Satu hari sebelumnya.Kartika bergelung di atas ranjang seharian itu. Periode bulanannya datang dan seperti biasa, ia selalu bedrest paling tidak tiga hari lamanya. Disaat-saat seperti ini ia sangat membutuhkan perhatian suaminya.Tetapi, pagi-pagi sekali Kevin harus berangkat ke kantornya."Nggak bisa cuti dulu? Aku lemes banget. Dari kemarin aku pengen diusap-usap perutnya, tapi kamu pulang malem terus.." Rengek Kartika.Kevin hampir jengah di pagi hari itu juga, karena kerewelan Kartika. Padahal biasanya ia tak masalah menghadapi wanitanya itu. Rewelnya Kartika justru membuatnya gemas dan tambah cinta, tapi itu dulu sebelum bertemu Rara.Sekarang, semua yang dilakukan Kartika rasanya salah di matanya."Nggak bisa. Ada rapat pagi ini. Aku juga harus presentasi proposal kegiatan yang udah bela-belain lembur sejak beberapa minggu yang lalu. Kamu tau sendiri, aku sering bilang hangout sama temen 'kan. Asal kamu tau, aku sebenernya lembur kerjaan. Buat kamu juga." Omel Kevin pada istrin
Rara tersentak membelalak saat keluar ruangan. Rupanya semua orang yang tadi berada di satu ruangan dengannya masih berdiri menunggu pintu lift terbuka, sedang kompak memandangnya yang baru saja di teriaki.Mata Rara bergetar. Kartika sekarang berada tepat di depannya tak lebih dari setengah meter. Memandangnya dengan mata nyalang dan tajam. Instingnya berjalan ketika melihat reaksi Kartika itu. Bisa jadi perbuatannya telah diketahui. Artinya, permainannya dengan suami temannya sendiri sudah harus berakhir.Rara terkejut hanya beberapa detik, kemudian ia kembali melakukan penguasaan diri seperti biasanya. Bersikap bodoh tentang apa yang terjadi.Tak mempedulikan siapa-siapa yang sedang menyaksikan amarahnya di belakangnya. Kartika juga tak peduli saat sosok Motaz menyembul dari ruangan itu. Mungkin malah tak sadar."Ada apa kamu teriak-teriak?" Tanya Rara lembut.Kartika tidak perlu menjawab. Tangannya terulur cepat menarik rambut Rara sampai wanita itu terjerembab."Harusnya yang aku
"Apa yang dilakukan Dokter Rara sudah sangat merugikan rumah sakit, Dok. Saya harap anda bisa memberikan hukuman yang setimpal untuknya. Dia juga bukan Dokter yang bisa diandalkan untuk Departemen Bedah. Itu dari saya. Tolong sampaikan ini padanya agar secepatnya keluar dari rumah sakit saya. Sekaligus saya akan memberikan catatan khusus untuknya.""Apa tidak terlalu berlebihan, Pak Motaz? Saya harap ini bukan karena masalah pribadi yang dibawa-bawa kesini. Maafkan saya kalau saya lancang." Dokter Fendi selaku orang yang mengepalai Departemen Penyakit Dalam sebisa mungkin berusaha mempertahankan bawahannya itu. Meski ia tahu betul Rara tidak bertanggung jawab dalam pekerjaannya."Kenyataannya memang begitu. Saya tidak akan menafikkan itu. Dokter Rara sendiri yang memulainya karena masalah pribadinya dengan saya dan istri kemudian ia menyebarkan fitnah melalui website rumah sakit. Saya rasa siapapun akan menilai hal itu tidak pantas dan tidak profesional. Apa cuma saya yang berpendapat
Lalu lalang orang-orang yang mendekati rumah Mbah Sugi seperti sebuah bayangan yang berlarian di mata Mutiara. Suara-suara yang keluar dari mulut orang yang berlalu lalang itu bagai dengungan lebah di telinga Mutiara. Mutiara seperti tak menjejak bumi malam itu. Hujan yang sesaat lalu sudah reda kini kembali menitikkan rintiknya lagi. Sedikit demi sedikit. Lalu menderas seriring derasnya air mata Mutiara yang mengalir dari pelupuk matanya. Kesedihan kehilangan seseorang yang sangat disayang itu masih terasa jelas dikepala dan di jiwa Mutiara. Bagaimana ia kehilangan ibunya, bagaimana cara Nicho meninggalkannya, dan kini... Kini simbah juga meninggalkannya. Mirisnya, cara mereka meninggalkan Mutiara hampir sama. Mutiara duduk di bangku SD saat itu, kelas lima? Ingatan itu tak terlalu jelas sebenarnya. Yang selalu dia ingat adalah hari itu ia sedang menghadapi ujian sekolah untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Jawa. Mutiara tak pernah tau kalau itu akan menjadi aw
Beberapa jam sebelum Mutiara tiba di kampung halamannya."Mbah.. ten griya gerah ya Mbah? Mbah kedah dipun obati." Bujuk Bulek Nunik pada Mbah Sugi. (Mbah.. Ke rumah sakit ya, Mbah? Mbah harus diobati.)Beberapa terakhir Bulek Nunik mondar-mandir dari rumahnya ke rumah Mbah Sugi karena kesehatan beliau semakin menurun. Bujukan demi bujukan ia lontarkan dengan halus agar simbah Sugi mau dibawa ke rumah sakit. Setidaknya untuk sedikit memberi harapan sembuh.Meski pertanda demi pertanda sudah lama ditunjukkan oleh Mbah Sugi, bahwasannya beliau memang sudah ingin berpulang pada Sang Pencipta.Bulek Nunik bukan hanya mengurusi rumah dan merawat Mbah Sugi, ia bahkan terlibat adu mulut beberapa kali dengan anak dan cucu Mbah Sugi yang tak tahu diri itu. Anak dan cucu Mbah Sugi yang artinya adalah bapak dan kakak laki-laki Mutiara.Dalam keadaan ibunya yang sekarat pun, laki-laki bernama Bagus itu masih sempat merampas harta terakhir ibunya. Sepasang suweng yang disimpan Mbah Sugi di dalam s
"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai." Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo. "SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang. Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'. Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri? Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya. Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara beke
Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena