Aduh, mulai dicurigaiin tuh.
“Apa kau sudah mendengar gosip yang beredar?” Damar tidak tahan untuk tidak memberitahu atasan, sekaligus istri kontraknya. “Aku tidak pernah tertarik pada yang namanya gosip.” Balas Audrey, sembari menandatangani berkas yang baru saja diberikan sang asisten. “Kali ini kau harus mendengar, karena ini serius. Semua orang mulai menggosipkan kita berdua.” Sekarang, Audrey menghentikan gerakannya. Dia menatap lelaki dengan wajah gusar yang berdiri di depannya. Tentu saja Audrey akan merasa perlu untuk mendengar gosip yang membawa namanya dan sang asisten. “Mereka curiga, karena aku asisten yang bekerja paling lama denganmu.” Damar memulai penjelasan tanpa diminta. “Sejak aku masuk pun, katanya lembur asisten mulai agak berkurang.” “Lalu?” “Lalu mereka berpikir, aku ini ada hubungan denganmu. Entah itu aku anak titipan dari seseorang yang kau kenal, atau kau memeliharaku sebagai kekasih.” Yang Damar maksud dengan anak titipan adalah dirinya yang masuk kerja lewat koneksi dan perlu
Damar melirik ke kiri dan kanannya. Mereka sedang duduk di meja makan, tapi sungguh suasananya terasa begitu canggung. “Kenapa pada diam sih?” tanya Vita dengan senyum lembut. “Dimakan dong makanannya. Atau mungkin gak suka?” “Gak kok, Bu.” Tere dengan cepat menggeleng. “Enak, cuma lagi agak kenyang saja.” “Enak.” Jennie juga ikut mengangguk canggung. “Ya, udah. Pelan-pelan saja makannya,” jawab Vita masih dengan senyum yang sama, kemudian beralih pada Damar. “Kamu juga makan yang banyak ya.” “Dia gak usah makan banyak.” Brian langsung menyela, dengan tatapan tajam. “Biarin saja dia kelaparan.” “Brian.” Sebagai ibu, Vita tentu saja akan menegur. “Jangan kasar begitu dong.” Damar tidak memberi banyak komentar melihat pemandangan di depannya, karena memang tidak bisa. Jika dia terlalu banyak bicara, siapa tahu nanti bisa keceplosan. Ya. Tadi memang Audrey dan Damar bertemu dengan Jennie dan pasangan, juga Tere dan pasangan. Padahal tadi Damar sudah panik, tapi untung saja
“Arisan?” tanya Damar dengan kening berkerut. “Iya.” Tere dan Happy mengangguk bersamaan. “Kami baru ikut arisan dan sedang mencari anggota baru lagi. Nanti, arisannya diadakan di rumah masing-masing.” Damar tidak langsung menjawab. Lelaki itu menggaruk pipinya, merasa bingung dengan ajakan yang ditujukan padanya itu. Jujur saja, dia merasa bingung bagaimana harus menanggapi ajakan itu. Seumur-umur, Damar belum pernah ikut arisan. Lagi pula, setahunya yang namanya arisan itu, hanya dilakukan oleh kaum hawa saja. Dia juga tidak terlalu ingin ikut kegiatan seperti itu. “Ikut saja, Mar.” Tere mencoba menjelaskan. “Hitung—hitung, bisa dipakai nabung gitu. Lumayan loh dan iurannya juga tidak mahal.” “Begitu ya?” gumam Damar dalam nada tanya. Dia masih merasa bingung. “Tapi bukannya arisan biasa perempuan saja ya?” “Kata siapa?” Happy langsung menghardik. “Zaman sekarang, ada juga kok lelaki yang ikut arisan. Itu Mbak Tere yang mau resign saja ikut, masa Mas Damar tidak ikut.” “Tapi
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Mathilda?” Damar mendesah pelan, begitu mendengar nama itu disebut. Padahal dia berpikir sang ibu sudah lupa tentang perempuan yang hendak dijodohkan dengannya itu, tapi rupanya tidak. Sang ibu hanya menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. “Tidak ada perkembangan apa pun,” jawab Damar dengan jujur. “Kami bahkan belum bertemu lagi, mungkin sejak dua atau tiga minggu lalu. Aku sibuk kerja, sekarang aku bahkan masih di kantor.” “Astaga, Damar! Kamu kenapa sih? Kok dikasih perempuan cantik dan muda begitu malah gak mau? Kamu gay?” Untuk yang kesekian kalinya, sang ibu menuduh. “Lagi pula, bukannya ini sudah jam pulang kantor di sana? “Ada beberapa pekerjaan yang belum selesai, Madre dan percaya saja apa yang ingin Madre percaya,” desah Damar merasa sangat lelah. “Yang jelas, Damar sudah memberi tahu. Terserah mau percaya atau tidak dan aku lebih suka dengan perempuan yang lebih dewasa.”
Audrey menatap dengan tajam ke depan. Sudah lewat beberapa menit, tapi tatapan tajam dan aura penuh kemarahan itu tidak surut juga. Membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan menjadi canggung. “Anu, Bu Audrey.” Damar mencoba untuk mencairkan suasana, terutama karena semua orang melirik padanya. “Bagaimana kalau kita mulai saja wawancara kerjanya?” “Wawancara kerja katamu?” tanya Audrey, yang kini melotot pada asistennya. “Saya berada di sini untuk wawancara kerja.” Tiba-tiba saja, suara lain terdengar dari arah depan Audrey. Arah yang sejak tadi dipelototi Audrey. “Saya sudah dipanggil seperti ini, tentu saja saya harus diwawancarai dengan benar kan?” tanya Mathilda dengan berani. Ya, Mathilda. Entah bagaimana, perempuan muda yang baru lulus itu malah melamar pekerjaan di perusahaan yang dipimpin Audrey. Tindakan yang bisa dibilang berani, tapi juga sedikit ceroboh. Kebetulan saja salah satu anggota tim yang
“Kau tidak apa-apa?” Audrey menanyakan itu dengan tatapan tajam pada asisten, sekaligus suami kontraknya. “Sama sekali tidak apa-apa,” jawab Damar tanpa ragu. “Memangnya ada sesuatu sampai kau menanyakan hal seperti itu?” Audrey hanya bisa mendesah pelan. Padahal jelas-jelas tadi Damar terlihat sangat tidak sehat, tapi coba lihat sekarang? Lelaki itu sudah terlihat seperti biasa, bahkan sudah bisa tersenyum lebar. “Apa kau tidak mau makan?” tanya Damar memotong ikan yang menjadi bagian dari fish and chip miliknya. “Katanya tadi kau lapar.” “Iya.” Audrey menjawab, sembari melempar rambutnya ke belakang. “Tadinya aku lapar, tapi sekarang tidak lagi. Itu semua gara-gara kau.” “Aku tidak mengerti kenapa bisa aku yang menjadi masalahnya, tapi kalau kau tidak mau itu, boleh kuambil saja? Aku sangat lapar.” Damar menunjuk menu yang persis sama dengan miliknya, yang ada di hadapan Audrey. “Makan saja,” jawab Audrey den
“Berani sekali kau memanggilku datang.” Audrey melirik ke samping, hanya untuk menemukan tamunya sudah datang. Hal yang membuatnya tersenyum miring, karena merasa menang. Sombong sedikit tidak masalah kan? “Hai, Mathilda. Senang bertemu lagi denganmu.” “Aku sama sekali tidak senang.” Perempuan berdarah Italia itu, menghempaskan diri di sofa, tepat di depan Audrey. “Sekarang cepat katakan apa maumu sebenarnya?” “Tidak usah buru-buru seperti itu. Coba pesan sesuatu dulu, kebetulan Damar sedang memimpin rapat, jadi tidak masalah kalau agak lama.” “Apa lagi yang kau rencanakan?” tanya Mathilda dengan kedua alis naik. “Tidak ada,” jawab Audrey dengan jujur. “Tapi aku butuh informasi.” Kening Mathilda berkerut mendengar hal itu. Dia jelas bingung dengan pernyataan Audrey barusan. Untuk apa pula perempuan itu ingin meminta informasi dan tentang siapa? “Apa yang kau tahu tentang Damar.”
“Jadi? Apa yang membuatmu tiba-tiba mengajakku ke klub malam?” Melanie tetap mengeluh, walau dia bersedia datang dengan sukarela. “Entahlah.” Audrey mengedikkan bahunya. “Aku juga tidak begitu yakin.” “Apa kau sudah gila?” tanya sahabat Audrey satu-satunya itu. “Kau yang memanggil, tapi tidak yakin? Kau itu kesurupan atau apa sih?” Audrey tidak menjawab dan memilih menenggak minuman yang sejak tadi dia pesan. Hanya satu gelas kecil minuman keras, tapi itu membuatnya sedikit mendesis. Rasanya enak, tapi tetap menusuk dan sedikit pahit. “Mungkin aku memang kesurupan.” Audrey mengangguk yakin, seraya mengangkat gelas. Dia meminta gelas kecilnya diisi lagi. “Jadi apa yang membuatmu kesurupan?” Melanie bergabung dan ikut memesan minuman. “Aku merasa kalau suamiku itu punya sesuatu yang dia sembunyikan,” jawab Audrey tanpa ragu sedikit pun. “Paling anehnya, aku kepikiran.” “Wow, itu sebuah kemajuan. Kau a