Beranda / Romansa / My Arrogant CEO / Pria Sedingin Es

Share

Pria Sedingin Es

Penulis: Elang Putih
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-30 03:52:17

Arvan berlalu pergi hendak meninggalkan ruangan. Aroma tubuhnya seolah tertinggal dan tercium wangi menusuk hidung sekretarisnya, Malik.

"Terus aja bersikap dingin! Gak usah senyum biar gak nyaingin ketampanan Malik," gerutu pria berkumis tipis dengan percaya diri tinggi. Tangan kanannya mengusap rambut hitam berjambul dengan gaya persis seperti bosnya itu.

Sebelum tangannya memutar gagang pintu, Arvan berbalik. Ia menatap Malik dengan mata tajamnya. Pandangannya begitu angkuh dan ganas, seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. "Aku denger ucapan kamu!"

"Jangan bohong! Denger apaan? Dari tadi aku gak ngomong." Malik berkilah.

CEO arogan ini terus menatap wajah sang sekretaris. Bibirnya tak bergerak sama sekali. Jangankan untuk tersenyum, membuat bibir tipis pemuda tampan itu terbuka saja sudah sulit. 

"Ampun, Pak. Saya khilaf." Malik merekatkan bibirnya. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat sampai bos muda itu benar-benar keluar dari ruangan. 

Pewaris tunggal dari Hutama group akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Ia mendapati office girl baru yang membuat lantainya ternoda tengah terisak. Perempuan itu berdiri dengan lututnya sembari membersihkan meja kerjanya dari serpihan kaca.

Sesekali Arvan melihat jemari karyawan barunya yang masih berdarah. Ia melangkahkan kakinya perlahan dan mendekati gadis berambut hitam sebahu itu. 

"Kenapa masih di sini?" tanya Arvan tanpa ekspresi. Kedatangannya mengejutkan Diana yang masih terbayang serangga kecil yang sempat menempel di lehernya. Apa lagi ia baru saja membuat kegaduhan pada hari pertamanya bekerja di ruang CEO.

"Saya akan membersihkan ulang ruangan, Pak," jawab Diana menunduk dan tak berani menatap wajah Arvan.

"Jangan sampai lantai di sini pun kau kotori dengan darahmu!" ucap Arvan sambil berlalu pergi. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan. Sedangkan tangan kanannya membetulkan posisi dasi silver bergaris hitam yang terpasang rapi di lehernya yang jenjang. 

Arvan terus berjalan tanpa tujuan. Ia pun tak tahu mengapa rasanya ingin keluar dan melihat kondisi gadis yang membuat lantai di ruang kerjanya kotor dengan tetesan darah. CEO muda ini mengembuskan napasnya kasar. Ia menuju lift dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang HRD yang ada di lantai dua. Para staff personalia begitu gugup dan canggung ketika mereka melihat direktur mereka berkunjung untuk pertama kali. 

Arvan berjalan dengan mata menyapu ke setiap meja staff di ruangan itu. Satu meja yang menarik perhatiannya adalah meja seorang laki-laki bertubuh gempal. Sang CEO menemukan banyak bungkus makanan ringan. Ia mendekat dan lagi-lagi hanya matanya yang berbicara. 

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pegawai yang baru saja selesai menelan keripik kentang terakhir di mulutnya. 

"Kemasi barang-barangmu sekarang dan selamat liburan," jawab Arvan dengan senyum angkuhnya dan menunjukkan sedikit lesung pipi.

"Maksud, Bapak?"

"Mulai besok saya tidak ingin lihat kamu di kantor ini lagi!" Arvan pergi begitu saja. Ia mengabaikan karyawan personalia yang memohon pengampunan agar tidak dikeluarkan. Mendengar pria gempal itu terus merengek membuat Arvan menghentikan langkahnya. Ia mendekati sebuah meja dan memukul keras meja itu dengan telapak tangannya. 

Braaaakkk

"Saya tidak mau melihat hal seperti ini lagi! Apa jam istirahat yang saya berikan kurang?" sungut Arvan tak bisa mengendalikan emosinya. Kemarahan Arvan pun membuat semua karyawan personalia terdiam dan tak ada yang berani buka suara. 

"Kenapa diam? Apa kalian tuli?" bentak Arvan lagi. Tetap saja tidak ada yang berani menjawab pertanyaan CEO yang tengah murka ini.

"Berikan saya biodata terbaru office girl yang baru bekerja hari ini!" perintah Arvan dengan posisi berdiri yang masih sama. Kedua tangannya berdecak pinggang. Ia memejamkan mata dan mengatur napas untuk meredakan emosinya. 

"Ini, Pak." Salah satu karyawan memberikan data diri dari Diana. Arvan menerima kertas putih itu dengan merebutnya paksa. Tanpa membacanya terlebih dahulu, ia langsung melipat kertas itu dan membawanya pergi. 

CEO angkuh ini kembali ke ruangannya dengan kertas terlipat di tangan kanannya. Malik sang sekretaris yang juga sahabatnya itu masih berada di dalam ruangan. Lelaki muda berkumis tipis itu tengah mengamati Diana yang sudah kembali dan sedang membersihkan darah di lantai. 

"Hei, bos, dari mana kamu?" tanya Malik sok akrab yang terkadang tak tahu di mana posisinya. 

Diana mengangkat wajahnya, menatap ke arah teman kecilnya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Keduanya saling berpandangan meski hanya tiga detik.

"Bos, kertas apa itu?" Malik mengganggu suasana. Ia hampir saja mendapatkan kertas biodata di tangan Arvan. Untung saja tangan bos muda ini bergerak cepat dan dapat menghindarinya. 

"Keluar!" perintah Arvan dengan tegas, lirih namun menusuk.

Malik pun hanya bisa menghela napas panjang. Keluar ruangan dengan bibir komat-kamit memberikan sebuah umpatan. Kelakuannya terhadap Arvan bukan karena ia tidak sopan. Malik hanya ingin sahabatnya itu kembali seperti dulu. Sebelum menjabat sebagai CEO, Arvan adalah pemuda yang ramah, baik hati, dan sangat mengerti teman. Semua keadaan berubah ketika Chintya yang dipacarinya selama lima tahun memilih menikah dengan orang lain yang menurutnya lebih kaya. Wanita itu tak tahu jika Arvan adalah pewaris tunggal Hutama Group karena pria berjambul itu selalu merahasiakan identitas keluarganya. Satu tahun setelah Chintya mencampakannya, Arvan ditunjuk untuk mengurus perusahaan karena kondisi ayahnya yang sakit-sakitan.

Melihat Malik yang sudah keluar, Arvan duduk di meja kerjanya. Kertas biodata masih tetap pada genggaman nya. Ia terus menatap Diana yang baru saja selesai membersihkan bercak darah di lantai. 

"Sudah selesai?" tanya Arvan ketika melihat Diana tengah mendorong meja kerjanya.

"Sudah, Pak." Gadis berambut pendek itu menatap teman kecilnya yang sudah berubah menjadi sesosok pemuda tampan. Pesonanya dengan rambut hitam berjambul, kulit putih, bibir tipis, dan hidung mancung tak akan ada yang bisa menolaknya. Termasuk Diana yang khilaf. Ia terus pandangi wajah itu dan membayangkan sebuah senyum tersimpul menujukkan dua lesung pipi.

"Kamu gak denger apa yang saya bilang?" tanya Arvan yang membuyarkan lamunan Diana. 

"Hah? Iya, Pak? Bapak barusan bicara?"

"Keluar!" tegas Arvan.

Diana mendorong meja kerjanya menuju pintu sambil mengumpat, "Dasar es batu!"

Glirrrriiit greeeek!

Pintu sudah tertutup rapat. Kini hanya Arvan sendiri di dalam ruangan yang luas. Ruang kerja dengan fasilitas lengkap. Selain meja kerja, terdapat lemari untuk menyimpan berkas, satu set sofa hitam, meja kecil di sudut ruangan berisi foto masa kecilnya, dan sebuah televisi layar datar yang tergantung di tembok.  Ruangan yang selalu dingin sedingin sikapnya itu menjadi tempat ternyamannya ketika berada di kantor.

Arvan menyandarkan bahunya pada sandaran kursi. Ia mengangkat kertas biodata yang ia lipat itu. "Untuk apa aku sampai meminta kertas gak penting ini?" Arvan membuka laci meja kerjanya dan menaruh biodata Diana di dalam laci itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Saat laci itu akan ditutup, ia teringat akan kenangan indahnya bersama Chintya. Sebuah potret ketika mereka masih bersama disimpan dalam laci itu. CEO dingin ini mengambil foto itu, melihatnya sekilas dan membuangnya di tempat sampah yang ada di bawah meja kerjanya. 

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My Arrogant CEO   Menikahlah Denganku

    Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa

  • My Arrogant CEO   Aku Ingin Diana

    "Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele

  • My Arrogant CEO   Bertukar Peran

    Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan

  • My Arrogant CEO   Rahasia Cinta 100 Hari Diana Terbongkar

    Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks

  • My Arrogant CEO   Setangkai Mawar Layu

    Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.

  • My Arrogant CEO   Kado Kedua

    Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"

  • My Arrogant CEO   Tanda Bibir di Kemeja Danu

    Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.

  • My Arrogant CEO   Pengirim Bunga Misterius

    Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be

  • My Arrogant CEO   Siapa yang Ditabrak Wijaya?

    Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status