Ben tampak tidak tenang terbaring di atas ranjangnya. Pikirannya melayang teringat kejadian saat Nicole memeluknya. Wanita itu datang dengan tiba-tiba dan langsung mendekapnya erat.
Apakah Irish marah padaku? Sejak kejadian itu dia jadi diam dan enggan berbicara padaku, batin Benjamin.
Lantas dia menggelengkan kepalanya, bangkit dari baringnya dan meraih benda pipih. Menyalakannya dan mencari kontak Irish. Antara ragu dan tidak, Ben tampak bingung.
"Apa aku harus meneleponnya?" Ben belum begitu yakin. "Aah, aku ini kenapa?" Ben mengacak-acak rambut. "Aku akan bicara dengannya besok di kantor."
❣❣❣
Siang itu Benjamin menemui Alexander di cafe milik Howie. Kebetulan sekali di sana ada Gareth juga. Ben menemui Alex untuk membicarakan masalah Irish.
"Aku sih tidak masalah." Alex menatap Ben. "Selama dia setuju, aku pun akan mendukungnya," lanjut Alex kembali me
Selamat sore, bab 30 up! Selamat membaca
Tik ... tok ... tik ... tok ....Suasana hening, yang terdengar hanyalah suara detik jarum jam yang mengalun berirama ke seluruh penjuru ruangan. Enam pasang mata yang hanya saling beradu pandang, membuat suasana semakin menegang. Bunyi suara deheman Alexander memecahkan keheningan ruangan tersebut."Kenapa jadi canggung begini suasananya," kata Alex mencairkan suasana."Pokoknya aku tidak setuju, Kak!" bantah Irish."Irish, Kakak bukannya tidak mau ikut campur urusan kalian. Kalian berdua sudah cukup dewasa untuk memilih dan itu adalah hak kalian. Coba kalian berdua bicarakan baik-baik." Alex hanya menjadi penengah antara Irish dan Benjamin. Dia netral tidak memihak siapapun, walaupun Irish adalah adik kandungnya. Dia membiarkan Irish agar bisa berpikir lebih dewasa lagi.
Suara bel kembali berbunyi, Irish meraih ponselnya dan berusaha menghubungi seseorang. Namun, karena Irish dalam keadaan bingung dan takut, dia salah menekan nomor dan mengakibatkan salah sambung. Irish bukannya menghubungi Alexander, tapi justru yang dia hubungi adalah Benjamin.Benda pipih milik Ben bergetar saat Ben bersiap untuk tidur. Tangannya meraih benda tersebut dan menatap layarnya."Irish? Tumben dia meneleponku." Ben buru-buru menjawab panggilan itu. "Halo.""Kak, bisa ke sini tidak? Aku takut. Bel rumah berbunyi terus, tapi aku tidak melihat siapa-siapa dilayar tidak. Please Kak, ke sini ya." Klik! Irish langsung menutup sambungan teleponnya. Ben terdiam menatap layar ponselnya, dia bengong."Kak? Dia sedang mengigau apa?" beo Ben. "Eh .
Cuaca kota Leiden siang itu agak mendung, gumpalan awan hitam menyelimuti sebagian langit kota Leiden. Mendung tak berarti hujan itu istilah pepatah. Masuk jam istirahat kantor, Benjamin segera bergegas keluar dari ruang kantor. "Pak Adrima, aku akan pulang awal hari ini." "Baik Tuan Muda," jawab pak Adrima. "Tuan Muda tidak perlu khawatir, hari ini saya akan standby di kantor." "Terima kasih pak Adrima." Ben masih berusaha menghubungi Irish. "Kenapa kau tidak mengangkat telepon dariku!" Mobil perlahan masuk ke halaman rumah Irish. Ben memperhatikan sekeliling rumah Irish, melepas seat bell dan keluar dari mobil. "Sepi ...." Ben melangkah menuju teras rumah. "Apa Irish pergi ke apartemen Kakaknya?" Ben menekan pin pintu rumah Irish dan masuk ke dalam. Benjamin menelusuri tiap ruangan dari kamar, dapur, teras belakang rumah
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa banyak perubahan yang terjadi pada diri Benjamin Van De Haan. Pemuda itupun sekarang lebih sering menghabiskan waktunya bersama dengan Irish. Jam kantor telah usai, Irish segera berkemas untuk pulang. Ditentengnya tas berwarna cream dan melangkahkan kakinya ke masuk ke dalam lift. Ben dengan setia menunggu Irish di lobi kantor sambil memainkan ponselnya, sesekali dia melirik ke arah lift. Saat pintu lift terbuka, senyum simpul di bibir Ben. Seorang gadis keluar dari lift dengan menenteng tas. Benjamin langsung menghampiri Irish dan meraih tas yang ditenteng oleh Irish. "Biar aku yang bawa!" Pemandangan yang sudah tidak asing lagi karena para pegawai kantor sudah mengetahui hubungan kedua insan tersebut. Namun tidak dengan Irish. Justru gadis itu merasa tidak enak diperlakukan Ben dengan sangat beda. "Kau mau langsung pulang?" tanya Ben.
Bagi Alex, Irish adalah satu-satunya keluarga yang dia punya. Namun demikian sekarang keadaan sudah sangat berbeda, karena dia sudah mempunyai seorang istri. Walaupun begitu, Irish tetaplah adik kesayangan Alex. Tentunya dia tidak ingin kalau adiknya salah dalam memilih pasangan hidup. Rencana Alex kali ini memang membuat Ben dan Irish bisa berakhir pekan bersama. Rencana pertama berjalan lancar, Irish menyusul ke kota Rotterdam bersama dengan Benjamin. Rencana kedua Alex membuat Irish sekamar dengan Ben pun berhasil ... ah tidak, tepatnya secara kebetulan karena kamar hotel hanya tersisa satu kamar saja. Rencana ketiga adalah makan malam. Irish sudah mulai protes dengan Kakaknya, kenapa dia harus sekamar dengan Ben. Mulailah dia merayu kakaknya agar diperbolehkan tidur dengan Ayana, tapi di sini justru Ayana diberi kode oleh Alex untuk mencari alasan agar Irish mengurungkan niatnya untuk tidur dengan Ay. "Apa yang
Kegalauan tengah dirasakan Irish, apalagi posisinya berada dalam satu ruangan bersama dengan Benjamin. Hari terakhir di kota Rotterdam, membuat Ayana merasakan kalau bulan madunya tersebut sangat singkat. Memang setiap akhir minggu, Alex selalu mengajaknya pergi keluar kota. "Begini saja bulan madu kita, sayang?" Ayana terlihat kesal. "Kenapa sayang?" Alex menatap istrinya. "Minggu depan kita bulan madu lagi ya." Alex mengusap lembut rambut Ayana. "Kali ini aku memang sengaja membantu Ben. Kau jangan cemberut begitu dong, lain kali aku pastikan kita akan pergi hanya berdua saja." "Iya, aku tahu," jawab Ayana ketus. "Sekarang kita siap-siap untuk pulang ya," ucap Alex.
Sudah beberapa minggu ini Ben tinggal di rumah Irish. Ben menemaninya hingga apartemen tempat Ben tinggal tidak keurus. Walaupun sesekali dia pun pulang ke apartemen hanya untuk mengecek saja. "Mau sampai kapan kau tinggal di sini?" tanyanya pada Ben. "Sampai Bibi Dennisa sekeluarga pindah ke rumah ini," jawab Ben. Lagi-lagi Irish menghela napas panjang, gadis itu bangkit dari kursi dan langsung meraih tasnya. Begitu pun dengan Ben, pemuda tampan itu bangkit dari kursinya dan segera mengenakan jasnya. "Ayo berangkat," ajak Ben. "Aku naik bus saja," balas Hyena. Ben mengangkat tangannya dan melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Kau bisa terlambat kalau naik bus." Ben menarik tangan Irish. "Hei! Kau ini kenapa selalu memaksa." Suara Irish meninggi. "Tidak ada kata penolakan, masuk mobil!" perintah Ben
Sebuah mobil berwarna biru menerobos ramainya jalanan kota Leiden. Mobil itu perlahan parkir di halaman rumah yang berbentuk minimalis modern. Seorang pemuda turun sambil membenarkan jasnya, melangkah menaiki tangga yang hanya terdiri dari beberapa anak tangga saja. Tak lama dia pun menekan pin rumah tersebut. "Aku pulang," serunya masuk ke dalam rumah. Irish langsung menyembulkan kepalanya dari dapur. "Kak Alex!" "Oh ... Irish," ucapnya. "Di mana Ben?" tanyanya. "Kakak pulang ke rumah hanya untuk mencari Ben?" tanya Irish heran. "Apa Kakak tidak rindu dengan adik kakak yang cantik ini," rajuk Irish. "Kenapa Kakak malah mencari orang lain!" "Orang lain siapa?" tanya Alex. "Benjamin!" jawab Irish singkat. "Dia itu bukan orang lain buat Kakak, Sayang!" "Itu, orangnya sedang di kamar mandi!" Irish sedikit kesal, dia