Jika menikah bagi sebagian orang menjadi momen bahagia, berbeda dengan Tiara. Baginya, pernikahan ini adalah awal mula petaka di kehidupannya.
Dia mematut pantulan diri di depan kaca, ketakutan yang selama ini selalu berusaha dihindarinya menjelma nyata karena kedatangan si raksasa.
Tak peduli seberapa keras dia mencoba mengusir dan membuat illfeel Bima, juragan jengkol itu tetap bersikeras memilihnya.
Bima tersenyum simpul saat melihat mempelainya dibawa mendekat. Tiara terlihat memesona meski wajahnya terus ditekuk sembilan belas bagian begitu. Ah, jatuh cinta memang bikin orang kehilangan logika.
Lelaki itu sendiri telah gagah dengan jas hitam panjang berkerah tegak kebanggaan keluarga, ditambah peci juga ikatan kain batik di pinggang, menyulap sosok Bima menjelma jadi Rahwana pemikat hati wanita. Dara saja seolah tak berkedip menatap takjub pada sosok raksasa yang sebelumnya membuatnya ngeri setengah mati.
Sayangnya, kegagahan Bima Sena Dwijaya pagi itu ternoda oleh kegaguan yang menyerangnya tiba-tiba.
“A .... A .... Sa-sa-ya ....”
Bibir pria tinggi besar itu terasa berat untuk mengucap ijab kabul. Padahal berulang kali dia merapalkannya tadi malam agar lancar saat acara berlangsung.
Bima menggeram frustrasi, lelaki penuh percaya diri dengan pengendalian emosi tingkat tinggi itu tak habis pikir, mana mungkin dia jadi gagu hanya gara-gara gugup.
Tiara hanya tersenyum samar di samping Bima, berharap mempelai pria itu menyerah saat kasak-kusuk tak sabar tetamu dan para undangan terdengar.
Sang penghulu menarik napas, hampir kehilangan kesabaran lalu mengulang kalimatnya.
“S-saya ....” Untuk kedua kali, Bima kembali gagal menyelesaikan kalimat ijab kabul, membuat suasana mulai tak terkendali.
“Nak Bima, cuci muka dulu!” perintah tegas sang penghulu.
Menahan kesal, Bima bangkit ke belakang untuk mencuci muka ditemani sang ibunda. Ibu anak itu bahkan sempat bersama-sama melakukan senam mulut ringan seolah atlet yang pemanasan sebelum kembali berlaga.
Penghulu kembali menuntun ijab kabul yang ketiga kalinya dengan perlahan agar mudah diikuti. Di luar dugaan, pria yang biasanya lancar berbicara itu masih saja tak mampu meneruskan kalimat sama sekali.
Keluarga besar Bima tercengang kemudian terdengar bertanya-tanya. Riuh suasana akibat gagalnya terucap hingga tiga kali.
“Ternyata benar kata nenek, kalau taruh kodok dalam tempurung di depan rumah, si mempelai pria enggak bisa ngucapin akad nikah,” gumam Tiara penuh kemenangan.
Tak salah jika dirinya harus rela menyentuh makhluk berkaki empat yang berlendir dan menjijikkan itu, jika akhirnya bisa menyelamatkan kehidupannya.
“Mandi! Mandi dulu!” perintah Pak Tardi.
Jika diingat sesuai petuah orang Banjar, hingga tiga kali belum mampu melafazkan kalimat sakral tersebut maka mempelai pria disuruh mandi terlebih dahulu.
Mendengar saran dari calon mertua, tentu saja Bima menurut. Selama masih ada cara untuk mendapatkan Tiara, mengapa tidak dicoba?
Datanglah seseorang yang tadi diperintahkan untuk menyiapkan air dan mengguyur Bima. Doa-doa dirapalkan dengan harapan acara bisa berlangsung lancar.
“Alah, mau mandi kembang tujuh rupa juga enggak bakalan mempan kalau kodok itu masih ada di depan,” ledek Tiara.
Tak henti dia tertawa hingga terpingkal-pingkal melihat hal yang dianggap bodoh oleh dua keluarga di hadapannya. Mengundang tanya sebagian orang yang menatapnya.
Tak sengaja salah satu pembantu Bima yang hendak mengambilkan air, menyenggol tempurung itu. Kodok yang tadi terkurung segera melompat memasuki rumah, membuat para tamu wanita berteriak histeris dan berhamburan ke luar. Hal itu sontak mengundang tanya keluarga Bima.
Sejak kapan kodok berkurung di tempurung ada di sana? Sedang Pak Tardi yang mengetahui mitos Banjar itu terpaksa diam dan menyembunyikan semuanya demi tak membuat kekacauan.
Tiara yang tadi sempat merasa lega, dikagetkan oleh lompatan kodok yang menghambur di ruangan. Seketika batinnya terasa nelangsa. Lepasnya kodok itu sama saja dengan terciptanya pernikahan dia dengan Bima.
Usai mengusir kodok dan mengembalikan kondisi menjadi tenang, Bima kembali bersiap mengucapkan kalimat yang telah tiga kali gagal ke luar dari bibirnya.
“Saya terima nikahnya Mutiara binti Tardi Sumono dengan mas kawin uang senilai empat puluh juta, dibayar tunai!” Dengan lantang dan bersemangat Bima melafazkan ikrar suci tersebut, disusul kalimat sah juga riuh sambutan para tamu undangan yang menunggu sejak tadi.
Akad nikah yang sempat tertunda itu akhirnya berlangsung lancar.
Usai ijab kabul, bukannya duduk bersanding di pelaminan, Tiara malah memilih pergi ke luar dan mendatangi tempat tersajinya makanan. Tak peduli seluruh mata memandang heran, dia tetap mengambil sepiring jumbo nasi serta lauk pauk yang tersedia, tak lupa aneka masakan jengkol yang ada di sana.
Dia membawanya ke dalam kamar, menikmati dengan lahap tanpa peduli Pak Tardi yang berkeliling mencari.
Puas menghabiskan seluruh isi piring yang tadi penuh, Tiara melangkah ke luar dan mendapati sang ibu yang tengah geram memandangnya.
“Anak ini, bukannya di pelaminan malah di sini! Balik sana!” titah sang ibu.
Bu Tardi menggandeng Tiara ke depan, sorot mata undangan di sana masih saja tertuju pada mempelai yang tadi menghilang.
Baru sampai di samping Bima, Tiara mengeluarkan serdawa yang membuat Bu Tardi terperangah.
“Tadi lapar makanya cari makan, dari pagi disuruh make up-an doang,” ceplosnya ringan.
Raut wajah Bu Tardi berubah merah, antara malu dan menahan kesal pada putri pertamanya. Di hari ini, seharusnya dia bisa pamer pada seisi kampung, bahwa mereka memiliki mantu kaya. Namun, malah berakhir menanggung aib karena kelakuan Tiara.
Bima yang telah hafal bagaimana Tiara sejak masa pendekatannya hanya mengulum senyum, kemudian mempersilakan duduk di sampingnya.
Tangan besarnya merangkul tubuh kecil Tiara, membuat wanita bertubuh pendek dan mungil itu hampir saja kehabisan napas.
Tiba-tiba perutnya terasa dililit, makanan serba pedas yang tadi diambil membuatnya sembelit. Demi memandang sang ibu yang duduk di sudut ruangan dengan sorot mata tajam dan mengancam, dia terpaksa menahan diri.
Sesi foto dilakukan, setiap para undangan berdatangan dan menyalami untuk memberikan selamat. Tiara yang sudah menahan sejak beberapa jam lalu, akhirnya tak lagi bisa diam.
Beberapa detik sebelum foto diambil dengan keluarga jauh Bima, terdengar bunyi kentut disertai bau jengkol yang memenuhi ruangan. Pose yang tadi telah diatur sedemikian rupa berubah dengan gerakan menutup hidung oleh mereka di sana.
Keluarga besar Bima bertanya-tanya, siapakah gerangan pemilik gas metana yang tengah menyerang dan menusuk indra penciuman?
Bima yang mengetahui asal muasal bau dari sisinya hanya berusaha menahan diri. Sedang Tiara, hanya tersenyum penuh kemenangan.
Akhirnya, acara resepsi pernikahan Bima dan Tiara selesai digelar ketika matahari sudah meredup. Wajah-wajah lelah terbingkai nyata dari paras kedua keluarga.“Pak, saya berencana langsung memboyong Tiara, untuk tinggal di rumah saya malam ini juga.”Bima memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga melepas lelah setelah acara resepsi dengan berbagai insiden yang sengaja diciptakan Tiara.“Eh, enggak bisa begitu dong. Aku kan belum kemas-kemas.” Tiara protes sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang justru membuat Bima semakin gemas dengan istrinya yang kecil mungil itu.“Semua pakaianmu sudah ibu bereskan, juga boneka beruang kesayanganmu,” ucap Bu Tardi yang tiba-tiba muncul sambil menyeret koper berisi pakaian Tiara.Tiara menatap sedih ibunya. Mengapa dia merasa seolah-olah ibunya ingin dia cepat-cepat pergi dari rumah, terasa sekali bahwa kehadirannya benar-benar tak diharapkan.T
Aroma harum mentega menguar, menyapa hidung Tiara ketika wanita itu menuruni tangga. Padahal saat ini baru pukul enam pagi, tetapi Bima sudah sibuk menata piring di meja makan. Sesekali lelaki besar itu berbalik ke dapur mini di belakangnya untuk mengaduk entah apa di atas kompor.Rambut Bima itu seperti rambut perempuan, meski bergelombang tetapi terawat dan berkilau. Begitu suami Tiara itu berbalik dengan kunciran tingginya dan celemek plastik bergambar Teddy Bear di badannya, tak ayal membuat Tiara tersenyum geli. Bima terlihat menggemaskan.“Assalamualaikum. Guten morgen. Sarapan?” tawar Bima sambil menunjuk sepiring roti bakar dengan selai stroberi yang mengepul panas plus segelas jus jeruk di depan Tiara.“Waalaikum salam. Kelihatannya enak.”“Tentu dong!” Bima tersenyum saat Tiara dengan lahap mengunyah roti dan menyeruput jus jeruk. Tiara tertawa sambil mengacungkan jempol, membuat Bim
Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetk
Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh
"Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini. "Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima. "Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan. "Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda." Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?" Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me
Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m
Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal."Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!"
Di malam terakhir bulan madu mereka berdua. Tiara menyandarkan kepala di bahu kokoh Bima. Entah mengapa kini di sisi Bima Sena ditemuinya nyaman yang membuatnya enggan kehilangan.Dalam dekap tubuh lelaki berdada bidang itu, detak jantung Bima menjadi candu yang selalu menenangkan resahnya. Belaian demi belaian tangan dari Bima berubah menjadi hal yang selalu dinantikannya."Kenapa kamu harus baik kepadaku? Bukankah selama ini aku menyebalkan? Aku selalu berusaha mencipta jarak di antara kita, tapi kau, tak pernah menyerah untuk memutuskannya," ungkap Tiara."Karena kamulah Sinta yang dicari Rahwana. Pertemuan kita seperti roda, tak peduli kita yang berbeda. Kamu di atas, dan aku dibawah. Namun pada putarannya ada temu yang menyatukan kita. Pada dua pilihan selanjutnya yang disajikan untuk kita, bersama atau saling meninggalkan. Aku tetap ingin menjadi satu dalam kebersamaan." Bima menyunggingkan senyum yang lagi-lagi membuat Tiara tersipu untuk ke sekian kaliny