Satu jam menjelang istirahat siang, Malik mengajak Arvan dan Heksa untuk makan siang bersama di luar. Namun, Arvan menolaknya dengan alasan malas untuk pergi.
"Emang kamu gak laper? Atau kita suruh Diana aja buat beli makan?" celetuk Malik.
"Gak. Jangan!" tolak Heksa.
"Kamu ini kenapa, sih? Jangan mentang-mentang dia pacar kamu terus gak boleh kita suruh?"
"Bukan gitu, Malik. Tapi dia butuh istirahat juga kan?"
"Kan waktu masih satu jam, dia juga bisa istirahat nanti."
"Ya udahlah, terserah."
"Gimana, Van? Kamu setuju sama ide aku yang super brilian ini?"
"Terserah!"
Malik segera menelepon Pak Roni. Atasan Diana di bagian cleaning service. Sekretaris berkumis tipis itu meminta Diana agar segara menuju ruangan Arvan secepatnya.
Dalam waktu sepuluh meni
Hi, readers. Ini karya pertamaku di Goodnovell, semoga kalian suka. Dukung aku dengan cara masukan bukuku ke library mu ya, beri bintang lima dan review. Terima kasih ...
"Heksa, kamu lembur bareng Malik sore ini!" perintah Arvan satu jam sebelum jam kantor usai."Lembur? Ngapain?""Kamu asisten aku, Sa. Jadi bantuin bawa laporan atau entah nanti," sahut Malik."Kenapa dadakan? Aku harus anter Di ...." Heksa menghentikan ucapannya. Hatinya galau, segalau hujan yang belum juga reda. Tatapan matanya tertuju pada jendela kaca yang lebar. Melihat hujan yang turun dengan derasnya. "Bagaimana Diana pulang nanti?" batinnya."Bilang juga ke Diana buat cari snack dan makan malam untuk seratus orang," kata Arvan sambil menatap wajah sahabatnya."Maksud kamu Diana juga lembur?" Heksa tidak yakin dengan apa yang didengarnya."Iya.""Van, kamu serius? Sekarang Diana juga ngurus makanan meeting?" tanya Malik."Iya. Apa kau tidak setuju?""Bukan begitu. Aneh aja seorang Arvan ken
"Hey! Kenapa diam? Kamu sengaja ngelakuin ini ke aku 'kan?" Arvan mendorong bahu Diana pelan. Membuat gadis berponi ini sadar akan lamunannya."I ... iya, Pak. Eh, gak maksud saya, Pak," jawab Diana terbata. Ia menoleh ke segala arah dan di ruangan itu hanya ada Arvan dan dirinya saja."Astaga! Aku tadi cuma mengkhayal? Gak ada nyali buat ngadepin es batu ini," batin Diana."Jawab pertanyaanku lagi. Kenapa kamu lari, terus ngumpet? Kamu pasti sengaja naruh ranjau di makananku kan?""Gak, Pak. Saya tadi cuma penasaran aja, yang namanya rapat itu seperti apa. Tau-tau bapak nengok, saya kaget makanya saya lari. Terus bapak kejar saya, paniklah, Pak!" kilah Diana."Aku gak tau ada apa denganku. Sudah tau sejak awal kamu itu ceroboh dan selalu bikin masalah, tapi aku gak mau pecat kamu!" kata Arvan sambil berlalu pergi.Ucapan CEO angkuh itu membuat ha
Heksa meminta bantuan security untuk membuka lift yang rusak. Lelaki bergingsul ini berharap segera menemukan pujaan hatinya di lift ini. Benar saja, setelah pintu lift terbuka betapa terkejutnya Heksa ketika mendapati Diana tengah tidur berpelukan dengan Arvan."Pak Arvan?" ucap sang security. Lelaki berpostur tinggi besar dengan suara lantangnya ini membuat Arvan dan Diana bangun.Diana menggeliat, meregangkan kedua tangannya. Kepalanya menengadah dan menjerit."Aaaa ...." Arvan dan Diana sama-sama berteriak dan saling menjauh."Bapak apakan saya?" kata Diana sambil meringkuk di pojokan."Apa maksud kamu bertanya seperti itu?" bentak Arvan karena seolah dirinya telah melakukan hal buruk terhadap OB ceroboh itu.Arvan merasa risih karena seluruh tubuhnya basah terkena air seni dirinya dan Diana. Apa lagi bau air seni mereka super menusuk hidung s
Arvan masih tertidur lelap di kamarnya. Padahal, cahaya matahari sudah menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca."Arvan," panggil seorang perempuan dari belakang.Arvan menoleh dan melihat Diana si OB ceroboh membawa boneka kelinci besar."Kenapa kamu bisa pegang boneka itu?" tanya Arvan."Apa kau lupa? Ini pemberian dari kamu dulu.""Gak ... gak mungkin.""Arvan, aku kangen kamu," Diana berlari hendak memeluk CEO dingin itu."Pergi! Jangan mendekat, jangan!" teriak Arvan bersamaan dengan kedua netranya yang terbuka lebar. Napasnya begitu sesak. Keringat dingin bercucuran. Arvan terbangun dan mengelap peluh di dahinya dengan telapak tangannya."Untung cuma mimpi," kata Arvan sambil menghela napas panjang."Kenapa aku mimpiin OB itu? Gak mungkin kalo Diana kecil itu dia!" gumamnya.
Arvan masih terus memandangi Heksa dari dalam mobil. Dengan jelas terlihat keduanya berfoto dan semburat senyum terukir di bibir mereka. Tujuan Arvan menenangkan pikiran di pantai hanya sekedar mengingat kenangan manis bersama Chintya. Tak dipungkiri jika CEO muda ini masih menyimpan cinta untuk Chintya. Kekasih dan cinta pertamanya itu. Lamunan akan perjalanan cinta Arvan dan wanita yang kini sudah memiliki suami itu terbayang ketika semilir angin pantai perlahan bergesekan dengan tubuh Arvan yang masih duduk manis di dalam mobil. Arvan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sesaat ia tersadar jika Heksa dan Diana sudah menghilang dari pandangan matanya. "Kemana mereka pergi?" tanya Arvan pada diri sendiri. Entah apa yang membuat CEO dingin itu begitu penasaran dengan aktivitas sepasang kekasih yang tengah berlibur itu. Ia mengambil kaca mata hitam yang ad
"Chintya? Apa Arvan masih belum melupakan dia?" Diana membatin sedih.Ia tak perduli lagi dengan perseteruan antara Heksa dan Arvan. Hatinya serasa tersayat dalam setelah mendengar ucapan Heksa yang mengatakan bahwa Arvan ke pantai untuk mengenang Chintya dan CEO dingin itu tidak bisa menjawabnya."Stop! Gak usah berantem di sini!" sungut Diana."Siapa kamu berani bentak saya, hah?" Arvan berdecak pinggang."Aku bukan bawahanmu. Tolong mengerti tempat!" Diana menirukan kata yang sering diucapkan Arvan di kantor."Kamu yang harusnya mengerti tempat!""Ini di pantai bukan di kantor, dasar beruang kutub!" hardik Diana."Apa? Siapa yang kau sebut beruang kutub?""Yang pasti bukan aku, Van," sahut Heksa."Jadi aku?""Udahlah, Van. Sana kamu pergi aja, ngapain ganggu kita?" us
"Stop! Udah sampe sini aja antarnya," kata Diana ketika sudah sampai di depan gang menuju rumah Arvan.Diana membuka pintu mobil, keluar dengan membawa makana laut yang sudah dibungkus. Gadis itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara mesin mobil yang dimatikan. Ia melihat Arvan keluar dan menutup pintu mobil."Kok gak pulang?" tanya Diana."Bukan urusanmu!""Dasar es batu!" gerutu Diana lirih."Aku denger apa yang kamu bilang!""Apa coba?""Kamu katain saya es batu kan?""Ih ... pede banget. Siapa ngatain es batu? Orang aku bilang kurang es batu.""Apanya yang kurang es batu?""Itu ... anu ... em ... di rumah Pak Miko gak ada kulkas. Aku pengin minuman dingin." Diana segera berbalik sebelum gugupnya membuat Arvan curiga.CEO dingin itu mengikuti Diana
"Van." Suara di balik telepon kembali terdengar. Kali ini Arvan menyadari jika penelepon itu bukanlah Diana si OB ceroboh."Siapa kamu?" tanya Arvan."Apa kamu pura-pura lupa? Bukankah kamu panik setelah mendengar suara tangisanku?"Arvan mematikan sambungan telepon itu. Memblokir nomor asing yang baru saja membuatnya panik. "Arrrrgggh!" teriak Arvan kesal sambil memukul setirnya."Kenapa kamu harus datang lagi?" tanya Arvan dengan intonasi yang melemah.CEO angkuh ini kembali melajukan kendaraan mewahnya dengan kecepatan tinggi. Emosinya yang meluap membuat ia mengendarai mobil tanpa kendali. Untung saja Arvan sudah seperti pembalap handal. Ia mampu menyalip kendaraan-kendaraan di depannya.Ia segera masuk ke halaman rumah mewah orang tuanya. Tuan Hutama dan sang istri, Wulandari, hendak pergi. Supir pribadi tengah membukakan pintu mobil untuk tuannya ketika