan wajah memelas.

 

“Kita harus segera menikah. Aku bisa gila jika lama-lama seperti ini.” Ia memegang pipi Nesa yang bersemu merah dengan kedua tangannya.

 

“Pokoknya kamu gak usah mikir yang aneh-aneh. Kita sudah sepakat, dan kita akan menikah. Ia meyakinkan Nesa sebagaimana ia pun sangat yakin pasti akan menikahi perempuan cerdas yang terkadang bertingkah di luar dugaannya.

 

Gadis itu tak pernah membuat ia bosan, sebagaimana saat ia menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan sebelum Nesa.

 

“Kamu harus jadi milikku. Tak peduli apapun yang terjadi. Aku benar-benar cinta sama kamu. Dan jangan pernah lagi bilang kamu adikku, karena kamu calon istriku. Calon ibu anak-anakku.” Ia berbisik pelan di kuping Nesa sebelum melangkah keluar meninggalkan apartemen Nesa yang nyaman.

 

Sepeninggal Raga, Nesa bergegas mencari sebuah kotak berisi catatan dan foto-foto lama. Kotak pemberian Susan sebelum ia diserahkan pada Om Beno dan Tante Ria. Selama ini ia tidak peduli isi kotak itu, meskipun setiap pindah selalu ia bawa. Hanya itu tersisa kenang-kenangan dari Susan ketika ia meninggalkan rumah di usia delapan tahun.

 

“Simpan kota ini baik-baik. Ini berisi sejarah tentang kamu.” Demikian Susan memberi pesan pada hari itu.

 

Ia ingat menyimpan kotak itu di tumpukan kardus dokumen masa kecil. Kotak berisi raport, boneka dan buku diary yang ia tulis sejak SMP. Nesa memang suka menulis sejak kelas enam SD. Semua kegundahan dan kesedihan ia tumpahkan dalam buku harian.

Sayang hanya tersisa lima diary yang ia bawa ke apartemen. Beberapa menghilang dari kamar saat ia tinggal dengan om Beno dan tante Ria. Ia curiga Andien atau tante Ria yang mengambil, karena mereka berdua sering keluar masuk kamarnya tanpa permisi.

 

Ia menemukan kotak di dalam sebuah kardus dengan tulisan masa kecil. Sejenak ia merenung, apa mungkin ada dokumen atau foto ayah di dalam di sana? Ragu, ia mempermainkan tutup kotak tanpa berani membuka.

 

“Apa sebenarnya maksud ibu mengatakan aku dan Raga adik kakak? Apakah mungkin Om Pram, ayah Raga, ayahku? Tapi itu terlalu berlebihan. Mana mungkin pengusaha sukses dan kaya raya itu ayah kandungku?” Ia merinding membayangkan kemungkinan itu.

 

“Tidak mungkin.” Ia bergumam sembari mengeluarkan isi kotak dan menumpahkan di lantai.

 

Ia memilah-milah dan membaca setiap kertas yang tersimpan di sana. Setiap foto diperhatikan dengan seksama. Tak ada tanda-tanda Om Pram ada di dokumennya.

 

“Mana mungkin ayahku seorang pengusaha kaya.” Ia berbicara sambil terus menyortir isi kotak tersebut. Tiba-tiba ia melihat sebuah foto usang. Ibu tengah menggendong seorang bayi. Di sampingnya pria bule yang terlihat sangat tampan. Nesa memandang foto itu sangat lama.

 

“Apa mungkin dia ayahku?” Ia kembali bertanya-tanya menatap foto itu. “Tapi jika laki-laki bule ini ayahku, apa hubungan dengan Raga?” Ia merasa pusing, tapi keinginan untuk mencari tahu siapa dirinya membuat ia tak mau berhenti.

 

Semua isi kotak tumpah berserakan. Satu per satu dokumen dan foto ia periksa, namun tak ada yang mengaitkan Susan dengan ayah Raga. Lelah, ia membiarkan isi kotak tergeletak di lantai dan kembali duduk di sofa.

 

“Aku harus membereskan masalah ini dengan ibu. Jika tidak aku bisa gila menebak-nebak apa maksudnya.” Ia memutuskan pergi tidur.

 

“Besok aku harus menemui ibu di rumah suami kayanya.” Ia bergumam dan berusaha memejamkan mata.

 

Namun, pikiran Nesa melayang kian kemari. Kenangan ketika masa kecil saat tinggal dengan Susan dan sekian banyak laki-laki yang sering keluar masuk ke kamar Ibunya menari-nari di benaknya.

 

Bayangan Nenek yang penuh kasih, yang selalu mengajak Nesa ke Masjid dan mengajarinya mengaji, menyeruak di pikirannya.

 

Sebutir air bening kembali mengaliri di kedua pipinya. Nenek, satu-satunya manusia di muka bumi ini yang mencintainya dengan tulus dan tanpa syarat. Nenek mengabdikan hidup untuk mengurus Nesa sejak bayi hingga usia delapan tahun. Nenek yang senantiasa berlinang air mata setiap kali bercerita tentang Susan, satu-satunya anak yang ia miliki.

 

Rasa cinta dan kasih sayang Neneklah yang membuat Nesa hingga kini memiliki keberanian untuk terus bertahan dan berjuang untuk mewujudkan impiannya, hingga berhasil menjadi seorang pengacara.

 

“Nesa, kamu nanti harus sekolah yang benar ya, Nduk. Biar hidup kamu lebih baik. Jangan seperti Ibu kamu yang menyia-nyiakan masa muda dengan hidup bersenang-senang.”

 

Jika membicarakan Ibu, pikiran Nenek selalu tampak seperti menerawang jauh. Kala itu Nesa tidak paham apa yang dibicaraan Nenek dan apa maksud Nenek selalu meminta ia kelak saat dewasa harus jadi orang.

 

“Ternyata kehidupan Ibu sangat menyedihkan,” lirihnya pelan. “Tapi aku pun tak mampu lepas dari jerat masa lalu Ibu. Bahkan untuk bisa sekolah, aku harus berkorban yang tak akan pernah Nenek bayangkan.” Ia bergumam sembari terus membolak balik dokumen yang ada di dalam kotak.

 

“Banyak hal yang sudah terjadi, Nek. Dan aku, meskipun kini sudah menjadi pengacara dan bisa hidup dari jerih payah secara hahal seperti yang Nenek inginkan, namun semua harus kutebus dengan harga yang teramat sangat mahal.” Ia terus berbicara sembari bersusah payah menahan isak yang kini menyesakkan dada.

 

“Seandainya waktu bisa diputar ulang!”

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status