Share

Pria Sedingin Es

Arvan berlalu pergi hendak meninggalkan ruangan. Aroma tubuhnya seolah tertinggal dan tercium wangi menusuk hidung sekretarisnya, Malik.

"Terus aja bersikap dingin! Gak usah senyum biar gak nyaingin ketampanan Malik," gerutu pria berkumis tipis dengan percaya diri tinggi. Tangan kanannya mengusap rambut hitam berjambul dengan gaya persis seperti bosnya itu.

Sebelum tangannya memutar gagang pintu, Arvan berbalik. Ia menatap Malik dengan mata tajamnya. Pandangannya begitu angkuh dan ganas, seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. "Aku denger ucapan kamu!"

"Jangan bohong! Denger apaan? Dari tadi aku gak ngomong." Malik berkilah.

CEO arogan ini terus menatap wajah sang sekretaris. Bibirnya tak bergerak sama sekali. Jangankan untuk tersenyum, membuat bibir tipis pemuda tampan itu terbuka saja sudah sulit. 

"Ampun, Pak. Saya khilaf." Malik merekatkan bibirnya. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat sampai bos muda itu benar-benar keluar dari ruangan. 

Pewaris tunggal dari Hutama group akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Ia mendapati office girl baru yang membuat lantainya ternoda tengah terisak. Perempuan itu berdiri dengan lututnya sembari membersihkan meja kerjanya dari serpihan kaca.

Sesekali Arvan melihat jemari karyawan barunya yang masih berdarah. Ia melangkahkan kakinya perlahan dan mendekati gadis berambut hitam sebahu itu. 

"Kenapa masih di sini?" tanya Arvan tanpa ekspresi. Kedatangannya mengejutkan Diana yang masih terbayang serangga kecil yang sempat menempel di lehernya. Apa lagi ia baru saja membuat kegaduhan pada hari pertamanya bekerja di ruang CEO.

"Saya akan membersihkan ulang ruangan, Pak," jawab Diana menunduk dan tak berani menatap wajah Arvan.

"Jangan sampai lantai di sini pun kau kotori dengan darahmu!" ucap Arvan sambil berlalu pergi. Tangan kirinya masuk ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan. Sedangkan tangan kanannya membetulkan posisi dasi silver bergaris hitam yang terpasang rapi di lehernya yang jenjang. 

Arvan terus berjalan tanpa tujuan. Ia pun tak tahu mengapa rasanya ingin keluar dan melihat kondisi gadis yang membuat lantai di ruang kerjanya kotor dengan tetesan darah. CEO muda ini mengembuskan napasnya kasar. Ia menuju lift dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke ruang HRD yang ada di lantai dua. Para staff personalia begitu gugup dan canggung ketika mereka melihat direktur mereka berkunjung untuk pertama kali. 

Arvan berjalan dengan mata menyapu ke setiap meja staff di ruangan itu. Satu meja yang menarik perhatiannya adalah meja seorang laki-laki bertubuh gempal. Sang CEO menemukan banyak bungkus makanan ringan. Ia mendekat dan lagi-lagi hanya matanya yang berbicara. 

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pegawai yang baru saja selesai menelan keripik kentang terakhir di mulutnya. 

"Kemasi barang-barangmu sekarang dan selamat liburan," jawab Arvan dengan senyum angkuhnya dan menunjukkan sedikit lesung pipi.

"Maksud, Bapak?"

"Mulai besok saya tidak ingin lihat kamu di kantor ini lagi!" Arvan pergi begitu saja. Ia mengabaikan karyawan personalia yang memohon pengampunan agar tidak dikeluarkan. Mendengar pria gempal itu terus merengek membuat Arvan menghentikan langkahnya. Ia mendekati sebuah meja dan memukul keras meja itu dengan telapak tangannya. 

Braaaakkk

"Saya tidak mau melihat hal seperti ini lagi! Apa jam istirahat yang saya berikan kurang?" sungut Arvan tak bisa mengendalikan emosinya. Kemarahan Arvan pun membuat semua karyawan personalia terdiam dan tak ada yang berani buka suara. 

"Kenapa diam? Apa kalian tuli?" bentak Arvan lagi. Tetap saja tidak ada yang berani menjawab pertanyaan CEO yang tengah murka ini.

"Berikan saya biodata terbaru office girl yang baru bekerja hari ini!" perintah Arvan dengan posisi berdiri yang masih sama. Kedua tangannya berdecak pinggang. Ia memejamkan mata dan mengatur napas untuk meredakan emosinya. 

"Ini, Pak." Salah satu karyawan memberikan data diri dari Diana. Arvan menerima kertas putih itu dengan merebutnya paksa. Tanpa membacanya terlebih dahulu, ia langsung melipat kertas itu dan membawanya pergi. 

CEO angkuh ini kembali ke ruangannya dengan kertas terlipat di tangan kanannya. Malik sang sekretaris yang juga sahabatnya itu masih berada di dalam ruangan. Lelaki muda berkumis tipis itu tengah mengamati Diana yang sudah kembali dan sedang membersihkan darah di lantai. 

"Hei, bos, dari mana kamu?" tanya Malik sok akrab yang terkadang tak tahu di mana posisinya. 

Diana mengangkat wajahnya, menatap ke arah teman kecilnya. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Keduanya saling berpandangan meski hanya tiga detik.

"Bos, kertas apa itu?" Malik mengganggu suasana. Ia hampir saja mendapatkan kertas biodata di tangan Arvan. Untung saja tangan bos muda ini bergerak cepat dan dapat menghindarinya. 

"Keluar!" perintah Arvan dengan tegas, lirih namun menusuk.

Malik pun hanya bisa menghela napas panjang. Keluar ruangan dengan bibir komat-kamit memberikan sebuah umpatan. Kelakuannya terhadap Arvan bukan karena ia tidak sopan. Malik hanya ingin sahabatnya itu kembali seperti dulu. Sebelum menjabat sebagai CEO, Arvan adalah pemuda yang ramah, baik hati, dan sangat mengerti teman. Semua keadaan berubah ketika Chintya yang dipacarinya selama lima tahun memilih menikah dengan orang lain yang menurutnya lebih kaya. Wanita itu tak tahu jika Arvan adalah pewaris tunggal Hutama Group karena pria berjambul itu selalu merahasiakan identitas keluarganya. Satu tahun setelah Chintya mencampakannya, Arvan ditunjuk untuk mengurus perusahaan karena kondisi ayahnya yang sakit-sakitan.

Melihat Malik yang sudah keluar, Arvan duduk di meja kerjanya. Kertas biodata masih tetap pada genggaman nya. Ia terus menatap Diana yang baru saja selesai membersihkan bercak darah di lantai. 

"Sudah selesai?" tanya Arvan ketika melihat Diana tengah mendorong meja kerjanya.

"Sudah, Pak." Gadis berambut pendek itu menatap teman kecilnya yang sudah berubah menjadi sesosok pemuda tampan. Pesonanya dengan rambut hitam berjambul, kulit putih, bibir tipis, dan hidung mancung tak akan ada yang bisa menolaknya. Termasuk Diana yang khilaf. Ia terus pandangi wajah itu dan membayangkan sebuah senyum tersimpul menujukkan dua lesung pipi.

"Kamu gak denger apa yang saya bilang?" tanya Arvan yang membuyarkan lamunan Diana. 

"Hah? Iya, Pak? Bapak barusan bicara?"

"Keluar!" tegas Arvan.

Diana mendorong meja kerjanya menuju pintu sambil mengumpat, "Dasar es batu!"

Glirrrriiit greeeek!

Pintu sudah tertutup rapat. Kini hanya Arvan sendiri di dalam ruangan yang luas. Ruang kerja dengan fasilitas lengkap. Selain meja kerja, terdapat lemari untuk menyimpan berkas, satu set sofa hitam, meja kecil di sudut ruangan berisi foto masa kecilnya, dan sebuah televisi layar datar yang tergantung di tembok.  Ruangan yang selalu dingin sedingin sikapnya itu menjadi tempat ternyamannya ketika berada di kantor.

Arvan menyandarkan bahunya pada sandaran kursi. Ia mengangkat kertas biodata yang ia lipat itu. "Untuk apa aku sampai meminta kertas gak penting ini?" Arvan membuka laci meja kerjanya dan menaruh biodata Diana di dalam laci itu tanpa membacanya terlebih dahulu. Saat laci itu akan ditutup, ia teringat akan kenangan indahnya bersama Chintya. Sebuah potret ketika mereka masih bersama disimpan dalam laci itu. CEO dingin ini mengambil foto itu, melihatnya sekilas dan membuangnya di tempat sampah yang ada di bawah meja kerjanya. 

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status