Larangan yang lolos dari bibir Sandra tak berarti apa-apa bagi Adriel. Dia justru semakin tertantang untuk menyelesaikannya. Bahkan Sandra tak mampu memberontak saat dirinya dibawa ke sofa. Dengan mudah Sandra terbaring di atas sofa empuk itu.
Tak mau kehilangan kesempatan, Adriel kembali mengunci Sandra, bahkan untuk bangun pun sudah tak bisa. Degub jantungnya semakin kuat, melemahkan dirinya. Matanya lurus menatap laki-laki yang berada di atasnya itu. Sungguh, hatinya ingin memberontak, tapi tidak dengan tubuhnya.Adriel kembali melakukan serangan pada wanita yang sudah dinikahinya itu. Impuls yang diterima Sandra semakin kuat akibat usaha Adriel yang semakin gencar. Tak ada yang bisa menahan, mereka lupa pada perjanjian untuk tidak saling merasa memiliki. Tapi, Adriel benar-benar ingin memiliki gadisnya itu."Adriel, jangan!" Akal sehat Sandra masih tersisa.Adriel menatap gadis di bawahnya itu dengan mata sayu. Entah mengapa, wajah polos dan memelas Sandra megingatkaDenis tersenyum puas ketika membuka pintu apartemennya dan melihat siapa yang datang. Tepat seperti yang diinginkannya, hanya butuh waktu satu jam bagi Alena untuk sampai. Sejak pernikahan Adriel, Alena sangat kalut. Berhari-hari mengurung diri di kamar. Namun, panggilan Denis tak mampu ditolaknya."Ada apa?" tanyanya dengan nada ketus melewati Denis dan menjatuhkan diri di sofa."Kangen," tukas Denis, menghampiri wanita yang lebih dulu dipacarinya itu daripada Adriel.Alena menatap tajam pada laki-laki di sampingnya itu. Dia tidak menyangka, hubungannya dengan Adriel akhirnya diketahui oleh Denis. Padahal susah payah dia menyembunyikannya.Sebenarnya Denis sudah curiga semenjak setahun belakangan, sikap Alena berubah dari biasanya. Tidak manja apalagi romantis. Bahkan, hampir tidak pernah lagi meminta Denis untuk membelanjakannya. Beberapa kali juga Alena ingin memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Barulah di malam pernikahan sepupunya itu, dia men
Denis memang jarang berbicara empat mata dengan kakeknya. Sejak dia diantar oleh ayahnya, Ray untuk tinggal bersama Dewanda, hanya beberapa kali mereka bercakap berdua. Selebihnya, dia hanya menjalani aktivitas ditemani oleh para pengasuh dan pelayan.Dengan Melati pun tidak. Awalnya, dia mau bermanja-manja dengan istri kakeknya itu. Namun, setelah mengetahui kebenarannya, dia sendiri yang menjauhkan diri.Ray adalah anak tiri Melati. Kenyataan itu baru diketahuinya ketika seorang wanita muda dan seksi datang menemuinya bersama seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Wanita itu mengaku sebagai kekasih gelapnya Dewanda.Betapa terpukulnya Melati saat itu. Laki-laki yang begitu dicintai dan dipercayainya, tega mengkhianati. Sulit baginya untuk menerima kenyataan. Begitu juga dengan Dewanda, tidak mudah baginya untuk mendapatkan maaf dan kepercayaan dari sang istri lagi. Saat itu adalah masa-masa terberat dalam rumah tangga dan cinta mereka.Keadaan mulai membaik setelah
Adriel datang ke kantor tempat Sandra bekerja. Kesibukan di perusahaan kakeknya, membuat dia sedikit melupakan perusahaan yang baru dibeli karena Sandra itu. Pagi itu, keadaan kantor sedikit lebih tegang dari hari-hari saat dia tidak masuk.Arman dan Sandra segera menghadap ke ruangannya untuk memberikan laporan masing-masing. Sekalipun Arman bukan lagi pimpinan, dia masih dipercaya untuk mengatur jalannya perusahaan. Apalagi, Alfaro harus memegang tiga perusahaan sekaligus saat. Perusahaan yang telah dirintisnya sendiri juga tidak boleh diabaikannya begitu saja, meski Dewanda akan menyerahkan perusahaan ke tangannya."Pencapaian masih jauh dari target, padahal ini sudah hampir akhir bulan," ujar Adriel sambil memeriksa laporan dari Arman."Benar, Pak. Saya janji akan meningkatkan kinerja team marketing setelah ini." Arman tidak dapat menyembunyikan kegentarannya di hadapan bos yang jauh lebih muda darinnya."Saya rasa perusahaan ini butuh seseorang yang khusus mengurus
"Please, maafkan aku! Aku janji akan menikah dengan kamu." Alena menegakkan tubuhnya kembali, dia tampak putus asa."Aku sudah menikah," tukas Adriel. Dia bangkit berdiri, menjauh dari Alena."Aku gak percaya kamu mencintainya." Alena menyusul dari belakang, mendekatinya."Aku gak butuh kepercayaan darimu." Adriel membalikkan badan agar pernyataannya terdengar jelas, tapi Alena sudah berada di belakangnya."Aku bisa rasakan hatimu untuk siapa." Kedua tangan Alena telah melingkar dengan bebas di leher Adriel. Tatapan mereka beradu.Melihat tidak ada penolakan, Alena memainkan jemarinya di pipi Adriel. Berkali-kali dia memanggil dengan sebutan sayang, Adriel hanya memalingkan wajah, tapi tidak beranjak. Dibiarkannya wanita itu bergelayut manja.Seketika itu juga Sandra masuk tiba-tiba. Adriel mendorong tubuh Alena hingga tangannya terlepas dari leher sang mantan kekasih. Padahal, dia tahu tidak perlu melakukan hal itu.***Alena keluar dari ruan
Sandra hanya diam, membiarkan Adriel menjelaskan semuanya yang mungkin saja belum diketahuinya. Tubuhnya bagaikan patung es yang siap untuk meleleh."Ada sesuatu hal yang membuat kami batal menikah saat itu, padahal semua sudah kupersiapkan. Itulah sebabnya, aku menikah denganmu." Sandra mulai merasakan akan ada badai yang menerpanya."Tapi kini, Alena sudah siap menikah denganku." Deg, Sandra sudah bisa menebak kelanjutannya."Lalu?" Bibirnya bergetar."Kita akhiri saja sandiwara ini." Adriel mengucapkannya dengan perlahan."Warisanmu? Bukankah itu tujuan semua ini?" Sandra berharap Adriel masih mempertimbangkan keputusannya. Entah mengapa, ini begitu sulit diterimanya."Aku bisa mendapatkannya bersama Alena. Syarat dari kakek hanya aku harus menikah." Penjelasan Adriel sama sekali tak diharapkan, bahkan seolah tak peduli pada perasaannya."Lalu aku?""Bukankah semua sudah kulakukan untukmu?" Mata Adriel ikut menegaskan kalimatnya."Lalu, kemudian aku aka
Alena memasuki halaman rumah milik Dewanda. Ini adalah kali pertamanya diajak Adriel yang harusnya pada malam itu. Penyesalan kembali menggerogoti hatinya, mengapa tidak sejak awal. Namun, senyuman licik kembali samar di wajahnya, mengingat sebentar lagi, Adriel akan kembali ke pelukannya.Tak putus ia mengagumi kemewahan milik keluarga kekasihnya itu. Tanpa sadar, Adriel mendengar decakan kagum yang meluncur begitu saja dari mulutnya."Rumah kakek kamu, besar sekali, Sayang." Alena bergelayut manja di lengan Adriel sambil memandang sekitarnya. Laki-laki itu hanya tersenyum melihat kebahagiaan wanitanya."Kamu harus buat mereka menyukaimu, ya." Adriel menyentuh puncak hidung Alena."Siap, Pak Bos." Alena menggeser wajahnya hingga puncak hidungnya yang mancung menyentuh pipi Adriel. Keduanya tertawa bahagia.Dewanda dan Melati telah menanti di dalam rumah. Mereka dapat menyaksikan kemesraan cucunya dengan wanita lain yang bukan istri sahnya. Melati menatap dengan sendu
"Nenek gak setuju kamu menikah dengan dia," tukas Melati. Dia menatap cucunya penuh harap.Adriel sangat menyayanginya, demikian sebaliknya. Keduanya saling bergantung dan tidak dapat menolak permintaan masing-masing. Tapi, kali ini Melati tidak akan menuruti keinginan cucunya itu."Kenapa, Nek? Apa karena dia tidak bisa masak? Semua butuh proses, Nek." Adriel mencoba meyakinkan neneknya dengan wajah memelas. Dia tidak berani berkata keras terhadap wanita yang telah membesarkannya itu."Bukan hanya itu, nenek rasa dia bukan perempuan yang cocok denganmu. Apa kurangnya Sandra?" Sama halnya dengan Melati, tidak pernah ada kata atau nada keras darinya mesikipun sedang marah pada cucu tunggalnya itu."Pasti karena Sandra, kan? Nenek suka karena lebih dulu mengenalnya daripada Alena.""Ya, Nenek suka pada istrimu itu. Jangan pernah menggantikannya dengan wanita lain!" Melati menekankan setiap katanya.Adriel tahu, Melati sudah tak terbantahkan jika sudah sep
Adriel berada dalam dua pilihan. Memilih Alena, sama halnya merelakan apa yang sudah diperjuangkan keluarganya pada orang yang salah. Denis akan mendapat kesempatan untuk memiliki warisan Dewanda. Tapi, jika dia memilih, mengikuti persyaratan Dewanda, dia takut akan terikat pada sesuatu yang tidak mudah dilepaskan.Seperti biasa, dia melakukan aktivitasnya, mengurus tiga perusahaan sekaligus. Adriel bersyukur punya orang-orang yang dapat dipercaya. Arman, meski tidak terlalu disenanginya, cukup membantu pekerjaannya."Permisi, Pak," pamit Arman setelah mendapatkan beberapa kritik dan saran dari Adriel.Adriel bukan saja pimpinan yang keras dan tegas, tapi dia juga mampu mengayomi karyawannya agar bekerja lebih efektif dan loyal. Tidak sedikit karyawan yang memuji gaya kepemimpinannya itu. Yang tidak suka, justru adalah mereka yang berlaku curang dan mencari kepentingan sendiri dan merugikan perusahaan.Baru saja Arman memegang handle pintu, pintu itu terdorong da