Nayla Moretti terjerat dalam permainan berbahaya milik Damian Bellucci. Setelah suaminya mengusulkan pernikahan terbuka, Nayla bersumpah tak akan lagi membuka hatinya untuk cinta. Namun, segalanya berubah saat dia melangkahkan kaki ke dalam klub malam milik Damian. Dia adalah sahabat kakaknya. Sosok penuh kuasa dan misteri. Pria yang tak memberi ruang untuk penolakan. Apa yang awalnya hanya pelarian sesaat, perlahan berubah menjadi obsesi yang mencekik. Damian tak sekadar menginginkannya. Dia ingin memilikinya sepenuhnya. Tubuh, pikiran, dan jiwa. Dan semakin Nayla mencoba menjauh, semakin kuat Damian menariknya kembali. Kini, di antara hasrat dan kehancuran, Nayla dihadapkan pada pilihan. Menyerah pada kegelapan, atau memperjuangkan versi dirinya yang bahkan tak lagi dia kenali? Karena satu hal yang pasti, Damian Bellucci tak pernah melepaskan apa yang telah menjadi miliknya.
View More“Nayla!”
Adrian Moretti memekik kencang sambil melangkah menembus kerumunan. Wajahnya kaku seperti dipahat dari batu. Sorot matanya menghunus ke satu sosok wanita. Nayla Moretti, adik perempuannya. Nayla duduk di bar dengan kaki bersilang. Minuman berwarna kekuningan tersemat pada jemari tangan. Tak bisa dipungkiri, tubuhnya terlalu mengundang saat dibalut pakaian semi transparan dengan kesan setengah telanjang. Mendengar suara Adrian, Nayla sama sekali tidak menoleh. Dia memilih untuk hanya tersenyum tipis. Mata cokelat dengan bulu matanya yang lebat justru sibuk memandangi kilau gelas. Jemari yang lentik tampak pantas saat dihias dengan kuku panjang berwarna merah menantang. Wajah sinisnya tertangkap jelas di bawah kilatan lampu berwarna campuran merah dan ungu. Meski ekspresinya sama sekali tidak ramah, tapi Nayla tak bisa lagi menghitung berapa banyak tatapan lapar yang tertuju padanya. “What the hell are you doing here?” tanya Adrian yang sudah berdiri di sebelahnya. Dia lantas menarik lengan Nayla dengan kasar, tapi tak sampai meninggalkan bekas. Demi melenyapkan diri dari pusat perhatian, Adrian memilih menyeret Nayla menjauh dari keramaian. Sudut lounge yang gelap dan tersembunyi kiranya jauh lebih aman. Nayla menegakkan tubuh, sambil masih menyesap minuman. "Aku hanya datang untuk bersenang-senang." Adrian mengatupkan rahang. Napasnya berat. Matanya memerah, bukan karena marah, tapi karena terlalu banyak emosi menumpuk dalam waktu yang singkat. "Bersenang-senang atau menghancurkan dirimu sendiri?" Nayla terkekeh. “Aku sudah terlanjur hancur ulah adik iparmu.” Adrian menahan napas sambil menelan ludah, sebelum akhirnya menjawab, “Tapi bukan berarti kamu harus menjadi seperti ini, Nay.” “Seperti apa? Aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Aku tidak butuh kamu melindungiku, Adrian.” “Nayla,” bisik Adrian getir. “Saat ini, kamu sedang tidak menjadi dirimu sendiri. Kamu terluka. Kamu kacau. Dan sekarang, kamu memilih tempat ini, tempat yang penuh dengan lelaki yang akan dengan senang hati merobekmu habis, lalu membuangmu seperti sampah. Kamu pikir ini kebebasan?” Tatapan Nayla menusuk. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang yang aku rasakan.” “Aku tahu semuanya!” Adrian meledak. “Aku tahu kamu belum makan, belum tidur. Aku tahu Nathan membuatmu hancur. Tapi datang ke sini dengan pakaian seperti itu, dengan minuman yang selalu ada di tangan, dan dengan kondisi yang berantakan, itu bukan penyembuhan. Itu bentuk lain dari bunuh diri.” Nayla terdiam. Matanya melembut sesaat, tapi kemudian dia meneguk habis sisa minumannya. “Lebih baik aku membunuh diriku pelan-pelan... daripada terus hidup dalam pernikahan yang terasa seperti neraka. Pernikahan yang bahkan kamu dukung sejak awal.” Wajah Adrian mengeras. “Kamu pikir aku tidak menyesal? Aku kira Nathan cukup baik untukmu. Aku kira dia bisa menjagamu. Dan ternyata… aku salah. Tapi kalau kamu pikir aku akan diam melihatmu jatuh semakin dalam, you're wrong.” Nayla menunduk sejenak, lalu mendongak dengan ekspresi nyaris kosong. “Kamu tidak bisa menyelamatkanku, Adrian. Aku bahkan tidak yakin aku ingin diselamatkan.” Adrian memejamkan mata, lalu meremas rambutnya sendiri seperti pria yang kehabisan cara. Lalu, dengan suara yang lebih lembut tapi penuh luka, dia berkata, “Kamu satu-satunya yang aku punya, Nay. Dan kalau aku kehilangan kamu juga... aku tidak tahu harus hidup untuk apa lagi.” Di balik sorot lampu yang terus berganti warna, dentuman musik yang memekakkan telinga, dan amarah yang belum sepenuhnya sirna, Nayla dan Adrian hanya bisa berdiri dalam diam. Tatapan mereka terus beradu meski tak ada yang kalah juga menang. Keduanya tertelan oleh jarak yang seolah tak pernah benar-benar bisa dijembatani. Tanpa bisa berkata apa-apa lagi, Adrian akhirnya memilih pergi. Emosinya masih meledak. Namun, terus menekan Nayla sepertinya bukanlah jalan keluar yang benar. “Pulanglah, Nay.” Hanya itu yang keluar dari mulut Adrian sebelum bayang tubuhnya menghilang. Sepeninggal Adrian, Nayla tetap berdiri di titik yang sama. Selama beberapa saat, matanya terus menatap kosong. Tangannya masih menggenggam gelas, tapi jiwanya seperti sudah terlepas. Nayla terjebak di antara rasa bersalah dan keinginan untuk lenyap seluruhnya. Rasanya lelah, sesak, sekaligus sekarat. Nayla butuh, setidaknya setetes air atau sedikit belaian angin untuk membuatnya tetap hidup. Lalu, seolah semesta sengaja menjawab doanya, udara di sekelilingnya tiba-tiba berubah. Sesuatu, lebih tepatnya seseorang, mendekat ke arah Nayla. Suara langkah sepatu kulit di lantai marmer terdengar berat, tapi terukur. Dalam lautan cahaya klub yang gemerlap, siluet seorang pria kemudian muncul di ambang pintu. Tinggi. Tegap. Penuh bayangan. Dia tidak tersenyum. Tidak pula memamerkan pesona. Namun, kehadirannya menggetarkan. Dan Nayla tahu betul siapa dia. Damian Bellucci. Pria itu adalah sahabat baik kakaknya. Nama yang sering disebut Adrian dengan campuran rasa akrab sekaligus hormat. Pria yang dikenal dengan reputasi yang jauh lebih gelap daripada senyumannya yang langka. Setelan hitamnya membungkus sempurna tubuh tinggi tegapnya. Sosoknya seperti diukir dari gelapnya malam. Meski pencahayaan tidak menyinari wajahnya, tapi Nayla bisa merasakan kalau kedua mata Damian sedang menusuk ke arahnya. Sejenak, waktu berhenti. Napas Nayla tercekat. Sorot mata pria itu serupa obsidian yang tak memantulkan cahaya. Dinginnya menusuk. Panasnya membakar. Nayla mencoba berpaling, tapi tubuhnya tak menurut. Rasanya seperti terkunci. Seolah-olah, Damian adalah bahaya yang tak bisa dihindari. “Nayla Moretti.” Perlahan, Damian mulai memangkas jarak. Langkah demi langkah terayun dengan pasti. Dia berjalan tenang seperti predator yang tahu buruannya tidak akan lari. Ketika jarak mereka hanya tinggal satu meter, Damian akhirnya bicara. “Should I call Adrian back, or should I take it from here?” Nayla menelan ludah. Matanya bertemu dengan miliknya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa... dilihat. Bukan sebagai adik Adrian. Bukan sebagai istri yang dikhianati. Namun, sebagai wanita. Wanita yang ingin dihancurkan, dan mungkin, diam-diam, ingin menikmati kehancurannya. “Take it,” ucap Nayla. Lirih. Nyaris tak terdengar, tapi cukup keras untuk membuat Damian menajamkan tatapannya. Damian tidak menjawab, tapi matanya bicara lebih keras daripada kata-kata. Permainan berbahaya telah dimulai. Damian telah memilih mangsanya. Dan Nayla Moretti sudah terlalu lelah untuk bersembunyi. Semula, semua mengalir apa adanya. Namun, seperti kilatan refleks dari harga diri yang terluka, Nayla menegakkan kembali bahunya. Sebuah gerakan kecil, tapi penuh makna. Seolah sisa kekuatan terakhirnya terkumpul di sana. Kelemahan dan kecerobohan yang tadi nyaris menelannya, kini berubah wujud menjadi sinisme. Dalam sekejap, Nayla berhasil membangun tameng sebagai pertahanan diri atas bahaya yang kini ada di depan mata. “Wait. Sepertinya aku salah bicara. Alkohol membuatku lupa siapa dirimu,” ucap Nayla. “Memangnya, siapa aku?” Nayla menatap Damian sejenak. Kepalanya sedikit dimiringkan. Bibirnya terangkat, membentuk senyum sinis. “Siapa aku?” Damian bertanya untuk yang kedua kalinya. "Pria seperti kamu—" Nayla membuka suara, kali ini dengan nada yang lebih tajam, meski gemetar masih menggantung di ujung lidahnya. "—biasa berpikir kalau dunia bisa dibeli dengan kekuasaan dan godaan murahan.” Nayla tahu itu bukan kalimat yang adil. Terlalu menuduh. Namun, biar saja. Toh, dunia ini juga tidak pernah adil padanya. Pada wanita yang dikhianati, ditinggalkan, lalu dicemooh saat mencoba menyembuhkan diri dengan caranya sendiri. “Really?” sahut Damian. Kepala Nayla terus berputar, pusing, dan sedikit melayang. Detak jantungnya berdentum tak beraturan. Namun, satu hal jelas, Nayla tidak akan menjadi mangsa tanpa adanya perlawanan. Jika Damian ingin bermain, dia akan berani bersaing. Bahkan, jika satu-satunya kemungkinan yang Nayla punya adalah… kalah. “Aku tahu, aku bukan orang pertama yang coba kamu pikat dengan arogansi.” Nayla menantang wajah pria yang berdiri lebih tinggi darinya. “Dan kamu harus tahu, aku tidak akan menjadi cerita kecil dalam koleksi dosamu.” Damian mendekat lagi. Hanya satu langkah, tapi sukses membuat dunia terasa menyempit. “But here you are,” balas Damian, nyaris berbisik. “Standing in my club, wearing sin like second skin.” Jantung Nayla seperti sejenak terhenti. Dia seharusnya pergi. Namun, kakinya tertambat terlalu kuat. Wajah Damian lantas merapat, nyaris menyentuh hidungnya. Tanpa suara. Tanpa tergesa. Nayla tak sempat mundur. Atau mungkin, sebagian dirinya memang tak ingin. Tubuh Nayla terpaksa bersandar ke tembok saat Damian semakin merapatkan jarak dengan terlalu dekat. Satu tangannya bertumpu pada dinding untuk memagari sisi kepala Nayla. Sementara tangan lainnya tetap masuk ke saku celana, seolah tubuhnya tak perlu dua tangan untuk mengendalikan keadaan. Bibir Damian kemudian menuju pipi, lalu berhenti di dekat telinga. Tak sampai bersinggungan, tapi Nayla sudah bisa mencium aroma tubuhnya yang memikat. Dia berbau angkuh. Namun, keangkuhan ini terasa seperti keangkuhan yang sudi dia telan. Damian tak menyentuh, tapi kehadirannya sudah mewakili sentuhan paling dalam. Menggores, menelanjangi, dan menuntut. “I don’t seduce, Nayla,” ucap Damian pelan, nyaris seperti desisan dosa yang menggoda. “I take. And you—” “Aku bukan milikmu.” Nayla menyela. Damian menatapnya tanpa berkedip. Sebuah senyum kecil, gelap, penuh arti, menghiasi bibirnya, sebelum akhirnya dia menjawab dengan hanya satu kata. “Belum.”Damian menelusuri beberapa kontak yang nyaris tidak pernah dia hubungi. Selama ini, dia sudah cukup hanya dengan mengandalkan orang-orang di jaringannya sendiri. Damian tahu, dirinya bukan orang kecil. Dia punya kekuatan, uang, dan nama besar yang membuat banyak musuh gentar. Dia bisa menyingkirkan lawan bisnis, bahkan menghapus nama dari peta Eropa. Namun, dunianya yang ilegal terlalu abstrak untuk bisa mengimbangi dunia pemerintahan Iran yang tentu saja sangat bertolak belakang. Alhasil, tentu saja dia membutuhkan bantuan dari pihak yang sejajar.Dari seluruh deret nama, dia menemukan satu yang menurutnya paling bisa diandalkan. Alessandro De Luca. Nama yang bukan sekadar catatan, tapi legenda gelap. Seorang pria Italia yang dijuluki pembunuh berdarah dingin. Jejaknya tak pernah tercatat secara resmi, tapi bayangannya selalu muncul di setiap operasi besar yang gagal diurai oleh pihak mana pun.Alessandro berpengalaman bukan hanya di dunia kriminal, tapi juga di lingkaran intelijen.
Diapit oleh kehangatan, Nayla akhirnya jatuh terpejam. Napasnya perlahan menjadi tenang, teratur, seakan ancaman para musuh kekasihnya itu tak pernah ada. Rambutnya terurai di bantal, dan sebagian menempel pada kulit Damian yang masih basah oleh keringat.Damian menatap wajah itu lama. Lembut sekaligus rapuh, berbanding terbalik dengan segala kegelapan yang menjerat dirinya. Dia mengusap pipi itu pelan, lalu menunduk mengecup kening Nayla sekali lagi.Kedua mata Damian memang kini bisa melihat wujud dari kedamaian. Namun, di dalam dadanya, badai justru kian menggila. Hatinya ingin menetap di sini, bersama wanita ini, dalam hangat yang sederhana. Namun, kepalanya menolak. Setiap cabang otak terus menghitung kemungkinan, ancaman, dan rencana.Damian memejamkan mata sebentar. Bukan untuk tidur, melainkan untuk menahan sesak yang semakin mendesak. Detik berdetak di telinganya, seolah jarum jam sedang mengejek. Tidur mustahil, tenang mustahil, menyerah pun mustahil.
“Damian.” Ucapan Nayla beradu padu dengan desah panjang.“Hm?”“Lagi.”Sambil sedikit melepas senyum tipis, jemari tangan Damian bergerak dengan semakin rakus. Tarikan napas Nayla semakin cepat. Dadanya naik-turun. Matanya setengah terpejam dengan racauan lirih yang lolos di sela bibirnya. Damian menatap wajah itu sejenak, lalu menunduk untuk meraih mulutnya lagi.Ketika tubuh mereka kembali menyatu, Damian menahan napas panjang. Erangan tertahan lolos dari kerongkongannya. Dia menutup mata, lalu menenggelamkan wajahnya di leher Nayla. Geraknya masih dibuat lambat dan terukur. Dia ingin Nayla merasakan setiap tarikan, setiap dorongan, setiap kepemilikan yang dia tanamkan.“Amore,” ucapnya serak. “Kamu akan selamanya denganku.”Nayla melingkarkan lengannya di leher Damian untuk menarik tubuh pria itu agar lebih dekat. Bibirnya gemetar saat berbisik, “Aku tahu. Aku tahu, Damian.
Kedua kaki mereka terayun menyusuri lorong villa. Damian menuntun di depan dengan langkah yang sengaja dibuat pelan. Gerakannya sama sekali tidak tampak terburu-buru, seolah sedang menakar detik sembari menenangkan denyut di kepalanya sendiri.Jemari mereka terus bertaut. Bahkan, ketika tiba di depan kamar, Damian tetap menggenggam tangan Nayla dengan satu tangan, sementara tangan yang lain bertugas membuka handle.Begitu pintu kembali ditutup, suasana seketika berubah. Napas mereka berdua entah mengapa berembus dengan ritme yang lebih cepat. Namun, alih-alih langsung mendekap tubuh Nayla, Damian justru menatapnya terlebih dulu. Sorot gelapnya menyelam dengan cukup dalam, juga mengunci pandang dengan cukup lama. Bukan untuk menguji kesabaran, tapi untuk sekadar memastikan kalau wanita di hadapannya masihlah Nayla yang dinding pertahanannya akan runtuh hanya perantara tatapan mata.“Amore,” bisiknya dengan suara rendah.Nayla belum sempat menjawab ketika Damian tiba-tiba mencondongkan
“Damian.”Suara Nayla terdengar dari balik pintu. Meski sedikit memekik, tapi nadanya tetap lembut. Beriringan dengan itu, ketukan kecil ikut menyusul dengan ritme yang teratur. Di satu sisi, Nayla tetap ingin menilik Damian yang sejak tadi mengurung diri di dalam, dan di sisi lain, dia juga tak ingin sepenuhnya merusak dinding tenang yang Damian bangun.“Apa aku mengganggu?” tanya Nayla kemudian.Damian terkekeh, setengah tertawa. “Tidak, Amore. Tunggu sebentar.”Damian cepat-cepat mematikan rokok yang masih menyala di tepian asbak. Bara merah seketika padam dengan desis pendek. Saat dia bangkit dari kursi, jejak asap pekat masih menempel di udara, menusuk hidungnya sendiri.Sambil melangkah mendekati sumber suara, Damian menarik napas panjang. Tangan kiri sedikit memijat pinggang, sedangkan tangan kanan mengibas di udara. Kiranya, dia tak hanya berniat mengibas sisa kepulan putih, tapi sekaligus ingin mengibas kalut di kepalanya.Sebelum membuka pintu, jemarinya menyempatkan diri un
Damian menyandarkan tubuh kursi begitu panggilan berhenti. Jarinya tak henti mengetuk perlahan permukaan meja. Sorot matanya menajam, seakan isi kepala sedang menghitung detik, angka, juga merapal beberapa nama.Sunyi menekan ruangan. Hanya ada bunyi detik jam yang terdengar pelan tapi entah mengapa justru menegangkan. Di tengah keterdiamannya, getar telepon dari nama lain mendadak memecah udara.“Ya?” ucap Damian singkat.Laporan masuk dari salah satu penjaga. Suara di seberang terdengar disiplin dan teratur.“Signore, area villa aman. Madam masih berada di ruang tengah dengan televisi menyala. Tidak ada aktivitas mencurigakan dari pihak lawan. Pos dua ratus meter juga bersih. Rotasi tetap berjalan, tidak ada indikasi lokasi ini terdeteksi.”Damian terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata. Napasnya sedikit berembus lega.“Perintahkan tim yang lain untuk membuat tanda-tanda palsu tentang keberadaanku di area Kintamani. Buat pihak Jonathan berpikir aku ada di sana,” titah Damian kemud
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments