Share

Bab 5. Suami Posesif

Susan pulang ke rumah dengan hati resah. Perlawanan Nesa tadi membuat ia marah. Tak biasa gadis itu melawannya. Ia selalu memilih diam jika ada yang tidak disukai. Namun kali ini Susan melihat mata anak gadisnya begitu gelap ketika ia melarang menikah dengan Raga.

 

“Aku juga ingin kamu bahagia. Kamu sudah terlalu banyak menderita.” Ia bergumam sambil membuka pintu rumahnya yang megah.

 

Selama ini hubungannya memang tidak dekat dengan putri semata wayangnya. Sejak bayi Nesa dirawat oleh ibu kandungnya di kampung. Ketika sang ibu wafat, Nesa terpaksa ia bawa tinggal bersamanya. Kala itu usianya tujuh tahun. Namun saat usia delapan, Nesa ia serahkan pada Beno, sepupu jauhnya untuk diangkat anak. Ia tak mungkin merawat dan membesarkan Nesa karena hidupnya sendiri sangat kacau.

 

Baru ia menutup pintu, Baskoro, suaminya menyambut dengan muka masam.

 

“Kamu dari mana?”

 

Susan menghela nafas. Ia tak menyangka Bas ada di ruang tamu menunggunya.

 

“Dari apartemen Nesa.”

 

“Ada apa? Kamu tidak pamit!”

 

“Iya, papa sedang tidur. Aku tidak mau mengganggu.”

 

“Aku tidak suka kamu pergi diam-diam. Harusnya tunggu aku bangun. Kamu tidak boleh lancang!” Suara keras laki-laki itu membuat Susan tersentak.

 

“Aku cuma ke rumah Nesa.”

 

“Ke rumah Nesa atau kemana pun harusnya kamu minta ijin.”

 

Ia merasa sesak dengan perlakuan Bas akhir-akhir ini.

“Kenapa sih papa semarah ini hanya karena aku keluar rumah? Aku cuma ke apartemen Nesa.

Aku gak kemana-mana. Ada urusan yang harus kuurus dengan dia terkait rencana pernikahannya dengan Raga.” Susan berusaha menjelaskan dengan wajah muram.

 

“Gak usah ikut campur urusan mereka. Mereka bisa membereskan sendiri. Nesa dan Raga bukan anak kecil. Mereka orang-orang sukses. Untuk apa kamu ikut campur urusan mereka?”

 

“Nesa anakku satu-satunya. Tentu saja aku harus ikut campur ketika dia akan menikah.”

 

“Memangnya selama ini kamu ikut mengurus dia? Kamu kan jadi ibu hanya karena dia sudah sukses.” Tanpa perasaan Bas menuduh Susan dengan enteng.

 

Susan marah, namun ia berusaha menahan diri.

 

“Bukan mau ikut campur. Ada yang harus aku luruskan dengan Nesa. Lagipula apa Papa perlu mengungkit masa laluku dengan dia?” Ia berusaha tidak terpengaruh kata-kata menyakitkan dari laki-laki yang telah lima tahun menikahinya.

 

Ia tak mungkin menceritakan persoalan yang dihadapinya.

 

“Apa yang mau kamu luruskan dengan Nesa? Kamu mengenal ayah Raga?”

 

Susan terkejut. “Tidak.” Ia mengelak.

 

“Kamu bohong. Aku tahu kamu mengenalnya. Kamu pucat dan tangan kamu dingin di pertemuan itu.” Ia menyelidik menatap mata Susan langsung di bola matanya.

 

“Aku tidak kenal. Baru di sana aku kenal mereka.”

 

Tiga hari lalu ia sangat senang karena Bas mau menemaninya menerima undangan keluarga Raga untuk membicarakan kelanjutan hubungan dengan Nesa. Meskipun semula ia menolak, akhirnya Bas memutuskan ikut. Namun setelah pertemuan itu, ia makin obsesif.

 

“Mestinya aku tidak mengajak kamu ke acara itu.” Ia bergumam lirih.

 

Bas, pria berusia enam puluh tahun itu, menatap Susan penuh selidik.

 

“Kamu bilang apa? Mestinya tidak mengajak aku?” Ia semakin marah mendengar gumaman Susan.

 

Bas masih ingat ekspresi Susan dan ayah Raga saat mereka bertemu. Susan tampak shock dan terkejut. Begitu pula Pram. Ia merasakan tangan perempuan itu sangat dingin dan keringat keluar dari pelipisnya. Padahal mereka berada di ruangan privat restoran yang nyaman.

 

Ia merasa ada yang disembunyikan Susan. Berkali-kali Bas bertanya apa Susan mengenal Pram, namun sang istri selalu menjawab tidak kenal. Namun hati kecilnya mengatakan ada sesuatu di antara mereka.

 

Sejak tiga hari lalu, ia mengikuti gerak gerik susan. Tiba-tiba saat bangun tidur perempuan itu tidak di rumah. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Bas murka. Ia diliputi kecemburuan dan rasa marah yang luar biasa.

 

“Kalau mau balik ke dunia kamu yang dulu silahkan. Kamu boleh keluar dari rumahku!”

 

Susan terpaku. “Kamu selalu mengungkit masa laluku. Dulu kamu bilang kamu tidak peduli.”

Ia menatap laki-laki itu dengan pandangan dingin. Setahun belakangan Bas semakin kejam padanya. Entah apa yang membuat laki-laki itu hingga tak lagi memiliki perasaan padanya. Padahal mereka pernah menjalani kehidupan yang sangat menyenangkan.

 

“Kamu dari dunia hitam dan akan kembali ke sana.”

 

“Cukup, Baskoro. Aku muak dengan penghinaan kamu yang tidak habis-habisnya. Jika kamu memang ingin kita bercerai, kamu tinggal bilang. Aku pergi dari rumah kamu!” Susan benar-benar marah. Hatinya sedang kalut memikirkan Nesa, kini sang suami ikut membuat ia tertekan.

 

Bas tersentak Kaget. Biasanya Susan tak pernah menyebut nama lengkapnya meskipun sedang marah. Kali ini ia begitu ringan menyebut dan menantangnya untuk diceraikan. Ia semakin marah. Ia makin curiga Susan sedang menyimpan sesuatu darinya.

 

“Hei. Kamu. Istri durhaka. Berani sekali kamu melawanku dan menantangku untuk menceraikan kamu. Jangan main-main kamu dengan kata cerai.” Matanya melotot, mukanya merah.

 

“Aku bukan menantang kamu. Tapi cukup penghinaan kamu selama ini. Masa laluku memang tidak bersih. Aku memang pernah berada di dunia yang kotor. Tapi bukan berarti kamu boleh menghinaku sesuka hatimu.”

 

Susan kadung terluka dengan kata-kata Bas yang menyakitkan. Ia tak lagi peduli. Masa lalunya telah membuat anaknya terancam batal menikah dengan laki-laki yang ia cintai, kini suaminya menghina dan mengungkit-ungkit dosa yang sangat ingin ia lupakan.

 

Tak pernah ia diperlakukan kasar dan hina seperti ini. Meskipun pernah hidup di lembah hitam dan menjijikkan, tapi mereka memperlakukannya dengan baik dan bahkan ia merasa disayang. Tetapi kini, laki-laki yang ia harap dapat menuntun hidupnya pada kebaikan, justru membuatnya patah arang .

 

“Kamu memang kotor, kamu memang menjijikkan.” Bas merasa sangat benci pada perempuan yang selama ini ia cintai.

 

Susan tidak banyak berubah. Ia masih sangat cantik dan mempesona di usianya yang lima puluh tahun. Sedangkan Bas tidak bisa lagi memberi kepuasan padanya. Sudah setahun Bas menderita penyakit diabetes yang membuatnya tak lagi bisa memenuhi nafkah batin sang istri.

 

Ia frustasi. Ia selalu curiga dan cemburu setiap kali Susan jauh darinya. Ia takut Susan mencari pelampiasan di luar sana. Ia tahu Susan sangat menyukai aktifitas ranjang. Empat tahun menikah, mereka sangat bahagia dan menikmati hubungan yang sangat istimewa. Kini semua tinggal kenangan bagi Bas. Ia marah. Ia benci pada perempuan yang membuatnya merasa tak berdaya.

 

“Kamu mantan pelacur, pasti akan kembali ke sana.” Ia tak tahan untuk tidak mengucapkan kata-kata itu.

 

Susan sangat terpukul mendengar kata-kata Bas. Apalagi Lee, putra sulung Bas tengah menyaksikan mereka dengan senyum puas tersungging di sudut bibirnya.

 

“Ow.. ternyata mantan pelacur.” Ia menyeringai, lalu dengan santai beranjak meninggalkan mereka tanpa perasaan.

 

Susan murka, diperlakukan sangat hina oleh suami dan anak sambungnya. Ia tahu kedua anak Bas tidak menyetujui pernikahan mereka. Kini ia benar-benar merasa dilecehkan.

 

“Kamu… kamu … laki-laki sialan!” Susan meninggalkan Bas dan berlari masuk ke kamar.

 

***

 

 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status