Tanpa ingin membuang waktu, ketika keduanya sudah kembali dari rumah orang tua Raj, Mai langsung menghubungi Dara. Meminta wanita itu untuk datang menemuinya di kediaman Raj, untuk membicarakan perihal penjualan rumah yang saat ini ingin sekali dibeli oleh Mai.
Butuh waktu hampir satu jam bagi Dara untuk sampai di komplek perumahan tersebut. Ia langsung pergi ke rumah Raj dan berbicara dengan sepasang suami istri itu.
“Sorry, ya, aku gak bisa dateng waktu kalian nikah,” ucap Dara seraya menyodorkan sebuah paper bag di atas meja. Karena membeli barang itulah, Dara membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk sampai di ruma Raj. “Aku baru aja pulang dari Bali tadi pagi.”
Raj yang mengembangkan senyumnya pada Dara, langsung mendapat lirikan tajam dari sang istri. Sehingga, senyum tersebut akhirnya luntur seketika.&nbs
Ada yang berbeda pagi ini. Mai tidak memoles wajah seperti biasanya ketika hendak berangkat kerja. Raj tidak melihat sapuan lipstik di atas bibir yang selalu menggoda itu. Pun dengan bagian mata, tidak ada warna apapun terlukis di sana. Terlebih, surai tebal yang biasanya Mai ikat itu, kini tergerai dan jatuh dengan bebas di punggung wanita itu. “Mi …” ucap Raj yang otomatis mengubah panggilannya pada Mai. Karena istrinya itu, sekarang memanggilnya dengan sebutan papi. Untuk itu, Raj akhirnya juga mengubah panggilannya menjadi mami. “Kamu berangkat kerja seperti ini?” Mai berdiri setelah mengusap lip balm pada bibirnya. “Iya, emang kenapa? Mau bilang aku gak cantik!” “Eh, enggak, enggak!” Raj buru-buru meralat sikapnya dan mengibaskan kedua tangan di depan dada dengan cepat. “Cantik! cantik banget malah! Na
Sesuai janji, siang ini Mai akan bertemu dengan Dara di sebuah restoran, untuk melihat kelengkapan surat kepemilikan rumah yang akan dibelinya. Berhubung sang pemilik rumah harus pergi keluar kota, maka semua hal akhirnya dilimpahkan pada Dara untuk sementara waktu.Selain itu, Mai juga ingin membicarakan mengenai desain baru rumah tersebut dengan Dara. Biar wanita itu yang mengurus semuanya dan Mai hanya ingin tahu bersihnya saja, tanpa mau repot-repot lagi setelahnya.Suara siulan panjang terdengar ketika Mai tengah menyantap sup buntut miliknya terlebih dahulu. Selagi menunggu Dara, Mai lebih dulu memesan makanan karena perutnya sudah tidak bisa diajak berkompromi.“Kita itu, sering banget kebetulan ketemu begini, apa jodoh, barangkali.”Endy, tanpa
Apa-apaan ini? Mai hanya pingsan, tapi yang datang untuk memastikan kondisinya, hampir seluruh keluarga besar wanita itu. Diantara semua yang datang, Endy hanya tahu dengan Pras dan istri pria itu. Serta satu sosok lagi yang benar-benar membuat Endy menjadi naik darah.Yaitu pria yang pernah berkelahi dengannya di depan lift kala itu, ternyata adalah suami Mai. Endy lantas bersedekap angkuh. Sedari tadi, maniknya selalu saja bersitatap tajam dengan Raj. Ingin rasanya menyelesaikan perkelahian yang kala itu sempat tertunda. “Oke, karena sudah berkumpul semua, saya undur diri.” Mendengar hal tersebut dari mulut Endy, Pras berbalik dan mendahului pria itu keluar dari ruangan VIP, tempat Mai berbaring saat ini. “Sa-saya, juga
“Pi … aku mau pulang!” Belum 24 jam berada di rumah sakit, Mai sudah merengek kesal ingin kembali pulang ke rumah. Siang tadi, Raj tidak bisa menjenguk Mai lebih lama, karena masih ada urusan kantor yang tidak bisa ia tinggalkan. Andai kantor itu miliknya sendiri, maka Raj tidak perlu repot-repot lagi kembali ke sana. Sayangnya, Raj hanyalah salah satu dari orang beruntung, yang kebetulan diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah perusahaan. Sore harinya, barulah Raj bisa kembali pergi ke rumah sakit, setelah pulang bekerja. Menggantikan Sinar dan Diana, yang akhirnya pulang setelah Raj sudah datang untuk menemani sang istri. “Lihat besok,” jawab Raj yang baru saja keluar dari kamar mandi. Langsung mengh
Setelah sehari penuh tersiksa dengan chat, beserta telepon sang istri yang selalu saja merengek minta pulang. Sore harinya, Raj meminta kepada dokter agar istrinya itu, dipulangkan saja.Siapa yang tidak kesal, kalau setiap menit Mai selalu saja mengirimkan Raj chat yang tidak penting. Bahkan, Mai mengirimkan banyak sekali stiker, hanya agar Raj mengabulkan permintaannya untuk segera pulang ke rumah.Hanya saja, Raj memberi syarat agar Mai pulang ke kediaman Pras untuk sementara waktu. Kalau ada di sana, Raj yakin kalau istrinya tersebut akan ada yang merawat dan mengawasi.Akhirnya setelah Mai menyetujuinya, mereka kembali pulang ke kediaman Pras. Menginap di sana, sampai kondisi Mai benar-benar pulih sepenuhnya.“Berhenti dari Casteel High, Mai.&rdquo
“Duduk sini,” Sinar menepuk sisi kosong pada sofa panjang yang ia duduki, ketika Mai baru saja membuka pintu kamar. Mai pun menghampiri sang bunda. Namun, bukannya duduk, Mai malah merebahkan diri di sofa. Menjadikan paha sang bunda sebagai bantalnya. Karena itu, Sinar pun reflek mengusap kepala putrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. “Kepalanya masih pusing?” tanya Sinar. Mai mengangguk. Tidur menyamping dan meringkuk. “Apa kamu bahagia, Mai?” Pertanyaan sederhana dari Sinar itu, seketika menyentak perasaan Mai. “Bahagia?” Mai lantas mengajukan pertanyaan kembali pada sang bunda.
Pras yang hendak pergi ke rumah depan untuk membaca buku di perpustakaan, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ada sang putri, yang sedang duduk di sofa sembari menonton televisi seorang diri. Gerakan tangan yang terlihat naik turun tersebut, menandakan kalau Mai tengah sibuk memakan sesuatu.Pras mendekat. Mengitari sofa, lalu duduk tepat di samping putrinya tanpa jarak. Melihat satu mangkuk besar kentang goreng yang tengah Mai peluk seorang diri.Menyadari ada sang ayah duduk merapat. Mai segera beranjak dan pindah menuju kursi ratu yang biasa duduki oleh sang bunda. Tidak melihat Pras sama sekali dan terus saja sibuk memakan kentang gorengnya sambil melihat berita.Terhitung, sudah tiga hari Mai tidak menegur Pras sama sekali. Putrinya itu masih ngambek karena sudah dilarang bekerja dan diancam sedemikian rup
Kelopak mata Raj terbuka pelan. Disuguhkan wajah cantik Mai yang menatapnya dengan lekat. Tidak biasanya, istrinya itu bangun lebih dulu daripada dirinya. Terlebih, di hari minggu seperti ini. Mai akan benar-benar bermalas-malasan dan enggan beranjak dari ranjang. Kecuali, pada saat mereka tinggal di rumah orang tua Raj kala itu.“Aku memang ganteng, jadi gak usah dilihatin seperti itu.” Raj menggeliatkan tubuh kakunya dengan begitu puas. Memajukan wajahnya, lalu mengecup bibir ranum itu sekilas. Mendengar kalimat narsis yang dimuntahkan oleh sang suami, Mai langsung mengerucutkan bibirnya sekilas. Rasa percaya diri Raj sedari dulu, memang sudah terlampau tinggi. Oleh karena itulah, pria itu dengan berani melamar Mai hingga berkali-kali. Di mata Mai, sosok Raj itu memang tidak tahu malu.