Beranda / Romansa / Mutiara Sang Rahwana / Pengantin Tak Tahu Diri

Share

Pengantin Tak Tahu Diri

Penulis: Asy'arie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-01 10:36:52

Jika menikah bagi sebagian orang menjadi momen bahagia, berbeda dengan Tiara. Baginya, pernikahan ini adalah awal mula petaka di kehidupannya.

Dia mematut pantulan diri di depan kaca, ketakutan yang selama ini selalu berusaha dihindarinya menjelma nyata karena kedatangan si raksasa.

Tak peduli seberapa keras dia mencoba mengusir dan membuat illfeel Bima, juragan jengkol itu tetap bersikeras memilihnya.

Bima tersenyum simpul saat melihat mempelainya dibawa mendekat. Tiara terlihat memesona meski wajahnya terus ditekuk sembilan belas bagian begitu. Ah, jatuh cinta memang bikin orang kehilangan logika.

Lelaki itu sendiri telah gagah dengan jas hitam panjang berkerah tegak kebanggaan keluarga, ditambah peci juga ikatan kain batik di pinggang, menyulap sosok Bima menjelma jadi Rahwana pemikat hati wanita. Dara saja seolah tak berkedip menatap takjub pada sosok raksasa yang sebelumnya membuatnya ngeri setengah mati.

Sayangnya, kegagahan Bima Sena Dwijaya pagi itu ternoda oleh kegaguan yang menyerangnya tiba-tiba.

“A .... A .... Sa-sa-ya ....”

Bibir pria tinggi besar itu terasa berat untuk mengucap ijab kabul. Padahal berulang kali dia merapalkannya tadi malam agar lancar saat acara berlangsung.

Bima menggeram frustrasi, lelaki penuh percaya diri dengan pengendalian emosi tingkat tinggi itu tak habis pikir, mana mungkin dia jadi gagu hanya gara-gara gugup.

Tiara hanya tersenyum samar di samping Bima, berharap mempelai pria itu menyerah saat kasak-kusuk tak sabar tetamu dan para undangan terdengar.

Sang penghulu menarik napas, hampir kehilangan kesabaran lalu mengulang kalimatnya.

“S-saya ....” Untuk kedua kali, Bima kembali gagal menyelesaikan kalimat ijab kabul, membuat suasana mulai tak terkendali.

“Nak Bima, cuci muka dulu!” perintah tegas sang penghulu.

Menahan kesal, Bima bangkit ke belakang untuk mencuci muka ditemani sang ibunda. Ibu anak itu bahkan sempat bersama-sama melakukan senam mulut ringan seolah atlet yang pemanasan sebelum kembali berlaga.

Penghulu kembali menuntun ijab kabul yang ketiga kalinya dengan perlahan agar mudah diikuti. Di luar dugaan, pria yang biasanya lancar berbicara itu masih saja tak mampu meneruskan kalimat sama sekali.

Keluarga besar Bima tercengang kemudian terdengar bertanya-tanya. Riuh suasana akibat gagalnya terucap hingga tiga kali.

“Ternyata benar kata nenek, kalau taruh kodok dalam tempurung di depan rumah, si mempelai pria enggak bisa ngucapin akad nikah,” gumam Tiara penuh kemenangan.

Tak salah jika dirinya harus rela menyentuh makhluk berkaki empat yang berlendir dan menjijikkan itu, jika akhirnya bisa menyelamatkan kehidupannya.

“Mandi! Mandi dulu!” perintah Pak Tardi.

Jika diingat sesuai petuah orang Banjar, hingga tiga kali belum mampu melafazkan kalimat sakral tersebut maka mempelai pria disuruh mandi terlebih dahulu.

Mendengar saran dari calon mertua, tentu saja Bima menurut. Selama masih ada cara untuk mendapatkan Tiara, mengapa tidak dicoba?

Datanglah seseorang yang tadi diperintahkan untuk menyiapkan air dan mengguyur Bima. Doa-doa dirapalkan dengan harapan acara bisa berlangsung lancar.

“Alah, mau mandi kembang tujuh rupa juga enggak bakalan mempan kalau kodok itu masih ada di depan,” ledek Tiara.

Tak henti dia tertawa hingga terpingkal-pingkal melihat hal yang dianggap bodoh oleh dua keluarga di hadapannya. Mengundang tanya sebagian orang yang menatapnya.

Tak sengaja salah satu pembantu Bima yang hendak mengambilkan air, menyenggol tempurung itu. Kodok yang tadi terkurung segera melompat memasuki rumah, membuat para tamu wanita berteriak histeris dan berhamburan ke luar. Hal itu sontak mengundang tanya keluarga Bima.

Sejak kapan kodok berkurung di tempurung ada di sana? Sedang Pak Tardi yang mengetahui mitos Banjar itu terpaksa diam dan menyembunyikan semuanya demi tak membuat kekacauan.

Tiara yang tadi sempat merasa lega, dikagetkan oleh lompatan kodok yang menghambur di ruangan. Seketika batinnya terasa nelangsa. Lepasnya kodok itu sama saja dengan terciptanya pernikahan dia dengan Bima.

Usai mengusir kodok dan mengembalikan kondisi menjadi tenang, Bima kembali bersiap mengucapkan kalimat yang telah tiga kali gagal ke luar dari bibirnya.

“Saya terima nikahnya Mutiara binti Tardi Sumono dengan mas kawin uang senilai empat puluh juta, dibayar tunai!” Dengan lantang dan bersemangat Bima melafazkan ikrar suci tersebut, disusul kalimat sah juga riuh sambutan para tamu undangan yang menunggu sejak tadi.

Akad nikah yang sempat tertunda itu akhirnya berlangsung lancar.

Usai ijab kabul, bukannya duduk bersanding di pelaminan, Tiara malah memilih pergi ke luar dan mendatangi tempat tersajinya makanan. Tak peduli seluruh mata memandang heran, dia tetap mengambil sepiring jumbo nasi serta lauk pauk yang tersedia, tak lupa aneka masakan jengkol yang ada di sana.

Dia membawanya ke dalam kamar, menikmati dengan lahap tanpa peduli Pak Tardi yang berkeliling mencari.

Puas menghabiskan seluruh isi piring yang tadi penuh, Tiara melangkah ke luar dan mendapati sang ibu yang tengah geram memandangnya.

“Anak ini, bukannya di pelaminan malah di sini! Balik sana!” titah sang ibu.

Bu Tardi menggandeng Tiara ke depan, sorot mata undangan di sana masih saja tertuju pada mempelai yang tadi menghilang.

Baru sampai di samping Bima, Tiara mengeluarkan serdawa yang membuat Bu Tardi terperangah.

“Tadi lapar makanya cari makan, dari pagi disuruh make up-an doang,” ceplosnya ringan.

Raut wajah Bu Tardi berubah merah, antara malu dan menahan kesal pada putri pertamanya. Di hari ini, seharusnya dia bisa pamer pada seisi kampung, bahwa mereka memiliki mantu kaya. Namun, malah berakhir menanggung aib karena kelakuan Tiara.

Bima yang telah hafal bagaimana Tiara sejak masa pendekatannya hanya mengulum senyum, kemudian mempersilakan duduk di sampingnya.

Tangan besarnya merangkul tubuh kecil Tiara, membuat wanita bertubuh pendek dan mungil itu hampir saja kehabisan napas.

Tiba-tiba perutnya terasa dililit, makanan serba pedas yang tadi diambil membuatnya sembelit. Demi memandang sang ibu yang duduk di sudut ruangan dengan sorot mata tajam dan mengancam, dia terpaksa menahan diri.

Sesi foto dilakukan, setiap para undangan berdatangan dan menyalami untuk memberikan selamat. Tiara yang sudah menahan sejak beberapa jam lalu, akhirnya tak lagi bisa diam.

Beberapa detik sebelum foto diambil dengan keluarga jauh Bima, terdengar bunyi kentut disertai bau jengkol yang memenuhi ruangan. Pose yang tadi telah diatur sedemikian rupa berubah dengan gerakan menutup hidung oleh mereka di sana.

Keluarga besar Bima bertanya-tanya, siapakah gerangan pemilik gas metana yang tengah menyerang dan menusuk indra penciuman?

Bima yang mengetahui asal muasal bau dari sisinya hanya berusaha menahan diri. Sedang Tiara, hanya tersenyum penuh kemenangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mutiara Sang Rahwana   Jangan Pernah Menghilang Lagi!

    Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be

  • Mutiara Sang Rahwana   Tak Pantas

    “Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb

  • Mutiara Sang Rahwana   Arjuna yang Terluka

    "Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim

  • Mutiara Sang Rahwana   Kehamilan yang Melelahkan

    Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T

  • Mutiara Sang Rahwana   Tetaplah Bersinar, Mutiara

    Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi

  • Mutiara Sang Rahwana   Rahasia Besar

    "Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status