Share

Salah Kirim

Heksa menghentikan napasnya sejenak dan membuka telinga lebar-lebar ketika Diana akan menjawab pertanyaanya. Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, Heksa terus memandang wajah ayu office girl yang terluka itu.

"Aku ... bakal coba, Sa. Tapi bagaimana kalau aku cuma buat kamu terluka?" kata Diana.

"Jangan pedulikan sakit hatiku. Aku sudah bahagia mendengar kamu menyetujui permintaanku. Terima kasih. Mulai besok, aku bakal antar jemput kamu kerja. Jangan nolak, ini salah satu cara biar aku lebih deket sama kamu."

"Iya, maaf jadi ngerepotin."

"Gak apa-apa, Sayang."

"Jangan panggil sayang, dong!"

"Kenapa emang?"

"Aneh aja."

"Kita kan udah jadian, Diana!"

"Baru juga lima menit. Pokoknya aku gak mau dipanggil sayang, titik!"

"Oke, titik."

"Kok titik sih?"

"Kamu sendiri yang bilang gak mau dipanggil sayang, maunya titik?"

"Sa, gak usah ngelawak, garing tau gak!" Diana memanyunkan bibirnya.

"Iya. Gak usah monyong-monyong gitu juga kali. Ayo, aku antar pulang!"

Diana tersenyum dan mengangguk. Heksa mengantar Diana pulang sekaligus akan memperkenalkan dirinya secara resmi kepada orang tua Diana tanpa gadis cantik ini tahu niat badboy ini.

Security keluarga Wijaya mencegat mobil mewah kuning ini dan hendak menanyakan keperluan bertandang ke rumah bosnya. Saat jendela kaca dibuka, Diana melambaikan tangan ke arah pria kekar berseragam putih itu.

"Mbak Diana? Silakan masuk!" kata security itu. Ia kemudian membuka lebar gerbang tralis besi hitam agar mobil bisa masuk.

Heksa keluar dan berputar hendak membukakan pintu untuk kekasih barunya. Namun, keromantisannya gagal ketika Diana dengan santainya membuka pintu itu sendiri dan keluar dengan tangan meremas perut.

"Ya ampun, ulangi! Masuk lagi!" Heksa mendorong tubuh Diana pelan agar gadis itu duduk kembali.

"Apaan sih, Sa? Perut aku sakit, nih. Kayaknya bekas ditendang orang itu tadi."

"Oh, maaf. Tadinya mau aku suruh masuk lagi, biar aku yang bukain pintu, Di. Kayak gak pernah pacaran aja, sih!" kata Heksa sambil menuntun Diana.

"Emang! Aku gak pernah pacaran!"

"What? Jadi aku pacar pertama kamu?"

Dengan tersipu malu, Diana menundukkan wajah dan mengangguk. Gadis cantik bermata sipit itu berjalan menahan sakit di perutnya. Dibantu Heksa yang terus memegangi lengannya. 

Anisa yang tengah santai di ruang tamu melihat putrinya pulang dalam keadaan menyedihkan. Ia panik dan menghampiri Diana sambil menitikan air mata.

"Diana, kamu kenapa? Jatuh dari sepeda?" 

"Dipukul orang, Bu," jawab Diana sambil menangis.

Heksa dan Anisa menuntun Diana ke ruang tamu. Gadis itu menyandarkan bahunya ke sandaran sofa berwarna putih tulang sambil terus meremas perutnya. Bulir bening pun tak henti-hentinya mengalir dari kedua netra kecilnya. 

Diana menceritakan bagaimana kejadian bermula. Heksa pun membantu menjelaskan kepada Anisa. Ibu satu ini justru bangga atas aksi putri tunggalnya membela orang yang membutuhkan. Anisa meminta agar Diana memeriksakan diri ke rumah sakit. Namun, gadis berusia dua puluh lima tahun dengan kalakuan bak remaja ini menolak dan meminta untuk beristirahat di kamar saja. 

Heksa berpamitan kepada Anisa dan Diana. Ia tak mau berlama-lama singgah dan mengganggu waktu istirahat sang kekasih.

"Terima kasih sudah antar anak saya," kata Anisa ketika mengantar Heksa sampai di depan pintu utama.

"Tidak apa-apa, Tante. Mulai besok, saya akan menjaga Diana. Saya akan antar jemput Diana."

"Lho, apa tidak merepotkan kamu, Nak?"

"Gak, Tante. Saya tulus melakukan ini demi pacar saya," ucap Heksa dengan penuh percaya diri.

"Kalian pacaran?"

"Iya, Tante."

"Selama hubungan kalian memberikan dampak yang positif kepada Diana, tante gak masalah, kok. Tante dukung."

"Syukurlah, kalo begitu, Heksa pamit dulu, Tante."

"Iya, hati-hati di jalan ya!"

"Iya, Tante."

Anisa kembali masuk dan mengantar putrinya ke kamar. Ia memerintahkan anak gadis semata wayangnya itu untuk beristirahat.

"Mamih keluar apa tunggu di sini?"

"Keluar aja, emang Diana anak kecil apa?"

"Mamih tau kamu udah tua, udah pantes nikah, tapi kelakuan kadang masih kayak bocah."

"Kapan Diana kayak bocah?"

"Sering, contohnya aja waktu ngumpet pas Arvan dateng cuma karena kamu gak mau kalo Arvan tau kamu office girl di kantornya."

"Iya, Mih. Udah ah, sana keluar, Diana mau istirahat." 

Anisa keluar dan membiarkan Diana di kamar berbaring di bawah selimut yang hangat. Setelah dipastikan sang mamih keluar, gadis berponi ini mengambil ponsel di dalam tasnya. Ia membuka pesan dari Arvan yang belum sempat ia buka.

[Iya, aku Arvan. Kamu apa kabar?]

Pesan itu dikirim pada pukil 07.00 pagi. Sedangkan sekarang sudah jam sepuluh pagi. Diana seharusnya sedang berada di kantor. Menatap wajah dingin sang CEO, menyiapkan kopi dan membersihkan ruangannya. Namun, karena menolong Pak Miko, ia harus rela rebahan di rumah dan hanya melepas rindu melalui tulisan.

[Kamu lagi ngapain? Masih inget aku gak?] balas Diana.

Putri tunggal tuan Wijaya ini tak menyangka jika pesannya akan dibalas begitu cepat. "Apa dia gak sibuk? Kok langsung bales?"

Arvan:

[Lagi males kerja. Lupa-lupa inget, udah lama juga kita gak ketemu, ya!]  

Diana:

[Iya, udah dua puluh tahun, pasti kamu sekarang lebih keren dari dulu. Oh, iya, males kerja kenapa?] Diana.

Arvan:

[Keren? Udah pasti. Aku males kerja soalnya ada office girl yang tiap hari bikin aku bete. Namanya sama lho sama kamu, Diana.]

"Bete? Apa aku nyebelin banget? Awas aja besok kalo aku kerja, aku bakal kerjain kamu, Van!" gerutu Diana kesal.

Diana:

[Kenapa bisa bikin bete?]

Arvan:

[Males bahas, ah. Eh, nanti siang makan bareng mau gak?]

Satu pesan masuk dari Heksa muncul ditengah-tengah obrolan mereka. Diana mengambil boneka kelinci besar yang ada di sampingnya. Menjadikannya bantal dan melanjutkan jemarinya menari-nari di atas layar.

"Heksa, kayak gak abis ketemu, apa kayak gini kalo pacaran? Baru ketemu aja udah kirim pesan," gumam Diana yang jomblo seumur hidup. Kejombloan yang akhirnya berakhir dengan datangnya Heksa sebagai kekasih karena janji bukan cinta.

Heksa:

[Diana, kamu lagi ngapain?]

Diana:

[Lagi mancing!]

Heksa:

[Mancing? Wah, pacarku punya hobi anti mainstream, mancing di mana?]

Diana:

[Aku bohong, Bambank! Lagian udah tau badan pada memar pake tanya lagi ngapain!]

Heksa:

[Kali aja kamu butuh aku, atau kamu mau aku beliin sesuatu?]

Diana membaca pesan Heksa. Kemudian menutupnya dan membuka pesan Arvan yang belum sempat ia balas. Pada saat kedua ibu jarinya akan mengetik, Anisa membuka pintu kamar dan menawarinya satu gelas jus melon.

"Apa, Mih?" tanya Diana yang masih berbaring bersama boneka kelincinya.

"Jus melon." Anisa mendekat dan memberikan jus itu kepada putrinya.

Diana meminum seteguk demi seteguk minuman segar itu. Ia menyandarkan bahunya pada tembok dan salah satu tangan memegang ponsel sambil membalas pesan.

Diana:

[Iya, kamu dateng ke rumah bawain aku burger sama coklat dingin ya, aku tunggu gak pake lama!]

Diana melanjutkan meneguk jus pada gelas di tangan kanannya.

Ting!

Notifikasi dua pesan masuk bersamaan. Pesan dari Heksa dan Arvan.

Heksa:

[Kok gak bales?]

Arvan:

[Nanti pulang kerja aku bawain ya, kalo sekarang aku gak bisa.]

Diana bingung dengan balasan mereka. Ia yakin sudah membalas Heksa. Namun, Diana tak mengerti apa yang dimaksudkan Arvan. Ia membaca ulang pesan Heksa dan memang ia belum membalasnya. Kemudian Diana membuka pesan Arvan dan baru menyadari permintaan burger dan cokelat dingin kepada Heksa justru ia kirimkan kepada sang CEO.

Sontak seluruh jus yang ada di mulutnya ia muncratkan. Gadis cantik yang sudah pantas untuk menikah ini panik. Ia segera meletakan gelas di atas nakas, turun dari ranjang, mondar-mandir sambil menggaruk-garuk rambutnya.

"Bagaimana ini? Kenapa aku bisa ceroboh?" gumam Diana panik. Ia terus memegang ponselnya dan tak tahu harus membalas apa untuk Arvan.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status