Share

Chapter 3. That Day

Semilir angin berembus menusuk kulit. Daun-daun kering berguguran di buatnya. Brrr ... dingin sekali musim dingin kali ini. Seorang gadis berjalan terburu-buru sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Mengancingkan Cardigan Rajutnya karna memang cuaca pagi itu sangat dingin.

"Taksi!" teriak Irish pada sebuah taksi. Ia bergegas masuk, namun ia terkejut karena pada saat bersamaan seorang pemuda masuk ke dalam taksi juga. "Eh kau siapa?" ucap Irish galak.

"Kau yang siapa? Aku yang masuk duluan. Keluar sana!" pemuda itu kesal.

"Enak saja. Sudah jelas aku duluan yang masuk ke dalam taksi ini. Kau yang keluar!" Irish mendorong pemuda itu.

"Maaf—Tuan dan Nona, kalian ingin pergi ke mana?" ujar pak sopir menyela.

"Diam!" Keduanya membentak si sopir, hingga sopir itu tersentak kaget dan terdiam. Ia tampak sangat ketakutan.

"Kau keluar!" Irish membuka pintu taksi dan mendorong pemuda itu. "Jalan pak!" Irish menutup pintu taksi. Dia menoleh ke belakang dan melihat pemuda itu tengah kesal.

"Perempuan gila!" teriaknya menyepak angin di atas aspal. Sementara taksi yang di naiki Irish berhenti di sebuah perusahaan.

❣❣❣

Benjamin van De Haan masuk ke dalam rumahnya, dia melangkah dengan begitu cepat tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Beberapa pelayan hanya memperhatikan tanpa berani menyapanya. Ben, begitulah panggilan akrabnya, masuk ke dalam kamar, dan melempar jaketnya ke sofa. Dia langsung menjatuhkan badannya di atas ranjang, ingatannya kembali pada kejadian pagi tadi.

"Hiissss ... wanita sialan!" gerutu Ben. "Awas saja kalau sampai aku bertemu dengannya lagi".

Tok ... tok ... tok!

Terdengar suara pintu diketok, seorang wanita masuk ke kamar.

"Kau sudah pulang, sayang?" wanita itu berjalan mendekati Ben dan duduk di samping Ben. "Kenapa mukamu terlihat kesal?" tanya wanita itu dengan lembut.

"Tidak ada apa-apa hanya sedikit letih. Apa aku harus melakukannya besok? Rasanya aku belum siap." Ben menghela napas.

"Ini hanya sementara, sayang." Mengusap lembut rambut Ben, kemudian beranjak meninggalkan Ben di kamar. "Ah—Ibu, masak masakan kesukaanmu. Turunlah jika kau lapar. Sudah lama kita tidak makan bersama sejak kau memilih tinggal di apartemen."

"Ya, nanti aku akan turun," jawab Benjamin. Pemuda itu menghela napas panjang dan mengembuskannya, dia berpikir apakah dia benar-benar sanggup melaksanakan amanah Ayahnya untuk menggantikannya sementara.

❣❣❣

Hujan rintik-rintik di sore hari, jalanan penuh dengan genangan air. Tampak seorang gadis masuk ke sebuah cafe dan memesan Chocolate Orange. Terlihat seorang pemuda yang sedang memperhatikannya terus. Ketika hendak membalikkan badan ....

Bruukkk ....

Irish bertabrakan dengan seorang pemuda dan minuman coklat orange yang dia bawa tumpah mengenai baju pemuda itu.

"Dasar ceroboh! Mana tumpah lagi dibajuku!" pemuda itu ngomel-ngomel.

"Maaf ... maaf!" Irish langsung mengambil tisu dan membersihkannya. Ketika mata mereka saling pandang. Irish pun sudah bisa menerka kalau pemuda ini adalah orang yang tempo hari dia usir dari taksi.

"Sepertinya wajahmu sangat familiar!" pemuda itu berusaha mengingat-ngingat. "Ah ... kau kan perempuan yang mengusirku dari taksi waktu itu, kan?" Ben menunjuk wajah gadis itu dengan jari telunjuknya.

"Hah? Maaf mungkin anda salah orang," ucap Irish langsung nyelonong pergi.

"Hei ... sopan sekali kau ini, apa orang tuamu tidak mengajari sopan santun!" Ben berjalan mengikuti Irish dan langsung menarik kasar tangan Irish.

"Apa seperti ini seorang laki-laki memperlakukan seorang perempuan di tempat umum?" Irish langsung menginjak kaki Ben dan langsung keluar cafe menyetop taksi.

"Auww!" teriak Ben ketika gadis itu menginjak kakinya. "Perempuan sialan! Baru kali ini ada perempuan yang berani melawanku!" seketika Ben sadar kalau pandangan semua pengunjung cafe tertuju ke arahnya. "Sial!" ucap Ben menahan malu dan bermaksud pergi dari cafe, tapi dicegah seseorang.

"Maaf Tuan, Anda belum membayar makanan anda!" ucap pelayan cafe itu dengan ramah. Ben kaget dan langsung memberi uang pas dan pergi menuju mobilnya.

❣❣❣

Bip ... bip ... bip ....

Pintu terbuka, Irish melepas sepatunya dan langsung masuk duduk di sofa.

"Oh ... kau sudah pulang?" suara Alex dari dapur mengagetkan Irish.

"Kak Alex sudah pulang? Tidak seperti biasanya ...." Irish mendongak ke arah dapur.

"Ditanya, kenapa malah balik bertanya!" Alex berjalan sambil membawa segelas teh. Irish masih mikir mencerna perkataan kakaknya.

"Itu kenapa mukamu dilipat-lipat seperti kertas kusut saja!" tanya Alex yang duduk di sebelah Irish.

"Lagi kesal sama orang, Kak!" Irish menarik napas panjang dan langsung mengembuskan lagi.

"Kenapa? Ada yang mengganggumu?" tanya Alex, "Biasanya kalau soal seperti ini langsung curhat sama Kakak."

"Yang jelas itu, aku benci dia. Waktu itu, aku usir dia dari taksi dan hari ini aku menumpahkan coklat ke bajunya." Bla ... bla ... bla ... Irish menjelaskan panjang kali lembar kali tinggi.

"Pasti kau tidak langsung minta maaf sama dia." Alex menghela napas dan meminum tehnya.

"Aku injak kakinya!" ceplos Irish dan Alex menggeleng-gelengkan kepala.

"Memangnya Kakak mengajarimu seperti itu, Irish?" Alex menggetok kepala adiknya. Alex sudah hafal betul dengan watak adiknya ini. "Lain kali kau tidak boleh seperti itu, sudah tahu salah, ya minta maaf. Wajar saja kalau dia marah-marah, orang kau sendiri tidak meminta maaf. Lain kali kalau bertemu dengan dia lagi langsung minta maaf." Alex menasehatinya.

"Jangankan minta maaf, ketemu saja sudah ogah, Kak!" Irish mengerucutkan mulutnya karena masih kesal.

"Jangan bilang seperti itu, pamali loh!" Alex berjalan menuju meja makan. "Apa kau sudah makan? Kakak membeli makanan kesukaanmu, bersihkan dirimu terlebih dahulu, baru kita makan."

Irish mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi. Alex menyiapkan piring dan segelas air putih untuk adik kesayangannya itu. Selepas mandi, Irish langsung menuju ke meja makan.

"Ceker pedas!" ucap Irish ketika membuka bungkusan di meja, dia pun langsung terdiam menatap makanan itu. Alex yang menyadarinya langsung mendekati Irish memegang pundak gadis itu.

"Kenapa?" tanya Alex. "Apa kau teringat Ayah dan Ibu?" tanyanya lagi. Irish hanya diam menunduk, mengingat Ibunya selalu membuatkannya ceker pedas dan dimakan bersama dengan Ayah, Ibu, dan Kakaknya ketika menonton TV.

"Ayah dan Ibu sudah tenang di alam sana, sudah jangan bersedih lagi. Ayo di makan," kata Alex mencium kepala Irish. Dia pun memakan dengan lahap bersama dengan Alex. Selesai makan malam Irish langsung mencuci piring dan gelas juga membersihkan meja makan. Setelah itu Irish berjalan menuju ke ruang kerja kakaknya dan melihat kakaknya sedang membaca buku.

"Kak, aku mau istirahat dulu," ucap Irish.

"Kakak tahu kau sangat merindukan mereka. Bagaimana kalau besok kita ke makam Ayah dan Ibu." Alex menutup buku dan melepas kacamatanya menatap Irish dan gadis itu hanya mengangguk, "Baiklah besok pulang kerja kakak akan menjemputmu."

"Baiklah Kak. Selamat malam, selamat beristirahat. Kak Alex juga jangan tidur terlalu malam," ujar Irish, kemudian berlalu dari ruang kerjanya.

Ayah ... Ibu ... Irish sudah tumbuh menjadi gadis yang ceria dan kuat sekarang. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir lagi, aku berjanji akan menjaganya sampai Irish menemukan seseorang yang benar-benar bisa menjaganya, 'batin Alex, lalu berdiri kemudian mematikan lampu duduk dan beranjak menuju kamarnya.

❣❣❣

Benjamin berjalan menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Dia terpaksa menggunakan tangga darurat karna lift sedang dalam perbaikan. Ketika akan memutar kenop pintu. Pintu itu mendadak terbuka dan alhasil jidatnya kebentur pintu.

"Auuww!" teriak Ben sambil memegangi jidatnya. Irish yang tak tahu jika ada orang di balik pintu pun ikut terkejut.

"Maaf ... maaf ... aku tidak sengaja!" ucapnya sambil membungkuk. Ketika mata itu beradu pandang lagi ....

"Kau lagi ... kau lagi! Kenapa setiap bertemu denganmu, aku selalu sial!" Ben menatap garang ke arah gadis itu.

"Maaf, aku tidak ada waktu meladeni hal yang tidak penting seperti ini." Irish cuek dan masa bodoh.

"Tidak penting katamu!" Ben menunjuk jidatnya yang merah.

"Maaf, aku sedang buru-buru dan aku juga sudah malas melihat mukamu!" Irish cuek dan berlalu pergi meninggalkan Ben menuruni tangga tanpa memperdulikan teriakan pemuda itu. Kemudian dia berhenti sambil berpikir.

Kenapa cowok itu ada di perusahaan ini? Ah, mungkin dia hanya kurir yang mengantarkan barang,' pikirnya dalam hati.

Ben masing berdiri di depan pintu darurat sambil diam dan berpikir

Kenapa gadis sialan itu ada di perusahaan ini? bertanya-tanya dalam hati.

"Tuan muda," teriak sekretarisnya membuyarkan lamunan Ben. "Kenapa dengan jidat Anda, Tuan muda?" tanya sekretaris itu menunjuk jidat Ben.

"Ah, ini hanya kecelakaan kecil." Ben memegang jidatnya.

"Oh, kalau begitu mari Saya antar Tuan Muda ke ruang kantor."

.

Ayana celingak-celingak mencari Irish, tapi yang orang dia cari tidak ada di tempat.

"Hey ... Maria, apa kau lihat Irish?" tanya Ayana. Maria mengangkat bahunya menandakan dia tidak tahu.

"Hey Ryan, apakah kau melihat Irish?" tanya Ayana. Ryan menggelengkan kepala.

"Ke mana dia? Padahal sudah hampir masuk jam kantor. Ini orang kenapa suka sekali menghilang," bertanya pada dirinya sendiri. Meraih ponselnya dan mengetik sesuatu.

"Hallo," suara dari seberang sana.

"Irish, kau di mana? Sudah hampir jam kantor ini, kenapa kau punya hobi menghilang begitu saja!" teriak Ayana.

"Aku sedang berada di lobi bawah. Kenapa kau ini? Merajukkah? Baru ditinggal sebentar saja sudah kelimpungan seperti itu," canda Irish.

"Hey, aku ini bukan merajuk. Cepatlah kau naik sebelum kena tegur lagi!" balas Ayana.

"Iya ... iya ... sebentar lagi aku na--" telepon langsung diputus oleh Ayana. "Kenapa ini orang seenaknya saja langsung main mutusin sambungan telepon!" beonya.

Semua pegawai berkumpul ketika sekretaris Adrima memperkenalkan Benjamin van De Haan. Beberapa pegawai wanita mulai berbisik-bisik membicarakan ketampanan Benjamin.

Ketika Benjamin memperkenalkan diri, matanya langsung terfokus pada seorang gadis yang baru datang membawa tumpukkan map menuju tempat mesin fotokopi. Merasa sangat familiar dengan gadis itu sehingga mengingatkan kejadian tadi pagi ditangga darurat. Irish terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga dia tidak memperhatikan yang sedang terjadi di ruangan itu.

"Aku ketinggalan apa nih, Ay? Aku dengar tadi di lobi bawah banyak yang membicarakan CEO baru," tanyanya pada Ayana.

"Pak Adrima baru saja memperkenalkan CEO baru." Ayana menjelaskan sambil menunjuk ruang Dirut.

"Benarkah?" Irish menatap ke ruang Dirut. "Asal jangan galak saja orangnya," imbuh Irish.

"Dia benar-benar tampan." Ayana tersenyum menepuk pundak Irish.

"Hey, kau ini kenapa, Ay? Seperti apa sih dia, kenapa aku jadi penasaran?" celoteh Irish disambut tawa mereka berdua.

"Berharap aku punya kekasih seperti dia!" Ayana memasang muka imutnya.

"Bagaimana dengan Hendrick? Apa kau mau memecat dia?" tanya Irish.

"Ah, aku lupa kalau aku sudah punya kekasih!" Ayana menempuk jidatnya sendiri.

"Hubungan kalian masih baik-baik saja kan?" tanya Irish lagi.

"Entahlah ...." Ayana mengangkat bahunya.

"Irish, file yang tadi kau fotokopi tolong serahkan pada pak Ben dan mintalah tanda tangannya. Kau kan tadi belum berkenalan dengan CEO baru kita." Ryan menyerahkan beberapa map pada Irish.

"Baiklah ...." Irish menerima uluran map dari Ryan dan berjalan menuju ruang Dirut.

Tokk ... Tokk ... Tokk ....

"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan yang mempersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk.

"Selamat siang, Pak ...," sapa Irish ramah. Bersamaan dengan kalimat yang diucapkan Irish selesai, kursi itu memutar dan tampaklah seorang pemuda berhidung mancung dan berbibir indah dibalut dengan jas berwarna hitam dan rambut sedikit disisir ke belakang memperliatkan jidatnya. Seketika Irish langsung terperanjak kaget menatapnya. Pemuda itu tersenyum smirk.

"Kau!" Irish terlihat sangat kaget dengan apa yang dia lihat saat ini.

"Ada apa? Kenapa kau kaget melihatku?" tanya pemuda itu. "Apa aku terlihat seperti hantu?" imbuhnya memegang keningnya yang memerah.

Irish tidak mau ambil pusing masalah di tangga darurat tadi, dia pun langsung ke pokok intinya.

"Tolong tanda tangani beberapa file ini, Pak!" Irish berusaha tenang.

Sial sekali aku ini, ternyata pemuda ini anaknya pak Dirut!' batin Irish sedikit menggigit bibir bawahnya.

Benjamin berdiri membenahkan kancing jasnya dan berjalan mendekati Irish.

"Irish van Willem!" ujarnya memegang ID perusahaan yang terpasang dibaju Irish. "Jadi kau bekerja di perusahaan ini?" imbuhnya berjalan ke belakang tubuh gadis itu dan memegang pundaknya. Irish kaget dan berusaha tetap tenang.

"Sepertinya kau harus menarik kata-katamu tadi pagi yang mengatakan kau malas melihat mukaku dan jangan pernah muncul di depanku lagi karena apa?" Ben terdiam. "Karena setiap hari kita akan bertemu terus di kantor ini!" bisik Ben di telinga Irish. Gadis itu sedikit merinding. "Ah, satu lagi. Soal jidatku ini dan kejadian-kejadian yang lain, seperti menginjak kakiku, menumpahkan coklat di bajuku dan mengusirku dari taksi—" Ben terdiam sebentar sambil menatap Irish dengan tajam, "Aku tidak akan mempermasalahkannya, tapi dengan satu syarat. Sebagai gantinya kau harus menuruti semua perintahku!" Ben tersenyum nakal.

"Apa kau mengancamku? Bagaimana kalau aku tidak mau menurutinya, apa kau akan memecatku?" akhirnya Irish buka suara menanggapi Ben.

"Ah ... begitukah cara bawahan bicara pada atasannya? Aku tidak akan memecatmu karena Ayahku yang merekrutmu! Tapi jika kau tidak menuruti perintahku, aku akan membuatmu tidak betah kerja di sini!" ancam Ben sambil menanda tangani semua berkas. Ben menutup map itu dan memberikannya pada Irish.

"Terima kasih!" ucap Irish cuek sambil membungkukkan badan dan kemudian membalikkan badannya berjalan menuju pintu untuk keluar dari ruangan.

"Hey! Siapa yang menyuruhmu untuk keluar dari ruangan ini!"

Irish menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menatap Ben.

"Aku belum menyuruhmu untuk keluar dari ruangan ini!" Ben berjalan mendekati Irish, dihirupnya parfum yang melekat di tubuh Irish.

"Aku suka bau parfummu! Itu membuatku tergoda untuk memelukmu!" bisik Ben di telinga Irish.

Irish tampak risih dan sedikit merinding karena bisikan Ben di telingannya, akan tetapi Irish mencoba untuk tenang.

"Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" ucap Irish kesal.

"Hmm ... tidak ada, kau boleh keluar dan kembali bekerja!"

Irish berjalan menuju meja kerjanya dengan muka kesal, hal ini membuat Ayana heran melihat teman kantornya itu.

"Kau kenapa?" tanya Ayana heran melihat Irish tampak kesal setelah keluar dari ruangan dirut.

"Tidak apa-apa!" jawab Irish dengan senyum yang terlihat seperti dipaksa.

"Tapi kenapa pak Ben memelihatmu terus?" tanya Ay sambil sedikit menurunkan kepalanya. Irish langsung melirik ke arah ruang Dirut dan melihat pemuda itu tersenyum.

"Dasar cowok kurang ajar!" Irish menjatuhkan kepalanya ke meja.

"Sebenarnya ada apa di antara kalian?" Ayana terlihat penasaran.

"Jangan tanya sekarang Ay, nanti akan aku ceritakan!" Irish menopang dagu. Ayana pun hanya mengangkat bahunya dan mereka kembali mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

❣❣❣

Alex memilah-milah berkas yang akan ditanda tanganinya, sesekali dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Jam menunjukan pukul 3.45 pm. Dia menanda tangani sebuah proposal kemudian menutup map dan merapikannya di atas meja. Segera dia keluar ruangan dan menemui pak Bernad.

"Pak Bernad, sore ini Saya ada janji. Berkas sudah Saya tanda tangan, pak Bernad bisa mengambilnya di meja."

"Baik Tuan Muda, semua masalah di kantor akan Saya selesaikan," ucap pak Bernad.

"Terima kasih, Pak." Alex tersenyum dan membungkuk hormat.

Sementara di halte bus, Irish sedang menunggu jemputan bersama Ayana. Ay tampak sibuk dengan ponselnya, sepertinya dia sedang mengirim pesan pada seseorang.

Sebuah mobil silver metalik melintas di depan kedua gadis itu dan tiba-tiba ....

Ciitttss!

Suara rem mobil berdesit dengan aspal. Seketika kedua gadis itu terkejut dan langsung berlari mendekat. Benjamin langsung keluar dari mobil begitu pun juga dengan pemuda yang hampir saja menabrak mobil Ben.

"Hei! Kau bisa menyetir mobil tidak!" Ben menggebrak mobil pemuda itu.

"Tenang bro. Ku lihat mobilmu tidak ada yang lecet, jadi kenapa kau mesti marah-marah!" pemuda itu membela diri.

"Kau!" ucapan Ben terhenti ketika lengannya ditarik oleh pak Adrima.

"Tuan Muda, tolong jaga wibawa Anda. Jangan diperpanjang lagi masalah ini. Sepertinya mobil Anda juga tidak ada yang lecet." Pak Adrima menenangkan Ben. Ben hanya melirik pemuda itu kemudian masuk ke dalam mobil dan melaju pergi.

"Dasar cowok angkuh!" gerutu Irish, "Ayana, bukankan itu Hendrick?" Irish menunjuk pemuda yang baru saja ribut dengan atasannya.

"Iya benar. Hendrick!" teriak Ayana melambaikan tangan ke arah Hendrick. Pemuda itu pun langsung menghampiri Ayana.

"Maaf aku telat!" Hendrick tersenyum.

"Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Ayana.

"Tidak apa-apa. Pemuda itu saja yang membesar-besarkan masalah." Hendrick memegangi perutnya.

"Kenapa dengan perutmu?" tanya Ayana khawatir.

"Hmm ... hanya lapar. Baiklah, ayo kita pergi makan dulu sebelum mengantarmu pulang." Hendrick menarik tangan Ayana.

"Irish, aku duluan, ya!" Ayana melambaikan tangan ke arah Irish dan masuk mobil.

"Hati-hati Ay, sampai ketemu besok!" Irish tersenyum manis. "Enak sekali bisa diantar jemput kekasihnya, sedang aku?" menundukkan kepala dan membulatkan pipinya. Bunyi klakson mobil mengagetkan gadis itu dan senyum pun mengembang di bibirnya.

"Kakak, sudah beli bunganya?" tanya gadis manis itu setelah masuk ke mobil.

"Sudah dong. Maaf, Kakak agak telat. Banyak kerjaan di kantor." Alex mengacak-acak rambut gadis itu.

To be Continue, 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status