“Alasan tidak masuk akal apa itu.” Audrey memukul meja, walau tidak begitu keras.
“Apa ada yang salah, Bu?” Seseorang yang sedang menjelaskan sesuatu di depan ruang rapat langsung bereaksi. “Lanjutkan saja.” Setelah mengatakan hal itu, Audrey kembali menunduk menekuri tablet yang dia pegang di tangannya. Sudah lewat beberapa hari sejak kejadian di tempat olah raga dan Audrey masih saja merasa tidak habis pikir. Dia memang tidak mencari tahu lebih lanjut karena sibuk membuang waktu dengan berfoto dan bercinta saat bulan madu, tapi tetap saja kepikiran. Kalau mau lebih tepatnya, Audrey dan Damar dipaksa untuk pergi berbulan madu. Tentu saja harus ada bukti kalau mereka berdua menikmati bulan madunya, berupa foto dan kadang video. Damar adalah orang yang paling gencar mengambil gambar. “Bu Audrey.” Sang asisten yang baru masuk beberapa waktu lalu itu, memanggil atasan dan juga sekaligus istri kontraknya. “Ada masalah?” Hanya itu yang empunya nama ucapkan sebagai balasan. “Apa ada yang salah dengan meeting tadi?” lanjut Damar masih dengan nada tanya. “Saya lihat, sepanjang meeting Bu Audrey terlihat tidak senang. Mungkin ada bahan yang kurang jelas atau apa?” Perempuan yang ditanyai itu hanya bisa mendesah pelan. Memang ada yang salah dengan materi rapat tadi, tapi jelas bukan itu yang membuatnya tidak senang. Inginnya sih Audrey memberitahu sang asisten saja, tapi rasanya tidak etis juga. Pasalnya, dia sudah berjanji untuk tidak mencari tahu. “Tidak ada apa-apa.” Akhirnya, Audrey hanya bisa menjawab seperti itu. “Lanjutkan saja pekerjaanmu.” “Setelah ini kita ada jadwal untuk makan siang di luar dengan supplier.” Damar memberitahu, sembari melihat tablet sepuluh inci yang dia pegang. “Supplier yang mana?” “Yang akan menggantikan supplier lama kita, perihal kemasan produk premium kita. Setelahnya, kita akan bertemu dengan orang yang akan mendesign logo.” Audrey hanya bisa mengangguk. Dia sudah meninggalkan pekerjaan dalam waktu lama, jadi tentu sekarang jadwalnya cukup padat. Terutama karena perusahaan mereka sedang merancang produk baru. Sayangnya, tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan. “Coba lihat siapa ini?” Padahal Audrey baru saja tiba di restoran yang dipesankan oleh Damar, tapi malah disambut oleh salah seorang yang paling menyebalkan. Itu adalah Lenita, salah seorang sepupu Audrey yang cukup menyebalkan. “Aku tidak punya waktu untuk meladenimu, Len.” Sayang sekali Audrey sudah menolak kehadiran sepupunya itu, sebelum sang sepupu bicara lebih banyak. “Aku sibuk.” “Sibuk?” tanya Lenita dengan tawa mencemooh. “Kau mungkin hanya sibuk dengan suamimu yang tidak banget ini. Apa kalian mau bercinta di dalam private room? Rendahan sekali.” “Maaf, Bu ....” “Siapa yang kau panggil Ibu?” Belum juga kalimat Damar selesai, Lenita langsung menghardik. “Maaf, Mbak.” Mau tidak mau, Damar mengoreksi. “Tapi bisa lain waktu saja berbicara dengan Ibu Audrey-nya? Kami benar-benar sedang sibuk. Mbak mungkin bisa kembali, setelah membuat janji.” Lenita menaikkan kedua alisnya mendengar penolakan itu. Kekesalannya memuncak, ketika Damar malah mengeluarkan kartu nama, agar perempuan itu bisa membuat janji dengan lebih leluasa di lain hari. “Kurang ajar sekali.” Lenita menyambar kartu nama itu dengan kasar. “Kau hanya asisten, tapi kau memperlakukanku seperti orang asing? Apa kau tidak tahu siapa aku?” “Maaf, tapi saya tidak tahu,” jawab Damar dengan polosnya. Sungguh, sekarang ini Audrey sangat ingin tertawa. Rasanya baru kali ini dia melihat ada asisten yang berani meminta keluarganya sendiri untuk membuat janji. Walau Damar sepertinya tidak tahu siapa Lenita, tapi tetap saja kejadian ini sangat menghibur bagi Audrey. Dia bahkan tidak keberatan untuk ikut mempermainkan sang sepupu. “Maaf, Len. Aku sibuk, jadi buat janji untuk lain hari saja,” gumam Audrey dengan ekspresi datar, sebelum berlalu begitu saja untuk menuju ruangan yang akan mereka tempati. “Awas saja kalian.” Audrey masih bisa mendengar umpatan sang sepupu, tapi tentu saja tidak menanggapi. “Apa kau tahu yang tadi itu siapa?” “Sama sekali tidak.” Damar tentu saja akan menggeleng, untuk menjawab sang atasan. “Apakah dia adalah seseorang yang perlu saya ingat?” “Dia sepupuku.” Jawaban Audrey begitu singkat, tapi sudah cukup membuat asistennya terkejut. Damar bahkan menutup mulut dengan tangan karenanya. “Astaga! Bagaimana ini? Saya sudah tidak sopan.” Lelaki itu tiba-tiba saja jadi panik sendiri. “Tidak perlu panik. Dia memang menyebalkan, jadi tidak masalah.” Audrey mengatakannya, sembari melihat buku menu. “Apa kau sudah memesan sesuatu?” “Ya.” Damar yang panik, seketika berubah jadi lebih serius karena mereka mulai membicarakan pekerjaan. “Saya sudah memesan beberapa menu yang sekiranya bisa Bu Audrey sukai dan tentu saja tamunya juga. Tapi sepertinya, tamu kita agak terlambat.” “Kita akan bertemu dengan ilustrator yang mendesain dulu kan?” Audrey bertanya hanya untuk memastikan. “Ya benar. Untuk pemasok kita, dia sudah mengajukan pengunduran untuk jam temu. Jadinya, saya menukar jadwal bertemu pemasok dan ilustrator.” Audrey mengangguk pelan. Dia juga tidak masalah dengan itu, asalkan jadwalnya tidak berantakan. Memang ada sedikit keterlambatan, tapi masih bisa ditoleransi karena memang jadwalnya berubah secara mendadak. “Kita hanya akan menunggu lima belas menit.” Tiba-tiba saja Audrey berbicara. “Baik, Bu. Akan saya beri tahu orangnya.” Untungnya, Damar bisa menanggapi dengan baik dan membuat atasannya cukup bangga. Damar memang baru masuk dan pernah juga menganggur, tapi dia cukup bagus dalam bekerja. Rasanya, baru kali ini Audrey tidak marah pada asisten yang baru masuk. Jujur saja, ini adalah rekor. “Apa karena servis ranjangnya yang cukup bagus?” Perempuan yang hari ini menggunakan blazer putih tulang itu bergumam dalam hati. “Sayang sekali aku sedang datang bulan. Sial sekali.” Audrey hanya mengeluh dalam hati, tapi siapa yang sangka hari ini dia benar-benar sial. Buka hanya karena bertemu dengan sepupunya, tapi juga dengan mantannya. “Loh, Audrey? Kau yang jadi klienku?” ***To be continued***“Aku tidak menyangka kalau bisa bertemu denganmu lagi.” Felix duduk di salah satu kursi yang kosong. Kebetulan, mejanya memang untuk berempat. “Bagaimana Kak Felix bisa ada di sini?” tanya Audrey dengan mata yang sedikit menyipit. “Apa kau lupa?” tanya lelaki yang beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan Audrey di tempat gym. “Aku lulusan DKV.” “Ah, hal yang membuatmu memutuskanku.” Audrey mengangguk seolah mengerti dengan wajah datarnya. “Ayolah, Rey. Kau masih dendam karena itu? Hal itu hanya masa lalu yang sudah lama berlalu,” balas Felix dengan raut yang menyiratkan sedikit rasa bersalah dan rasa tidak nyaman. “Itu kenyataan. Tapi untuk saat ini, kita tidak akan membahas masa lalu.” Audrey kembali menekuri benda segi empat yang ada di pangkuannya. Itu membuat Felix juga langsung bergerak untuk mengeluarkan benda serupa dari tasnya, sementara Damar hanya menatap dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Entah bagaimana, takdir membawa dua orang di depannya untuk b
“Pak Carlisle.” Damar terkejut melihat lelaki yang adalah ayah Audrey, kini duduk di tempatnya. “Carl saja, Damar.” Lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya dan membuat sekretaris yang duduk bersebelahan dengannya menghembuskan nafas lega. “Terlalu sulit menyebut namaku dengan benar.” “Tapi Saya menyebutkan dengan benar kan? Kharlay.” Damar hanya ingin mengkonfirmasi saja. “Tentu saja sudah benar, tapi bukan itu yang akan kita bicarakan. Ke mana Audrey?” tanya Carl dengan senyum lembut. “Bu Audrey sedang pergi ke toilet. Ada yang bisa saya bantu?” “Tentu saja ada.” Carl mengangguk pelan. “Aku butuh bicara denganmu, jadi tolong katakan pada Audrey kalau aku membajak asistennya.” Kalimat yang terakhir, tentu saja ditujukan pada sekretaris sang putri. Walau bingung, Damar memilih untuk mengikuti lelaki paruh baya yang berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Dia tentu tidak bisa melawan karena biar bagaimana, Carlisle masih atasannya juga. Makin bingung lagi, ketika dia dibawa ke
“Kenapa aku merasa jadi seperti gigolo masokis?” gumam Damar dengan ekspresi wajah antara kesal dan gemas sendiri. Lelaki itu menoleh dan menemukan istrinya yang tertidur dengan sangat lelap, setelah aktivitas panas mereka beberapa jam yang lalu. Tapi bukannya senang, Damar malah sedikit kesal dan tak berdaya di hadapan Audrey. Bagaimana tidak. Setelah dia mengajukan ide untuk membatalkan pernikahan, Damar malah diberi hukuman. Mulai dari pekerjaan yang tiba-tiba saja menumpuk, sampai disiksa di atas ranjang. Tangannya bahkan diikat dengan borgol kulit yang entah berasal dari mana. Tentu saja Damar seharusnya bisa melawan, tapi dia tertipu. Pikirnya tadi Audrey hanya ingin mempermainkan dirinya dengan meminta kedua tangan lelaki itu bertaut di belakan punggung. Siapa yang mengira kalau Audrey malah memborgol kedua tangan (yang mana dikira hanya sekedar bercanda oleh Damar) sang suami di bagian belakang tubuhnya. Setelah itu, bisa diba
“Apa kau tahu? Aku terlihat seperti wanita murahan yang tergila-gila dengan hubungan ranjang.” Audrey mengeluhkan hal itu dengan ponsel menempel di telinganya. “Kau memang selalu punya pikiran tentang hubungan ranjang. Kau saja yang tidak pernah sadar.” Audrey langsung menggeram mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau sahabatnya malah terang-terangan mengejek seperti ini. Padahal, dia sedang ingin ditenangkan. Ingin diberi tahu kalau dirinya masih termasuk normal. “Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya fantasimu tidak seaneh itu juga. Kau kan tidak sampai mengikat suamimu dengan tali dan memukulnya kan?” Suara kembali terdengar lagi dari ponsel. “Tidak memukul, tapi menggunakan borgol.” “Apa kau pecinta BDSM?” Suara pekikan yang terdengar dari ponselnya, membuat Audrey refleks menjauh. Dia tidak ingin menjadi tuli, hanya karena mendengarkan sahabatnya yang berteriak-teriak tidak jelas di ujung
“AUDREY ALEXANDRA ALLEN.” Suara teriakan itu begitu membahana, bahkan rasanya bisa terdengar di seluruh penjuru rumah. Padahal yang empunya nama baru saja sampai dari kantor dan ingin mandi, tapi kini dia malah harus dihadapkan dengan pemilik suara. “Mbak? Ada apa ya?” Ibu Audrey yang memang ada di lantai bawah, menyambut tamu dengan suara menggelegar itu. “Ke mana anakmu yang kurang ajar itu? Sini biar aku kasih pelajaran.” Bukannya bicara baik-baik, sang tamu malah makin berteriak. “Bisa bicara dulu baik-baik kan, Mbak Lan?” Kini Carl yang muncul entah dari mana. “Bagaimana aku bisa bicara baik-baik, ketika anakmu menganiaya putraku.” Kening Carl berkerut mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak mendengar ada laporan yang masuk, perihal keributan di kantor atau apa pun yang disebutkan mantan adik iparnya itu. Ingin membela pun, rasanya dia tidak bisa karena belum mengerti betul duduk perkaranya. “Kenapa ribut sekali sih?” Audrey turun dari tangga dengan gerakan santai,
“Apakah aku harus mencantumkan tentang anak dalam kontraknya?” tanya Audrey dengan tatapan yang menerawang. “Lebih tepatnya seperti apa?” Damar balas bertanya dengan tatapan horor. “Kita punya satu anak saja dan setelah bercerai, hak asuhnya akan kuambil?” Audrey sama sekali tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Yang ada dia malah balas bertanya dan justru membuat Damar makin bertanya-tanya saja. Untungnya saja, sang asisten masih bisa berpikir dengan baik dan tidak melontarkan pertanyaan. “Menurut saya itu masih harus dipikirkan.” Pada akhirnya, Damar malah menasihati. “Anak bukanlah sesuatu yang sepele. Itu adalah tanggung jawab seumur hidup.” “Masa sih?” Kening Audrey berkerut mendengar suaminya itu. “Aku pernah merasakan bagaimana rasanya tidak punya orang tua, Re.” Begitu mendengar kalimat lelaki di depannya, Audrey langsung terdiam. Dia juga pernah mengalami hal yang serupa, walau tidak leb
“Damar. Sampai kapan getaran ponselmu akan mengganggu?” Mendengar hal itu, sang asisten segera mengambil benda pipih yang tadi dia letakkan di atas meja. Tak lupa, lelaki itu juga meminta maaf karena acara makan siang dengan salah satu influencer papan atas jadi terganggu. “Maaf.” Lelaki itu dengan cepat mematikan ponselnya yang tidak berhenti berdering. “Kenapa tidak diangkat saja dulu.” Influencer yang berjenis kelamin perempuan itu memberi kesempatan pada Damar. “Mungkin saja penting kan. Aku gak apa-apa kok.” “Saya merasa gak enak, Mbak. Silakan dilanjut saja diskusinya.” Sayang sekali, Damar tetap menolak. “Ya udah. Kalau aku disuruh orang ganteng mah, nurut aja.” Kedua alis Audrey langsung terangkat mendengar kalimat bernada menggoda itu. Padahal dirinya sudah repot-repot meluangkan waktu hanya untuk bertemu perempuan yang katanya terkenal di depannya, tapi perempuan yang dimaksud hanya menggombal saja. “Bisa kita teruskan diskusinya, Mbak Nana?” tanya Audrey dengan eksp
“Bagaimana menurutmu?” Audrey yang ditanyai, tidak langsung menjawab. Dia terlihat memperhatikan tablet yang dia pegang di tangannya, melakukan gerakan memperbesar dan memperkecil, untuk melihat beberapa detail. Setelahnya, barulah mengangguk pelan. “Boleh aku cukup suka dengan desain awalnya.” Felix nyaris saja meninju ke udara bebas karena design awal untuk lipstik yang dibuat sendiri oleh Audrey sudah mendapat persetujuan perempuan itu. Apalagi, dia melakukannya hanya dalam satu kali percobaan. “Jadi biar kujelaskan ulang.” Felix mendekat untuk menunjukkan beberapa detail. “Konsepnya adalah pensil. Bentuk case lipstiknya akan dibuat sedikit memanjang, tapi ramping. Akan ada gambar pensil di bagian luar case, untuk menunjukkan warna dari lipstik itu sendiri. Untuk kardusnya, aku membuat ilustrasi serupa buku. Memang agak lebar dibanding lipstiknya, tapi kurasa masih bisa diakali.” “Ya. Kurasa memang masih bisa diakali. Jadi tidak ada masalah sama sekali. Lanjutkan saja untuk