"Nicho..""Ara.. Ikutlah denganku.""Kamu terlihat bahagia, apa kamu bahagia udah ninggalin aku? Aku kangen kamu...""Ikut aku, Ra.""Kemana? Ini dimana? Nicho..."Tangan Nicho berusaha menggaet tangan Mutiara, tetapi jarak yang cukup jauh itu membuat tangannya hanya mengambang hampa di udara."Ara, aku mencintaimu. Ikutlah aku..""Tapi.. Aku nggak bisa ninggalin pasienku. Aku baru selesai operasi, Nich. Aku harus menanggung hukuman karena kelalaianku. Aku ingin istirahat tapi aku nggak bisa ikut kamu.. Nicho.. Aku kangen..""Aku kangen, Nich.." Gumam Mutiara parau. Air matanya meleleh melewati hidung dan berpadu dengan air mata lainnya di sudut kanan.Mutiara membuka matanya.Sudah berapa lama Mutiara tertidur?Ia terbangun karena perutnya yang semakin terasa melilit. Sudah berapa lama ia tak makan?Tangan Mutiara terulur lemah menarik ponsel di dalam tas nya. Menekan tombol power berkali-kali tetapi tetap tak menyala.Baterainya kehabisan daya. Memasukkan kembali ponsel itu ke dalam
Seminggu skrosing ternyata sama sekali tak berat bagi Mutiara. Selain bisa beristirahat selama empat hari dengan tidur tanpa sadar itu, tiga hari yang tersisa itu digunakan Mutiara seperti hari-hari biasanya. Belajar. Meki tidak sadar, tidur selama empat hari itu membantu tubuh Mutiara pulih lebih cepat. Tubuhnya ringan tidak seperti beberapa minggu ke belakang. Meski begitu, hatinya belum benar-benar pulih dari kenangan seorang Nicho. Suara yang memanggilnya terus terngiang dan membayang. Sesekali Mutiara mendesah berat ketika suara itu terasa mengganggu. Ya. Suara itu sekarang terasa menganggu bahkan. Mengganggu kerinduannya yang seharusnya sudah terpendam kini muncul ke permukaan lagi. Rindu pada panggilan Nicho yang khas itu. Suaranya, cara memanggilnya, tatapan matanya. Semuanya terasa istimewa dulu.Juga Mutiara mengalihkannya dengan membuka kembali jurnal jurnal kedokteran bedah saraf dan menonton video-video operasi pembedahan.Walau terdengar agak lancang tetapi Mutiara te
Tiga hari kemarin Motaz benar-benar tak berani mengganggu Mutiara meski rasa khawatirnya membumbung tinggi menyelimuti. Rasa khawatir itu kemudian ia lampiaskan dengan secara rutin mengunjungi departemen bedah saraf dimana Mutiara bekerja. Hanya lewat. Tetapi walau hanya lewat, ternyata hal itu cukup mengusik penduduk departemen itu. Seperti yang disampaikan Lisa terakhir kali. Wajah datar tanpa senyum itu masalahnya. Kalau saja Motaz murah senyum pasti tak akan jadi masalah. Tapi entah sejak kapan terakhir kali Motaz terlihat tersenyum, semuanya dibuat tak nyaman karenanya. Mutiara sakit terakhir kali ia ke sana dan pertama kali mengetahui rumah Mutiara. Wajahnya pucat dan Mutiara tertidur selama empat hari. Seraut kekhawatiran yang tumbuh itu sudah mampu mengganggu pikirannya. Bagaimana keadaannya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Apa dia sudah sembuh? Apa yang dilakukan Mutiara selama skorsingnya? Apa yang dilakukan Mutiara? Kenapa pula Motaz ingin tahu? Motaz mungkin hanya
"Muti hentikan!!" Seru Motaz. Berderap melangkah lebar-lebar lalu menarik mundur Mutiara yang kini terbenong dalam cengkeramannya. Mutiara tergamam, suara ini pernah didengarnya. Suara ini sungguh tak asing di telinganya. Suara ini... panggilan ini.. Rasa sakit dan damai yang terasa dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba menelusup membangkitkan memori yang terkubur dalam otak Mutiara. Memori pahit yang mendalam yang ingin benar-benar dilupakan. Hanya karena suara itu... Mutiara mematung, tetapi ia masih sadar hanya untuk melepas tangan Motaz yang mencengkeram lengannya. Menjauh beberapa langkah dan menghujamkan tatapan pada mata abu-abu terang itu. Saat sadar sepenuhnya, Mutiara mengerling pada Motaz, melirik tajam pada Mia, lantas meraup setumpuk map berisi rekam medis pasien-pasiennya lantas berlalu dari kerumunan itu menuju bangsal pasien. 'Muti...' Suara itu masih terngiang-ngiang di kepala Mutiara. Padahal semua rekan-rekannya memanggilnya begitu. Tetapi terasa berbeda saat
Dentang piring yang beradu dengan sendok menjadi latar suara yang mendominasi di kantin siang itu. Juga paduan suara dari beberapa meja membicarakan cerita masing-masing. Hampir seluruh kantin itu penuh.Semua terlihat seru dengan ceritanya sendiri-sendiri. Begitu juga di meja Dea dan Mutiara.Dua orang yang menghadapi piring yang kini separuhnya telah kosong itu masih asyik bercerita. Sesekali wajah Dea cemberut berganti kesal, lalu terlihat mengomel. Berbeda dengan Mutiara yang sepertinya khusyuk mendengarkan sambil mengunyah makanannya.Makanan yang keseluruhannya disiram sambal itu terlihat begitu menggoda lidah. Entah bagaimana kondisi perutnya nanti, apa sama menggodanya atau malah menunggu lilitan siksa sambal."Bagaimana kabar keponakanku yang ngegemesin itu?" Tanya Mutiara setelah menyelesaikan makan siangnya."Ngegemesin dari mana. Pusing aku di rumah, Mut.. Dia mirip siapa, dah. Banyak kali pertanyaannya." Keluh Dea.Usia putri Dea menginjak lima tahun. Masih dalam kategori
Mutiara seharusnya tidak perlu merasa sekecewa itu hanya karena tawarannya untuk memasak ditolak. Bukankah seharusnya ia merasa senang karena terbebas dari sebuah rutinitas yang mungkin akan menyiksanya itu. Berpura-pura menjadi istri yang berbakti disaat kondisi pernikahan itu begitu mengguncang batinnya adalah sebuah perbuatan yang menyiksa. Mutiara melangkah cepat-cepat menuju kamarnya yang di lantai dua rumah Motaz itu. Melangkah sampai tak memperhatikan bahwa tasnya yang terselempang dibahu berayun menyenggol botol parfum yang ada di atas meja. PRANGGGG!!! "Aaa.." Mutiara berteriak kencang. Mutiara menatap kosong botol parfum yang pecah dan isinya meluber kemana-mana itu. Tubuhnya bergerak reflek, berjongkok lantas memunguti pecahan kaca itu dengan tangan kosong. Bolehkah sekali ini saja ia mengulangi apa yang ia lakukan dulu? Melarikan diri. Bolehkah ia mengulanginya lagi? Mutiara rasa hidup dengan kepura-puraan ini begitu menyiksanya. Ia mungkin tak akan sanggup menjala
Senyapnya malam itu ternyata mampu menusuk relung hati Mutiara semakin dalam. Selepas menutup semua jendela dan tirai rapat-rapat, Mutiara bergelung di atas ranjang, meringkuk memeluk lututnya. Dingin sekali. Bukan udaranya, tetapi di dalam dirinya terasa sangat dingin. Setelah percakapan malam itu, Mutiara justru semakin menanamkan di dalam dirinya bahwa ia sedang dan masih dalam membalas budi. Motaz mepertegasnya walau tak langsung. Utangnya semakin bertumbuh subur kini karena tinggal seatap dengan Motaz. Juga keinginan untuk tak hidup gratis membuat Mutiara bertekad melakukan apa saja di rumah itu, sebelum... Sebuah pemikiran untuk pergi dari rumah itu melintas di pikiran Mutiara.Mutiara membersihkan rumah, memasak menyiapkan sarapan atau makan malam meski tak pernah makan bersama. Mutiara selalu membawa makanannya ke kamar. Menikmati sambil menatap keluar jendela. Mutiara melakukan semua itu untuk dirinya sendiri. Agar ia tak terlalu terbebani dengan hidup di bawah atap mili
'Rasanya sama. Perasaan sakit saat melihat ia terbaring seperti ini sama dengan saat melihat Muti terbaring di rumah sakit karena kelakuan bedebah itu. Melihatmu selalu mengingatkanku pada Muti. Melihatnya terbaring seperti ini seperti diriku yang dulu saat melihat Muti terluka.'Motaz menatap lama tangan Mutiara yang ditusuk jarum infus. Menjaga orang yang sedang sakit seharusnya bukan sesuatu yang sulit. Motaz sudah lebih dari berpengalaman bertahun-tahun mendampingi adiknya.Namun, pengalaman ternyata bisa lenyap begitu saja saat ia menghadapi Mutiara. Kepalanya terasa kosong tiba-tiba dan ia tak bisa memikirkan apapun. Kepanikan dan kekhawatiran sibuk meliputi sampai ia tak bisa berpikir jernih."Sudah hampir pagi," Motaz melirik jam tangannya, sudah hampir jam lima.Matanya tak mampu terpejam meski tubuhnya menggerutu meminta hak istirahat sejak semalam."Aku pergi ke mushola sebentar.." Pamitnya pada Mutiara yang masih terpejam.Setelah melaksanakan sholat dua rakaat, Motaz kemba