Share

Seratus Hari Saja

Cahaya mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah-celah jendela kaca membuat Diana terbangun. Ia menggeliat dan menyadari ponselnya masih ada di genggamannya.

Mata yang malas untuk membuka tiba-tiba saja terbelalak ketika melihat dua pesan masuk tertera di layar ponselnya. Jemarinya mengusap layar benda pipih itu dan membuka pesan teratas. Sebuah pesan dari Heksa yang menagih janjinya semalam. Diana tak membalas pesan itu dan berlanjut membuka pesan kedua.

[Kau ingat aku? Si baik hati yang selalu kau gandeng saat kecil.]

Membaca balasan itu, Diana bingung dan akhirnya membaca kembali pesan di atasnya. Pesan pertama dari nomor itu adalah panggilan namanya. Senyum manis tersimpul di bibir gadis cantik ini. Ia tak menyangka jika Arvan akan mengiriminya pesan. Dengan lincah jemarinya menari di atas layar dan berpura-pura bertanya.

[Apa kamu Arvan?]

Hatinya terus berbunga-bunga walaupun belum ada balasan lagi dari Arvan. Ia berdiri melompat-lompat di kasur. Kemudian menjatuhkan diri, menghentakkan kedua kakinya dan berguling ke kanan kiri.

Kegirangannya harus terhenti ketika dua netranya melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Gadis bermata sipit ini melempar ponselnya dan bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ia begitu semangat ketika memakai seragam office girl berwarna biru mudanya. Dengan bibir yang masih tersimpul ia memoleskan bedak tipis pada wajah ayunya. Sesaat ia baru menyadari jika sentuhan tangan Arvan di dahinya baru saja terbasuh.

"Astaga, kok aku mandi sih? Yaaah, ilang deh bekas tangan di jidat aku, fyuh." Diana menghela napas panjang sejenak. Kemudian melanjutkan memulas bibir tipisnya dengan lipstick berwarna nude.

Ia ambil slingbag pink dan memasukan ponselnya. Dengan terburu-buru, gadis berambut hitam ini keluar kamar dan berpamitan kepada kedua orang tuanya yang tengah menikmati sepotong sandwich dan segelas susu.

"Diana berangkat, Mih, Pih," pamit Diana.

"Kamu gak sarapan dulu, Sayang?" tanya sang papih.

"Gak laper, Pih. Diana sarapan di kantor aja." Gadis berusia dua puluh lima tahun itu segera pergi dengan sepeda mininya yang buruk rupa. Ia mengayuh dengan cepat dan tak ingin terlambat masuk kerja. 

Saat Diana hampir tiba di kantor, ia melihat kerumunan di pinggir jalan. Awalnya gadis itu berlalu begitu saja. Namun, sekilas ia mendengar suara Pak Miko, teman seprofesinya tengah memohon ampun dan belas kasih. Diana menghentikan laju sepedanya dan menyeruak di balik kerumunan.

Dugaannya ternyata benar. Pak Miko tengah berdiri dengan lututnya sambil menyatukan kedua tangan di depan seorang pemuda berkemeja krem dengan dasi terpasang di lehernya.

"Pak Miko? Ada apa ini?" tanya Diana.

"Saya gak sengaja nyenggol sepeda motor dia, bahkan saya yang jatuh, tapi motor dia kegores, saya harus ganti rugi lima ratus ribu, Di. Kamu kan tau kita belum gajian."

Mendengar penjelasan Pak Miko, Diana geram. Ia berdiri di hadapan pria gagah yang meminta ganti rugi itu. "Heh, Pak Miko gak sengaja bikin motor jelek kamu itu jadi kegores, yang ada juga dia yang motornya sampe jatuh. Kenapa gak damai aja sih?" bentak Diana.

Pria itu mendorong dahi Diana dengan telunjuknya dan memintanya untuk tidak ikut campur. Akan tetapi, Diana semakin kesal dan mengambil uang dalam dompetnya sejumlah lebih dari lima ratus ribu rupiah. Uang itu ia hantamkan ke wajah pria berkemeja krem dengan keras.

"Masalah selesai!" kata Diana. Lantas gadis ini meminta Pak Miko bangun dan segera ke kantor. 

Kerumunan bubar. Pak Miko bangkit dengan kakinya yang berjalan pincang. Sedangkan Diana sudah mengayuh sepedanya kembali. Tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam roda belakang sepeda milik Diana. Keseimbangan pun tak terjaga dan gadis cantik itu terjatuh.

"Diana!" panggil Pak Miko dan mendekati Diana dengan menahan sakit di kakinya.

Arvan yang kebetulan lewat melihat adegan itu dari dalam mobil. Seorang pria muda yang membawa batu dan melemparkannya ke wajah sang office girl ceroboh. Laki-laki pincang yang menolong Diana pun mendapat perlakuan kasar. Ia didorong menjauh.

Arvan segera menepikan mobilnya. Keluar dengan gagahnya dan mendekati pria yang sudah beberapa kali menendang Diana. CEO angkuh ini menendang punggung sang pria hingga ia jatuh tersungkur. Arvan mendekatinya dan mengambil id card pria itu yang ada di saku kemejanya. Pria itu merupakan karyawan Hutama Group bagian pengembangan.

"Kamu saya pecat!" kata Arvan lirih sambil menarik id card sang pria dan mematahkannya jadi dua. 

Heksa yang juga akan menemui Diana melihat sang pujaan hati menangis di pinggir jalan dengan darah yang mengalir dari dahinya. Badboy ini turun dari mobil lamborghini kuningnya dan mendekati Diana dan Pak Miko.

"Diana, kamu kenapa?" Heksa mendekat dan melepas jaket jeans yang ia kenakan untuk mengelap darah di wajah Diana.

"Dilempar batu sama pria itu!" tunjuk Pak Miko pada pria yang baru saja kehilangan pekerjaan.

Heksa kesal dan akan membalas perbuatan kejinya. Namun, Arvan yang masih ada di sana melarangnya.

"Tidak perlu, Sa. Aku sudah membalasnya dengan cara yang elegan," kata Arvan sambil berbalik dan hendak masuk ke dalam mobil.

"Van, ijinin mereka libur hari ini!" pinta Heksa.

"Terserah." jawab Arvan tanpa ekspresi. Ia segera masuk ke dalam mobil dan melihat Diana yang terus menangis kesakitan. Namun, ia segera pergi setelah melihat rekan-rekan Diana datang.

"Diana, Pak Miko," panggil Razen yang datang bersama Pak Roni.

"Kalian tau dari mana?" tanya Diana sambil terisak.

"Aku yang kabarin Pak Roni, Di," kata Pak Miko.

"Kalian pulang aja ya!" perintah Pak Roni.

"Baik, Pak." Pak Miko menjawab sambil berjalan pincang menuju sepeda motornya.

"Pak, bapak naik taksi saja, biar sepeda Diana sama motor bapak saya yang urus. Kita bawa ke parkiran," kata Razen.

Pak Miko baru saja akan menolak, namun, sang atasan mengatakan jika ongkos taksi akan ditanggung olehnya. Masalah Pak Miko sudah selesai. Saatnya Diana yang terlihat masih kesakitan menahan luka di dahinya.

"Ayo kita ke rumah sakit," ajak Heksa.

"Gak mau, aku takut disuntik, Sa."

"Ya udah, ayo aku antar pulang!" Heksa membantu Diana berdiri dan merangkulnya. Ia membukakan pintu untuk gadis malang itu.

Mobil mewah berwarna kuning dikemudikan dengan santai. Ia menepi di depan apotek. Heksa membelikan plester dan obat merah untuk menutup luka di dahi Diana.

"Sini aku bersihin dulu lukanya," kata Heksa. Diana meringis menahan perih. Dengan sedikit paksaan, akhirnya luka di dahi office girl itu sudah tertutup.

"Terimakasih, Heksa."

"Sama-sama. Kamu udah baca pesan aku semalam kan?"

"Iya."

"Aku mau nagih janji kamu, ada permintaan yang harus kamu turuti."

"Iya, aku inget. Aku bakal nurutin, kok."

"Aku mau kamu jadi pacar aku, Di."

Diana berhenti bernapas sejenak. Ia memandang mata Heksa yang menatapnya penuh arti.

"Gak bisa, aku udah suka sama orang lain."

"Setidaknya coba dulu, beri aku waktu seratus hari saja buat jadi pacar kamu, please!"

"Heksa, aku gak mungkin menjalin hubungan tanpa cinta."

"Aku tau itu. Jika dalam seratus hari itu kamu tetep gak cinta, aku akan biarkan kamu pergi. Jadi tolong beri aku kesempatan!"

Diana dan Heksa yang masih berada di dalam mobil saling melempar pandang. Diana tak tahu apa yang harus dikatakan kepada Heksa. Di sisi lain, ia sudah berjanji untuk menuruti apapun permintaan pria berambut mohawk itu.

"Heksa," panggil Diana.

"Iya."

"Aku...."

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status