Diana melihat kedua orang tuanya pulang membawa banyak belanjaan. Mereka berdua begitu antusias melihat Arvan. Begitu juga Arvan yang tersenyum ramah dengan bekas tetangga saat kecil itu.
"Di, Arvan kenal orang tua kamu?" bisik Heksa.
"Iya."
"Tapi gak kenal kamu?"
"Kami temen waktu kecil, tapi Arvan udah lupa sama aku."
"Sepertinya kamu sengaja jadi OB di kantor dia buat deketin Arvan 'kan?"
"Iya, udah jangan berisik, nanti ketahuan!"
Heksa dan Diana kembali mengamati Arvan dari celah pintu lemari. Pertemuan yang sangat lama antara Arvan dan kedua orang tua Diana membuat gadis bermata sipit dan pria berambut mohawk ini tertidur di dalam lemari. Diana menyandarkan kepalanya pada bahu Heksa. Sedangkan sang badboy bersandar pada dinding lemari dengan telapak kaki yang sedikit keluar dan membuat pintu lemari sedikit terbuka.
"Diana belum pulang juga, kemana ya, Pih?" tanya Anisa.
"Entahlah, coba Mamih telepon," perintah Wijaya.
Saat Anisa menghubungi putrinya, asisten rumah tangga mereka keluar dan memberikan gawai milik Diana yang berada di ruang keluarga.
"Hape ditinggal? Udah jam 10 malem, pergi sama siapa sih, Mbok?" tanya Wijaya.
"Gak tau, Tuan. Saya baru pernah liat."
"Tante, boleh saya minta nomor Diana?" pinta Arvan.
"Ya, Van. Tante kirim ke kamu ya!"
Setelah mendapat nomor telepon teman kecilnya, Arvan berpamitan untuk pulang karena hari sudah malam. Ia juga meminta agar orang tua Diana segera menghubunginya jika gadis itu sudah pulang.
"Salam buat orang tua kamu ya, Van," kata Wijaya.
"Iya, Om."
Wijaya dan Anisa mengantar Arvan hingga ke teras. Saat mobil sedan hitam itu pergi, Anisa baru menyadari ada sebuah sepeda gunung terparkir di halaman rumah mereka.
"Sepeda siapa itu, Pih?"
"Gak tau, coba tanya Mbok Asih!"
"Mbok!" panggil Anisa kepada asisten rumah tangganya yang akan membawa cangkir kosong ke dapur.
"Ya, Nyonyah!"
"Itu sepeda siapa?"
"Sepeda tamunya Diana, Nyonyah!"
"Kok sepedanya masih di sini? Mereka itu ke mana? Papih gak ada musuh kan? Jangan-jangan Diana diculik, Pih!" Tangis Anisa tak bisa dibendung lagi.
"Papih orang baik, mana mungkin punya musuh, Mih."
Mendengar majikannya menangis, security di gerbang penasaran dan menghampiri sang majikan. Wijaya pun menanyakan kepada satpam itu dengan siapa Diana pergi. Namun, pria berpostur tinggi besar itu mengatakan jika Diana tidak keluar.
"Jangan-jangan mereka di kamar, Pih!" kata Anisa.
Wijaya segera berlari menaiki tangga menuju kamar putrinya yang berada di lantai dua. Kamar itu kosong. Hanya sebuah boneka kelinci besar yang terbaring di atas kasur sang putri.
"Mana Diana?" tanya Anissa yang menyusul suaminya ke lantai dua.
"Gak ada, Mih."
Mbok Asih berteriak memanggil tuannya. Ia berlari dengan susah payah manaiki tangga. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar.
"Ada apa, Mbok?" tanya Wijaya.
"Ada kaki di lemari bawah tangga, jangan-jangan Diana dibunuh, Tuan."
Wijaya dan Anisa segera turun dan melihat lemari yang dimaksudkan wanita yang sudah bekerja selama dua puluh enam tahun itu. Dengan langkah pelan Wijaya mendekati lemari itu. Ia membuka pintu dengan sangat lirih hinggga pintu itu terbuka lebar.
"Diana!" sungut Wijaya dengan berdecak pinggang.
Suaranya yang lantang membuat Diana dan Heksa terbangun gugup. Mereka berdua lebih terkejut lagi saat wajah Wijaya memerah dan terlihat begitu marah.
"Papih," panggil Diana dan bergegas keluar lemari, diikuti Heksa.
"Jelasin ke papih, siapa pria ini? Apa yang kalian lakukan di dalam lemari?"
"Pih, tadi ada Arvan, jadi Diana ngumpet."
"Astaga, kamu ini gimana, Diana? Arvan pengin ketemu kamu!"
"Iya, Pih, tapi saatnya belum tepat. Kita duduk dulu, yuk! Diana bakal jelasin kenapa Diana ngumpet."
Heksa, Diana, dan kedua orang tua Diana duduk di ruang tamu. Diana menjelaskan semua tentang pekerjaannya selama ini sebagai office girl di kantor Arvan. Ia juga memohon kepada kedua orang tuanya agar tidak memberitahukan kepada CEO angkuh itu.
"Kamu siapa?" tunjuk Wijaya kepada Heksa.
"Saya sepupunya Arvan, Om. Saudara dari pihak ayah," jawab Heksa.
Hari sudah malam. Wijaya meminta Heksa untuk pulang dan meminta Diana segera beristirahat.
Diana mengambil ponsel yang ada di ruang tamu. Dengan gontai ia berjalan sambil menggeliat dan mengunci pintu kamarnya. Gadis ini membaringkan tubuhnya yang lelah sambil membuka satu pesan masuk dari nomor baru.
[Diana.]
"Siapa, nih? Apa Heksa udah tau nomor aku juga?" Diana segera membalas pesan itu.
[Siapa?]
Pesan itu tak kunjung dibaca dan mata sipit anak tunggal dari Wijaya dan Anisa ini sudah tidak bisa menahan kantuk lagi. Ia tertidur dengan gawai yang masih ada di genggamannya.
Benda pipih canggih berwarna hitam itu beedenting. Diana tak mendengar balasan pesan dari nomor asing itu karena sedang berada pada zona ternyaman di tidurnya.
***
Heksa yang begitu dekat dengan Arvan tidak pulang ke rumah. Ia sengaja pulang ke rumah CEO Hutama Group dan berniat menginap bersama sang CEO.
Ckleeekk
Heksa membuka pintu yang tidak dikunci. "Van, aku nginep," ucap Heksa sembari menutup pintu kembali.
Ia langsung merebahkan tubuhnya di samping Arvan yang sedang memandangi layar gawainya. Sekilas terlihat nama Diana di layar itu. Heksa pun menanyakan siapa gadis dengan nama itu.
"Dia temen kecilku waktu di desa."
"Oh, kirain Diana si office girl pujaan hatiku," Heksa pura-pura tidak tahu apa-apa.
"Bukan seleraku," jawab Arvan tanpa ekspresi.
"Bagaimana jika Diana milikku dan Diana milikmu orang yang sama?"
"Gak usah mengkhayal! Mereka jelas dua sosok yang berbeda."
Arvan melatakan telepon seluler nya di atas kasur. Ia menyembunyikan tubuhnya di balik selimut dan tidur.
Heksa menunggu waktu yang tepat untuk mencuri nomor telepon Diana dari ponsel saudaranya. Setelah dipastikan jika Arvan benar-benar sudah tidur, badboy ini segera mencari kontak dengan nama Diana dan mencatat nomor telepon itu pada ponselnya sendiri.
Pria yang berusia setahun lebih muda dari Arvan ini langsung mengirimkan pesan kepada pujaan hatinya.
[Diana, jangan lupakan janjimu bahwa kau akan menuruti semua permintaanku. Aku tunggu besok di kantor. Selamat malam, jangan lupa mimpikan aku. Yang mencintaimu, Heksa.]
Hati Heksa terus berbunga-bunga. Ia sudah tak sabar untuk bertemu Diana besok. Diana bukanlah gadis pertama yang diinginkannya. Namun, office girl cantik ini adalah gadis pertama yang membuat Heksa begitu ingin memiliki lebih dari apapun. Bahkan, badboy ini tak tahu, daya tarik apa yang membuat gadis itu selalu ada di setiap angan dan pikirannya.
"Aku harus mendapatkan hatimu, Diana. Aku rela jika ternyata kamu yang akan menjadi pelabuhan terakhir hatiku."
Heksa mengecup ponselnya. Ia memejamkan mata menyusul CEO dingin itu yang sudah terlelap lebih dulu.
Bersambung....
Diana yang akan diantar oleh Anton tiba-tiba melihat mobil Heksa melaju cepat ke arah kantor. Gadis itu menolak untuk diantar ayah kekasihnya itu. Ia memilih untuk kembali ke kantor saja dengan berjalan kaki karena jarak yang tidak terlalu jauh."Maaf ya, Om. Sepertinya Heksa ke kantor. Saya mau ke Heksa aja," kata Diana."Oh, ya sudah kalau begitu."Diana berjalan cepat. Ia tak bisa menghubungi siapa pun karena ponselnya tertinggal di loker. Ia kegirangan dan berpikir di saat dirinya susah Heksa selalu ada di dekatnya.Diana terkejut melihat Heksa yang tengah berbicara dengan Chintya. Ia berjalan mengendap untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dekat."Sa, ide kamu ini gak keren. Aku dimaki-maki sama Malik karena meniru gaya Diana," ucap Chintya."Lalu, kenapa kamu minta aku menjemputmu? Apa benar-benar gagal total?""Arvan sa
"Van, bangun!" Chintya panik. Ia mengguncang-guncangkan tubuh mantan kekasihnya yang tergolek lemah tak berdaya.Pintu ruangan yang terbuka membuat karyawan di lantai lima belas melihat kejadian itu. Salah seorang karyawan segera meminggirkan meja kerja Diana yang menghalangi jalan.Lelaki berusia empat puluh tahunan itu mendekati sang CEO dan menelepon ambulance melalui ponselnya."Pak Arvan kenapa, Mbak?" tanya lelaki berkumis itu."Gak tau. Dia bilang tadi dingin. Badannya panas," jawab Chintya yang terisak.Berita tentang Arvan yang pingsan segera menyebar ke seluruh penjuru kantor. Samar-samar Malik yang sedang mengejar Diana pun mendengarnya. Ia berbalik arah dan menuju lantai lima belas.Dengan napas yang tersengal Malik memegang kening sahabatnya itu. "Arvan kenapa dipaksain masuk kalo lagi sakit gini, sih!""Saya sudah tele
Arvan menyunggingkan bibirnya. Kedua tangannya memegang setir. Namun, ia tidak menyalakan mesin mobil. CEO tampan ini akan meneruskan perannya sebagai tuan misterius untuk mengorek tentang perasaan Diana terhadapnya. "Ya, aku gak boleh ungkapin sekarang. Aku seneng ternyata kamu mencintaiku. Apa lagi setelah aku tau kamu tidak benar-benar menyukai Heksa," gumam Arvan. Ia keluar dari mobil dan menikmati guyuran hujan malam yang semakin deras. Kedua tangannya merentang. Kepala menengadah. Seolah tetesan-tetesan air itu membuat jiwanya begitu tenang. Kaus yang dikenakannya basah kuyup. Menempel ke tubuh. Membuat lekukan dadanya yang bidang jelas terlihat. Asisten rumah tangga di keluarga Hutama mengintip dari balik jendela. Ia khawatir anak majikannya itu akan sakit. Wanita paruh baya itu bekerja di keluarga Hutama sejak mereka hijrah ke ibukota. Ia sangat hapal jika Arvan
Diana mendorong tubuh Heksa dengan keras. "Lepasin! Ngapain sih, Sa?" Diana mengelap bibirnya. "Lho? Kenapa? Kan di telepon aku udah bilang tadi mau cium nyata." "Jangan lagi-lagi! Aku udah gak pengin makan malem." Diana masuk ke dalam rumah dengan basah kuyup. "Kok gitu? Aku laper, Di." Heksa yang sama-sama basah membuntuti Diana yang baru selangkah melewati pintu. "Pulang gak? Aku gak mau ketemu sama kamu!" bentak Diana. "Kok marah? Jangan marah dong, Di. Please!" "PULANG!" teriak Diana lagi. Membuat Wijaya dan Anisa menghampiri mereka. "Kalian kenapa?" tanya Anisa ketika melihat Heksa yang sedang memohon dan putrinya yang sedang cemberut dengan bibir merahnya yang luntur. "Heksa tuh, Mih. Bikin kesel aja. Diana udah males. Suruh dia pulang!" Diana meninggalkan Heks
Diana bersiap untuk menemui penggemar misteriusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Gadis dengan model rambut baru ini berdandan dengan ilmu rias ala kadarnya.Diana memilih sebuah dress marun sebatas lutut dengan lengan sebatas siku. Gadis yang biasa menggunakan riasan simpel dengan warna natural kini lebih berani menggunakan riasan tebal.Pipi pink merona dengan eyeshadow berwrna pink. Alis yang dibentuk tebal seperti artis-artis di televisi. Serta lipstick merah menyala yang membuat bibir Diana begitu seksi dan menggoda."Unch ... unch ... kece banget. Tinggal gemukin badan dikit biar gak rata begini. Aku gak kalah cantik juga dari si sint ... Chintya? Gak! Aku panggil dia sinting aja," kata Diana sambil berdiri di depan cermin.Ia membuka almari kaca berisi koleksi tas dan sepatunya. Diana mengambil tas berwarna hitam mengkilap serta sebuah high heels merah serupa dengan warna bibirnya.
Di saat jam makan siang, Arvan kembali menghilang. Meninggalkan Malik tanpa sebuah pesan.CEO muda yang tengah jatuh cinta ini ternyata membeli sebuah ponsel dan nomor baru. Benda canggih yang spesial yang akan digunakan untuk meneror Diana.Arvan mengirimkan pesan kepada Malik bahwa ia tidak akan kembali ke kantor. Dan menyerahkan semua urusan perusahaan kepada pria yang belum pernah pacaran itu.Ternyata, Arvan kembali ke rumah. Ia turun dari mobil dan langsung menuju dapur sambil bersenandung."Ku ingin engkau menjadi milikku. Aku akan mencintaimu, menjagamu, selama hidupku. Dan aku kan ber ...." Arvan berhenti bernyanyi lagu milik Romance Band yang berjudul Ku Ingin Kamu itu karena asisten rumah tangganya melihatnya dengan tatapan aneh."Ada apa sih, Mbok?" tanya Arvan."Jangan mendekat, Den!""Kenapa?"
Malik menunggu Arvan kembali ke kantor di ruangan sang CEO. Klien penting sudah tiba sejak sepeluh menit lalu. Sedangkan Arvan tidak bisa dihubungi.Saat Malik hendak keluar ruangan, bertepatan dengan Arvan yang akan masuk. Senyum lebar tersungging di bibir CEO yang tekenal arogan itu."Kenapa senyum gitu? Apa ada yang aneh denganku?" tanya Malik sembari memegang kumis tipisnya."Gak ada.""Klien udah datang. Lagi nunggu kamu.""Siapkan berkasnya. Kita ke ruang meeting sekarang." Arvan berbalik dan langsung menuju ruang meeting tanpa masuk terlebih dahulu ke ruangannya.Malik mengembuskan napas beratnya. Sekali lagi memegang kumisnya. "Kok agak tebelan nih kumis," gumamnya.Sekretaris berkumis tipis itu mengambil berkas-berkas yang dibutuhkan di meja Arvan. Ia berbicara sendiri sambil menata beberapa lembar HVS berisi catatan penting.
Melihat ekspresi suaminya panik, Anisa bergegas keluar. Disusul dengan Diana yang juga penasaran dengan korban yang ditabrak papihnya.Kedua wanita ini terperangah. Bahkan, Diana menutup kedua matanya dengan kesepuluh jarinya. Ia mengintip dari celah-celah jari yang terbuka."Papih, nyetirnya gimana, sih? Kenapa bisa ditabrak gini?" Anisa menepuk pelan punggung suaminya."Kok jadi nyalahin papih, Mih? Kan dia nyebrang dadakan.""Aduh, mamih merinding. Mana sepi banget. Gak ada orang lewat.""Pih, masih idup gak? Kasian. Dia gak gerak, darahnya banyak banget," ucap Diana."Kayaknya mati, Di.""Iya udah, Pih. Kita bawa pulang aja. Dikubur dibelakang rumah.""Iya, deh." Wijaya melepas sweater hitam yang ia kenakan. Ia rela hanya mengenakan singlet agar kucing yang ia tabrak bisa dibawa pulang dan dikubur di pekarangan be
Diana dan Heksa sudah sampai di kantor polisi. Mereka melepaskan ikatan pada tangan kedua sejoli itu."Kalian duduk!" perintah seorang yang bertugas sebagai penyidik.Diana menunduk diam. Mendengarkan setiap kata yang terlontar dari pria di hadapannya. Sesekali gadis itu melihat ke arah komputer yang menyala."Siapa nama kalian?""Heksa, Pak," jawab Heksa."Kamu?" Bertanya pada Diana. Namun, kekasih dari Heksa ini tetap bungkam. Tak bicara dan tak lagi menangis."Hei, kamu! Apa tidak dengar pertanyaan saya?" bentak penyidik itu.Diana mengangkat wajahnya. Ia menatap si penyidik akan tetapi tetap diam."Siapa nama kamu?"Diana menoleh ke samping. Memandang pria berkumis yang sempat berseteru di dalam perjalanan menuju kantor."Apa?" kata pria berkumis itu.