Share

Acara Keluarga

Hari pertama Diana bekerja begitu melelahkan. Ia berjanji pada diri sendiri harus bisa bertahan demi Arvan. Semua teman satu profesinya sudah pulang. Tinggal ia sendiri yang duduk bersandar tembok sambil menatap telunjuknya yang terluka. 

"Kenangan di ruangan kamu, Van. Perihnya gak sebanding sama sikap dingin kamu yang seperti es batu, fyuh!" gerutu Diana. Ia mengambil sling bag cokelat dan keluar ruangan. Sesekali matanya berkeliling berharap melihat wajah yang sudah dua puluh tahun ia rindukan.

"Gak keliatan, mungkin udah pulang," kata Diana lirih sambil mengembuskan napas kasar. 

Diambilnya gawai berwarna hitam dari dalam tasnya. Ia akan menghubungi supir pribadinya agar menjemput tepat di depan perusahaan. Setelah berpikir dua kali, gadis manis ini mengurungkan niatnya.

"Lupa, aku kan miskin, lulusan SD, lucu gak sih tiba-tiba dijemput pake mobil? Aku harus pulang naik metromini." Diana berjalan santai di trotoar. Menikmati udara sore ibukota yang pengap dan tak sesegar ketika ia di desa. Saat lampu merah menyala, perempuan berambut hitam sebatas bahu ini menyeberang tepat di depan mobil lamborghini berwarna kuning.

Seorang pemuda dengan jam tangan hitam bermerk tengah menyetir mobil mewah itu. Kacamata hitam menutupi matanya dari silaunya cahanya mentari sore. Pakaian yang dikenakannya sangat kasual. Hanya kaus abu-abu polos dipadukan celana pendek hitam dan sepatu kets warna senada dengan kaus. Lelaki muda itu tampak terus memperhatikan Diana yang sudah sampai di seberang jalan.

Derrrrrtttt 

Getar ponselnya membuat ia mengalihkan pandangan dari gadis manis yang menarik perhatiannya itu. "Arvan, ngapain sih? Ganggu aja," gerutu pria yang ternyata sahabat karib dari Arvan. Dia adalah Heksa.

"Hallo, Van. Ganggu aja, ada apa sih?" tanya Heksa sambil menyetir karena lampu yang sudah berubah menjadi hijau.

"Ganggu? Emang kamu lagi ngapain?"

"Liatin cewek cantik."

"Sialan! Aku cuma mau bilang malam ini kita gak jadi pergi, aku ada acara keluarga dadakan sama ayah."

"Oke, selamat bersenang-senang, Mr. Arrogant!" ledek Heksa dan mematikan sambungan teleponnya.

***

"Mamih, Diana pulang!" seru Diana yang baru tiba di ruang tamu mewah bernuansa emas dan putih. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa empuk berwarna putih tulang. Seorang asisten rumah tangga yang sudah merawat Diana sejak kecil menghampirinya. 

"Non, mau mbok ambilkan minum?" tanya wanita paruh baya dengan tubuh gemuk yang bernama mbok Asih.

"Iya, air dingin, Mbok!"

"Iya, Non."

Diana mengelap keringat yang membasahi wajah cantiknya. Mbok Asih datang membawakan segelas air dingin untuk membasahi kerongkongan gadis manis itu yang kering.

"Diana, kamu dari mana sih?" Seorang wanita cantik berbibir merah tebal turun dari tangga. Ia adalah Anisa, ibu dari Diana. 

"Lagi ada misi penting. Mamih, beliin sepeda bekas dong!" pinta Diana dengan manja.

"Bekas? Buat apaan?"

"Buat misi Diana yang super penting ini, besok harus sudah ada."

"Iya, nanti mamih suruh supir buat cari. Sekarang kamu mandi, siap-siap, nanti ada acara penting sama temen lama papih."

"Siapa?"

"Nanti kamu juga tau, kok. Ceritanya mau reunian, mumpung sama-sama tinggal di ibukota."

"Diana gak ikut ya, Mih!"

"Harus ikut, kalo gak mau gak apa-apa sih, tapi kamu harus bantu kerja di kantor papih. Gimana?"

"Iya, Diana ikut." Perempuan berusia dua puluh lima tahun ini mendengkus kesal. Ia memanyunkan bibirnya sambil beranjak dari sofa empuk dan berpindah menuju kamarnya yang nyaman.

Dilemparnya tas cokelat ke atas kasur dengan seprei pink bermotif bunga sakura. Ia duduk di meja riasnya sambil bercermin. Menatap wajahnya sendiri dan meyakinkan dirinya jika tak ada yang berubah sejak ia kecil. Diana memang tidak pernah merubah gaya rambutnya. Selalu dipotong rata sebatas bahu dengan poni menutupi dahinya. Ia ambil sebuah foto berbingkai yang ada di depan cermin. Foto dirinya bersama Arvan ketika mereka kecil.

"Wajar sih kalau Arvan gak inget, ternyata wajahku waktu kecil bulet banget kayak melon." gumam Diana.

Gadis cantik bemata sipit dengan poni yang terus menutupi dahinya ini beranjak dari tempat tidur. Lelah bekerja seharian, ia memilih untuk tidur sebentar. Ia rebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Ditemani sebuah boneka kelinci besar yang sudah menemaninya tidur sejak bayi. 

Tepat pukul 18.30, Anisa membangunkan sang putri yang masih tidur. Padahal, mereka harus berangkat pada acara reuni pukul tujuh malam. Berkali-kali wanita dengan gaun malam berwarna hitam ini memanggil nama anaknya. Sama sekali tak ada respon. Terpaksa ia menggoyang-goyangkan tubuh Diana dan mengancamnya, "Kalo gak mau ikut gak apa-apa, kok. Nanti Mamih  bilang ke Papih kalo kamu besok mau kerja di kantor."

Ancaman dari sang mamih berhasil. Diana bangun dengan mata sipitnya yang baru setengah terbuka. Ia menguap tanpa menutupi mulutnya, menggeliat, meregangkan otot-otonya yang kaku.

Gadis yang tak pernah pacaran ini bangun dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia bergegas membersihkan diri demi ikut orang tuanya ke acara reuni mereka agar terhindar dari ancaman untuk bekerja di kantor keluarga. 

Tiga puluh menit berlalu. Diana menuruni tangga, menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu. Gadis ini mengenakan make up natural, dengan rambut terurai seperti biasanya. Sebuah gaun pink berlengan pendek dengan panjang sebatas lutut dikenakan Diana. Dipadukan dengan sepatu wedges putih dan sling bag berwarna dusty pink. 

"Cantik sekali kamu, Diana!" puji Wijaya, Papih dari Diana.

"Iya lah, Diana emang cantik pake baju apapun, Pih," sahut Diana menujukkan barisan gigi putihnya.

Dalam perjalanan menuju restoran, tempat di mana akan diadakannya reuni, Diana terlalu fokus dengan gadgetnya. Sibuk dengan sosial media yang sudah memiliki banyak pengikut. Sampai-sampai ia tak dengar jika kedua orang tuanya sering menyebut nama Arvan.

"Diana, kita sudah sampai, simpan dulu ponselnya!" kata sang mamih.

"Iya, Mih." Diana menyimpan benda pipih berwarna hitam berbentuk segi empat itu ke dalam tasnya. Kemudian ia turun mengikuti langkah kedua orang tuanya dari belakang. 

Restoran yang mereka kunjungi berkonsep saung-saung dengan pemandangan kolam ikan koi yang sangat luas. Untuk menuju saung nomor lima, mereka harus menyeberang sebuah jembatan kayu. Dari jauh sudah terlihat satu keluarga yang sudah menunggu rombongan Wijaya. Seorang lelaki paruh baya berjas hitam melambaikan tangan ke arah Wijaya. Diana sempat melihat orang itu. Namun, yang membuatnya terkejut adalah ketika sesosok pemuda berkemeja putih menoleh. Diana menghentikan langkahnya. Ia segera berputar dan berlari menjauh.

"Kenapa si Es Batu ada di situ?" gerutu Diana sambil berlari menutupi wajahnya dengan tas.

Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan jika dirinya sudah jauh dari jangakauan CEO angkuhnya itu.

Braaaakk

Diana menabrak seseorang. Ia hampir jatuh. Untung saja orang yang bertabrakan dengannya sigap meraih tangan gadis bergaun pink itu.

"Kamu?" tanya pemuda yang bertabrakan dengan Diana. Ia adalah penegemudi lamborghini yang melihat Diana menyeberang jalan, Heksa.

"Siapa? Kamu kenal aku? Apa kamu temen OB ku di kantor?"

"OB? Em ... iya, kita temen OB di mana ya? Aku sering pindah kerja soalnya. Sampe lupa kamu temenku yang di mana?" Heksa berbohong agar tahu informasi tempat kerja Diana.

"Aku anak baru di Hutama Group, udah dulu ya! Sampai ketemu besok!" Diana melambaikan tangan dan pergi.

"Jadi dia OB di kantor Arvan. Bagus, kita bakal ketemu beneran besok, Cantik!"

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status