Share

My Arrogant CEO
My Arrogant CEO
Penulis: Elang Putih

Pertemuan

Diana begitu bersemangat ketika mendapat panggilan kerja di perusahaan ternama di ibukota. Hutama Group yang merupakan perusahaan di bidang perakitan sepeda motor. 

Gadis manis bertubuh kurus dengan rambut hitam sebatas bahu ini berlari menuju pintu masuk yang terbuat dari kaca bening tebal. Matanya yang menyapu setiap sudut kantor membuat ia tanpa sengaja menabrak seorang lelaki berjas hitam yang berjalan dengan angkuhnya.

Diana terjatuh. Map berisi persyaratan awal masuk kerja pun jatuh berserakan. Mata gadis manis ini terus menatap pria yang ditabraknya. "Kamu," gumam Diana lirih tak berkedip.

Pria itu tampak kesal dengan Diana. Ia menyapu bahunya dengan telapak tangan. Seolah tubuh Diana membuat pakaiannya ternoda.

"Hey, kamu! Apa kamu karyawan baru di sini?" tanya seorang pria berkumis tipis yang berdiri di belakang Arvan. Dia adalah Malik, sekretaris Arvan. Malik bisa menduga jika Diana adalah karyawan baru karena pakaian yang dikenakan bukan seragam kantor. Ya, Diana masih mengenkan kemeja putih dan rok hitam.

"I ... iya, saya karyawan baru." Diana segera bangkit dan menundukkan kepala.

"Sekali lagi saya lihat kamu ceroboh, saya pastikan kamu tidak bisa bertahan," kata Arvan sambil berlalu pergi.

Diana memanyunkan bibirnya. Ia meniup rambut yang menutupi dahinya yang lebar dan menggerutu, "Kamu gak inget aku, Van?" Diana menunjuk-nunjuk ke arah Arvan dan Malik yang sedang berjalan menuju lift. Gadis ini terkejut ketika pria berkumis yang menegurnya tiba-tiba menoleh. Ia langsung berbalik, menggaruk kepalanya dan membuang napas berat.

"Jadi berantakan gini, kan!" Diana mengambil kertas yang berserakan dan menyatukannya ke dalam map. Gadis ceroboh ini menuju resepsionis dan mengatakan jika dia adalah karyawan baru di bagian office girl. Wanita cantik dengan make up tebal yang menjaga meja resepsionis mengarahkan office girl baru ini untuk pergi ke ruangan yang berada di ujung gedung.

"Aku rela gak kerja di kantor papah, demi ketemu kamu, Arvan," gumam Diana sambil melangkahkan kakinya menuju ruangan atasannya. 

Sebuah ruangan cukup besar dengan pintu terbuka dimasuki Diana. Ia bertemu seorang atasan yang menyambutnya dengan sangat ramah. Diana diterima dengan baik oleh teman-teman sesama office girl mau pun office boy yang baru saja akan memulai pekerjaan mereka. 

"Selamat datang, Diana. Kamu saya kasih tugas spesial. Gak perlu latihan, pokoknya spesial buat kamu aja," kata Pak Roni, atasannya.

"Benarkah? Terimakasih. Apa yang harus saya lakukan di hari pertama ini?" tanya Diana dengan antusias.

Pak Roni memberikan  seragam baru berwarna biru muda untuk pegawai barunya. Ia mengatakan jika Diana bertugas mengurus keperluan direktur dan membersihkan ruangannya. 

"Apakah direktur itu Arvan?"

"Husssst! Jangan sembarangan bicara! Emang dia temen kamu bisa panggil nama begitu? Panggil dia Pak Arvan," perintah Pak Roni.

"Siap, Pak!"

"Udah sana ganti baju! Terus bikin minuman buat Pak Arvan."

"Iya, Pak."

Diana masuk ke toilet yang ada di dalam ruangan itu. Teman-teman baru serta Pak Roni pun bergunjing. Mereka tertawa bahagia bukan karena mendapatkan teman baru. Namun, mereka lega karena akan ada orang baru yang akan menjadi korban keangkuhan sang CEO. 

"Sudah! Kalian lanjutkan pekerjaan kalian sebelum Diana curiga," tukas Pak Roni.

Diana keluar dengan seragam barunya. Kemudian ia menerima perintah pertama dari atasannya untuk membawakan kopi dan membersihkan ruangannya. 

"Dapur ada di sana!" tunjuk Pak Roni pada sudut ruangan.

"Meja berisi alat kerja kamu itu ya! Selamat bekerja," sambung Pak Roni.

Diana menuju dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk Arfan. Secangkir kopi panas sudah siap dibawa ke ruangan CEO yang ada di lantai lima belas. Office girl baru ini meletakkan kopi itu di atas meja kerjanya. Kemudian ia mendorong meja itu keluar Ruangan OB menuju lift.

Diana sudah tak sabar untuk melihat wajah Arvan lagi. Ia berharap pertemuan kedua ini akan membuat Arvan mengingat dirinya yang pernah ditolong beberpa tahun lalu ketika mereka masih bertetangga. 

"Van, inget aku, please!" Kata Diana sambil menyatukan kedua tangannya dan memejamkan matanya. 

Gadis manis yang mengurai rambut pendeknya itu sudah sampai di lantai lima belas. Dengan tingkat kepercayaan yang tinggi ia menuju ruang CEO.

Tok ... tok ... tok ....

Diana mengetuk pintu kayu bercat cokelat tua dengan papan tulisan nama sang CEO tergantung di atasnya. Gadis manis ini memutar gagang pintu dan membuka pintu itu lebar agar meja kerjanya bisa masuk.

"Permisi, Pak. Saya karyawan baru yang bertugas membersihkan ruangan Bapak," kata Diana sambil menatap Arvan yang sedang membaca laporan dengan menundukan kepala. Tak ada satu pun kata yang kaluar dari mulut CEO angkuh itu. Membuat Diana mengembuskan napas panjang dan kecewa karena Arvan tak melihat wajahnya walau hanya satu detik saja. 

Ia ambil secangkir kopi panas dari mejanya dan meletakannya di meja kerja Arvan.

"Ini kopinya, Pak." Diana meletakan cangkir berisi kopi panas di sebelah kiri Arvan.

"Taruh sebelah sini!" jawab Arvan tanpa menoleh. Suara beratnya membuat Diana semakin berdebar. Apa lagi ketika melihat wajah tampan nan dingin dengan rambut berjambul yang membuat Arvan semakin memancarkan karismanya. 

"I ... iya," jawab Diana dengan gugup. 

Diana sudah memindahkan cangkir kopi itu di sebelah kanan. Kemudian ia melanjutkan pekerjaanya untuk membersihkan ruangan.

Diambilnya sapu dan Diana mulai menyapu ruangan itu dari sudut dekat dengan jendela kaca yang lebar. Di sudut ruangan terdapat sebuah meja kecil berisi foto berbingkai. Sebuah potret ketika Arvan kecil yang tengah digendong ayahnya. 

"Coba sekarang kamu senyum seperti di foto itu! Kenapa kamu berubah menjadi dingin seperti ini? Sekali saja aku ingin lihat senyum kamu," batin Diana sambil terus memandangi potret Arvan.

"Kamu kerja apa mau ngelamun!" tegur Malik yang membuat Diana terkejut. Ia menoleh dan melihat Malik sudah duduk di hadapan Arvan. 

"Sejak kapan dia masuk? Kok aku gak denger pintu dibuka sih?" gerutu Diana dalam hati.

"Maaf, saya akan menyapu sekarang."

Diana mulai mengayunkan tangan kanan yang sedang memegang sapu. Tiba-tiba seekor laba-laba melompat dari tirai ke lengan baju nya. Laba-laba adalah binatang yang paling ditakuti Diana. Dahinya berkeringat menahan takut. Ia berhenti bergerak agar laba-laba itu pergi. Justru binatang kecil itu berjalan mendekati pundaknya.

"A ...." Diana berteriak. Kakinya melangkah mundur dan tak sengaja menabrak foto yang ada di meja hingga foto itu jatuh dan bingkai pun pecah.

Diana semakin ketakutan ketika laba-laba itu justru mulai berjalan di lehernya yang jenjang. Arvan kesal karena bingkai fotonya pecah. Dengan raut wajah yang merah, Arvan mengambil laba-laba kecil dari leher Diana dan menginjak dengan sepatunya hingga hancur tak berbentuk. 

"Kamu lihat, foto saya jadi pecah!" sungut Arvan yang membuat Diana tak bisa membendung air matanya. 

Dengan tangan gemetar, gadis ini membersihkan pecahan kaca dengan gugup hingga melukai jarinya. Diana tak menyadari jika darahnya menetes di lantai. Ia memasukkan serpihan kaca itu ke dalam meja kerjanya dan mendorongnya keluar ruangan. 

"Baru kerja udah bikin ulah. Biar aku bilang ke HRD suruh pecat dia," kata Malik.

"Tunggu!" ucap Arvan sambil melihat tetesan darah di lantai ruangannya. 

"Iya?"

"Jangan pecat dia."

"Kenapa?"

"Apa aku perlu menjelaskan padamu?"

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status