Tokk ...Tokk ...Tokk ....
Alex mengetuk pintu kamar Irish. Namun, tidak ada respon dari gadis cantik berlesung pipi itu. Akhirnya Alex membuka pintu kamar Irish, tapi tidak mendapatkan si empunya kamar di dalam.
"Kakak sedang apa di kamarku?" Irish muncul tiba-tiba di belakang Alex.
"Emm ... itu—anu, kakak mau tanya sesuatu." Alex menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Irish merasa heran melihat gelagat aneh dari kakaknya.
"Kakak mau tanya tentang apa? Kok tumben." Irish menyeruput susu hangatnya.
"Itu—soal tadi pagi—kakak melihat seseorang memanggulmu, apakah dia teman sekantormu?" tanyanya pada Irish.
Irish mengernyit bingung menatap kakaknya. Mengingat-ingat siapa yang tadi pagi memanggilnya.
"Ah ... Ayana maksud kakak? Kenapa kak?" Irish bertanya balik pada Alex.
"Ah, tidak apa-apa, hanya saja sepertinya kakak pernah bertemu dengan dia, tapi kakak lupa pernah bertemu dia di mana." Alex beralasan.
"Benarkah kak?" Irish menaikkan alisnya, heran tumben-tumbennya sang kakak bertanya seperti itu.
"He'em ... cepat habiskan susumu, gosok gigi lalu tidur!" Alex keluar dari kamar Irish, dia khawatir adiknya akan penasaran dan akhirnya banyak tanya padanya.
Tiing!!!
Sebuah pesan masuk, Irish meraih ponselnya dan membuka folder pesan masuk.
"Kenapa dengan orang ini?" ucap Irish lirih. "Seenak jidatnya menyuruh orang berangkat pagi-pagi!" Irish meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dan menghembaskan dirinya di atas ranjang. Pikirannya beralih pada sang kakak, Alex.
Kenapa kak Alex tiba-tiba menanyakan Ayana? batinnya.
Kemudian dia berganti posisi miring ke kanan sambil memeluk guling.
Apa iya mereka berdua pernah bertemu? Irish terus membatin.
Aah ... baiklah besok akan aku tanyakan langsung pada kak Alex. Jika memang kak Alex tidak mau cerita, berarti kuncinya ada pada Ayana. Akan aku tanyakan langsung pada gadis itu.
❣❣❣
Drrrttt ... Drrrttt ....
"Kau di mana, bisa kita ketemu sebentar." suara cowok dari seberang sana.
"Masih berani kau menghubungiku!"
"Aku tunggu di cafe seberang jalan sekarang!" tuut ... sambungan telpon terputus.
Di cafe seberang jalan, tampak dua orang sedang duduk berhadapan dengan keadaan yang sangat kaku.
"Ada perlu apa lagi?" Ayana cuek.
"Ay, kiata balikan lagi ya," rayu Hendrick memegang tangan Ayana.
"Maaf!" Ayana menolak ajakan Hendrick untuk balikan.
"Kenapa?" tanya Hendrick.
"Jika kau menyuruhku datang ke sini hanya untuk membicarakan masalah ini, lebih baik aku pulang saja!" Ayana bergegas keluar dari cafe.
"Ay ... tunggu dulu!" teriak Hendrick mengejar Ayana.
"Hendrick, aku sudah terlalu kecewa denganmu dan aku tidak akan pernah memberimu kesempatan untuk kedua kalinya. Jadi tolong jangan pernah menggangguku lagi!" Ayana menepis tangan Hendrick, tapi pemuda itu menarik tangan Ayana dengan kasar dan sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi Hendrick.
"Kau berani menamparku!" bentak Hendrick. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya dan melayangkan ke arah pipi Ayana. Ayana sempat melindungi mukanya dengan kedua tangannya. Namun, tangan Hendrick ditahan oleh seorang pemuda yang tiba-tiba datang menahan tangan Hendrick.
"Seorang laki-laki bertindak kasar pada perempuan di tempat umum! Dimana wibawamu sebagai seorang laki-laki!" Pemuda itu menarik Ayana ke belakang. "Pergilah atau aku akan melaporkanmu ke polisi atas dasar tindakan kekerasan pada perempuan!"
"Urusanku belum selesai denganmu, Ay!" ancam Hendrick meninggalkan mereka berdua.
Ayana terduduk di bangku kayu, sedikit syok dengan perlakuan Hendrick. Untuk kesekian kali, lagi dan lagi dia harus merasakan rasa sakit.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" Pemuda itu menghampirinya dan memberikan sapu tangannya. Ayana mengangguk dan menerima uluran sapu tangan tersebut.
"Kenapa setiap kali bertemu denganmu. Kau selalu dalam keadaan yang menyedihkan," Alex tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang menambahnya terlihat semakin manis.
Ayana hanya terdiam menatap pemuda yang empat kali pertemuan itu selalu membuat hatinya nyaman. Setiap kali dia sedang sedih, kenapa pemuda itu selalu ada di sekitarnya dan selalu muncul menenangkan hatinya. Ini hanya kebetulan atau memang pemuda itu adalah takdirnya. Semua pertanyaan berkecamuk menjadi satu di benak Ayana.
"Lelaki seperti dia tidak pantas di pertahankan!" ucapnya. "Sepertinya kita sudah beberapa kali bertemu, namaku Alex." mengulurkan tangannya.
"Ayana ... panggil saja Ay." membalas uluran tangan Alex. "Maaf ... mungkin lebih baik aku pulang saja untuk menenangkan hati." Ayana berdiri dari bangku kayu itu.
"Boleh aku antar?" Alex menawarkan bantuan.
"Hmm ...." Ay terdiam sebentar. "Boleh ...." imbuhnya. Mobil melaju pelan menuju rumah Ayana.
❣❣❣
Benjamin menghembaskan tubuhnya sendiri ke ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Setelah beberapa bulan menggantikan posisi ayahnya di kantor untuk sementara, dia mulai berpikir untuk merintis karier. Setidaknya dia mulai serius memikirkan masa depannya.
Sesaat dia teringat gadis itu. Seorang gadis yang galak dan jutek juga bisa dibilang menjengkelkan. Sekilas dia mengingat bagaimana pertama kali bertemu dengannya, kejadian yang tidak sengaja, kejadian yang mungkin telah diatur dari atas sana untuk mempertemukan dia dengan gadis itu.
"Kenapa aku jadi memikirkan dia terus," beonya pelan.
Drrttt ... Drrttt ....
Sebuah getaran berasal dari benda pipih yang ada di sampingnya. Ben meraihnya.
"Hallo ...." Ben menempelkan ponsel pada telinga.
"Kau tidak pulang kerumah sayang?"
"Oh ... ibu, aku akan pulang weekend nanti."
"Baiklah, akan ibu sampaikan pada ayahmu." tuutt ... sambungan terputus. Ben menatap layar ponselnya. Sesaat dia mengangkat bahunya.
"Aku akan membersihkan diri terlebih dahulu." Ben neranjak dari ranjang melepaskan jasnya dan melangkah menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, dia keluar sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk kecil dan melangkah menuju kulkas untuk melihat isi kulkas.
"Ah ... aku belum belanja bulanan," gumannya.
"Mungkin aku harus keluar sebentar untuk belanja dan membeli sesuatu untuk dimakan," ucapnnya dan saat itupun dia merasakan lapar.
Ben kmbali masuk ke kamar untuk berganti pakaian dan segera keluar dari rumah menuju lift turun ke lantai bawah. Ben melajukan mobilnya pelan-pelan keluar dari parkiran apartemennya, mobil melaju dengan kecepatan rata-rata menyusuri jalanan kota Leiden. Mobil berhenti di sebuah resto.
"Steak daging sapi satu porsi." Benjamin memesan menu favoritnya, karena makanan itu cocok banget dengan keadaan cuaca dan rasa lapar yang sudah menyerang. Dia duduk menikmati makanannya sambil melihat pemandangan di luar resto.
Sementara itu ditempat lain, mobil biru terparkir di sebuah halaman. Suara kode pin pintu terdengar. Alex melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah. Menaruh sepatunya dengan rapi di sebuah rak yang ada di samping pintu utama lalu melangkah masuk sambil bersenandung ria. Irish terus memperhatikan kakaknya yang cengar-cengir sendirian.
"Kakak sehat?" tanya Irish dengan mulut penuh cemilan.
"Oh ... Irish, kau mengagetkan kakak. Kenapa jam segini kau belum tidur?" tanya Alex. Irish melirik jam yang menempel di dinding.
"Masih sore sudah disuruh tidur!" Irish mengernyitkan dahinya. "Sepertinya ada bunga-bunga yang tumbuh dimusim dingin!" ledek Irish yang terus melirik Alex.
"Eh ... apa?" Alex memandang adiknya. "Kenapa kau memandangku dengan tatapan seperti itu?" Alex menunjuk hidungnya sendiri.
"Kakak aneh malam ini!" Irish langsung nyelonong masuk ke kamarnya.
"Hey Irish, kau mau ke mana?" tanya Irish.
"Mau tidur!" teriaknya dari dalam kamar.
"Bukannya tadi kau bilang masih sore untuk tidur!" ucap Alex mengulangi kata-kata Irish.
"Bukannya tadi kak Alex bilang kenapa jam segini belum tidur!" teriakan Irish dari dalam kamar.
"Irish apa kau tidak memasak? Kakak lapar!" teriak Alex dari dapur.
"Di lemari ada mie instan. Kakak masak mie saja malam ini!" Irish membuka pintu kamarnya, kemudian menutupnya lagi.
"Haiiss ... kenapa dengan anak itu?" beo Alex pelan membuka lemari dapur mengambil mie dan memasaknya. Tak butuh waktu lama, tiga menit mie sudah matang.
Alex menikmati mienya sambil sesekali berbalas pesan dengan Ayana. Senyum manisnya tersungging di bibirnya. Dia melahap mie sampai habis dan tersenyum lagi membaca pesan yang baru dia terima. Diam-diam, Irish memperhatikan kakaknya dari balik pintu kamarnya. Dia tampak menduga-duga, tapi dia pun meragukannya.
Bunga-bunga telah tumbuh di hati Alex. Sebenarnya ada apa antara Alex dan Ayana? Lalu bagimana dengan Irish? Apakah Irish akan mengetahuinya?
To be continue,
Hai readers, jangan lupa baca karyaku lainnya dengan judul 2.59 dan Brittleness. Makasih 😘
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat