"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Emangnya kenapa kalau Boy makan oseng oncom? Kayak kalian nggak pernah makan aja! Jangan bilang emak kalian nggak pernah masak itu, ya! Sesama anak kampung aja belagu!" semprot Nava. Suara tawa Prima dan ketiga cewek itu berhenti, walaupun masih ada sisa-sisa sedikit. Namun, perkataan Nava sepertinya telak mengenai harga diri mereka. "Enak aja! Minimal mamaku masaknya steak dong, nggak kayak emaknya kamu!" balas cewek berambut pirang berapi-api. Matanya yang memakai kontak lensa abu-abu membuatnya tampak mengerikan ketika memelototi Nava. Sedangkan Prima hanya melipir duduk di bangku yang tak begitu jauh dari mereka. Dia sepertinya menyadari bahwa pertempuran itu khusus untuk Nava dan tiga cewek beringas itu. Hanya seringai pongah saja yang masih terulas di mulutnya."Alah! Gaya lu steak! Nggak mungkin 'kan tiap hari kamu makan steak?" cecar Nava. Sementara teman-teman sekelas kami yang lain sudah banyak yang datang dan rata-rata mereka mempertanyakan apa yang terjadi di antara kami
"Dia marah ya?" tanyaku pada Nava sambil menatap punggung Boy yang menjauh. “Kayaknya sih enggak, Ris. Tapi kalau doi marah, ya wajarlah. 'Kan ada yang nolak tawarannya pulang sama-sama. Udah dibilangin dia orangnya posesif. Sama kang ojek aja cemburu," kata Nava sambil nyengir kuda. "Jangan bikin berita hoax deh, Va. Orang cemburu buatan kok," kilahku dengan rahang yang dirapatkan. "Kalau ternyata beneran, gimana?" sambar Nava meledekku dengan suara tak kalah lirih dariku. “Taulah,” dengkusku lelah. "Tadi dia kayak enek banget denger ada yang nyebut namanya Cinta, 'kan? Posisi Cinta udah kegeser dong artinya," kata Nava sambil berdiri dan menyandang tasnya. "Terus?" timpalku keki. Ku ikuti Nava berdiri, sementara dari posisi kami berdiri, kami bisa melihat sosok Boy lewat jendela kaca. Dia sedang berdiri bersandar pada pilar dan melihat lurus-lurus ke arahku. Buru-buru ku alihkan pandangan mata ini ke Nava. "Menu
"Nasi goreng kampung?" kutip Boy penuh selidik. Agaknya dia bisa merasakan ada yang berbeda dari nada ucapanku barusan."Y... Ya. Nasi goreng cuma pakai bumbu seadanya, maksudku," terangku sekaligus untuk meralat cara bicaraku. Tak ada gunanya berlama-lama melankolis. Sedih boleh. Tapi putus asa? Jangan! "Emang itu sebutannya atau gimana?""Ya...", sahutku sebelum berlalu ke dapur."Biar aku bantu." Boy muncul di ambang pintu ruangan itu ketika aku sedang mengeluarkan bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas, serta beberapa cabai rawit dari kulkas. "Ng... Nggak usah. Aku... Bisa sendiri kok," tolakku halus. Lagipula, membayangkan kami berdua memasak bersama di dapur yang sempit ini... Belum apa-apa sudah membuatku gugup. "Kamu cuma mau aku liatin?" canda Boy.Itu lebih-lebih lagi!"Ka... Kamu tunggu aja di depan. Nggak apa-apa kok, " jawabku. Terang-terangan mengusir mahkluk tampan pengusik ketenangan hatiku itu. "Nggak mau. Aku mau di
"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya. Seorang suster menghampiri kami. "Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku. "Iya, Sus," jawabku. "Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu. Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari. Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengant
Ku saja biarkan Boy mendekapku erat, sehingga wajahku yang basah menempel di dadanya, meninggalkan jejak-jejak basah air mata di kausnya yang tak tertutup jaket. Ku biarkan pula tangan Boy mengusap-usap rambut hingga punggungku sementara aku tersengguk-sengguk semakin keras, justru di saat dia sedang berusaha menenangkanku begini. Seolah-olah kehadiran dan tindakannya itu pemicu tangisku, dan aku melampiaskan semua pada dirinya. Aku juga bingung kenapa aku malah begitu. Bukankah seharusnya aku langsung menarik kepalaku dan menjauhkan diri darinya? Kenapa malah semakin menyurukkan kepala dan tak menghentikan gerakan tangannya? Lalu... Kenapa nyaman begini rasanya? "Om nyuruh aku nyari kamu, Ris. Katanya, dia udah kangen rumah dan pengin cepet-cepet bisa makan masakan kamu lagi," ucap Boy sambil tetap mengurungku di dalam pelukannya. Karena dia memanggil Bapak, aku jadi panik. Bagaimana kalau Bapak tahu aku malah berpelukan dengan Boy di kala kondisi Bapak butuh perhatian ekstra s
Aku tertegun bingung mendengar alasan Bapak yang menurutku tak masuk akal sama sekali. Alasan macam apa itu? Hanya karena Boy orang kaya? Bapak minta dia mengantarku pulang kuliah setiap hari??? "Bapak serius? Tapi... Boy..." Aku tergagap, padahal banyak yang ingin aku ungkapkan kepada Bapak. "Bapak tau kok. Pasti kamu bakal ngebelain dia. Kayak sekarang ini. Dia istimewa 'kan buat kamu?" timpal Bapak meledekku. Spontan aku tertegun dengan muka yang terasa panas. Apa sih Bapak? Istimewa apanya! Jelas-jelas Boy masih suka pada Cinta. Mana mungkin aku berani menganggapnya istimewa? Aku bukan, dan tidak akan pernah sudi jadi seorang pelakor. "Tapi Pak. Bukan begitu. Aku sama Boy cuma temen, nggak lebih," bantahku. "Tapi nggak ada tapi-tapian, Ris. Bapak cuma mau nurutin amanat ibu kamu aja. Dia pernah bilang sama Bapak, nggak ada yang boleh nyakitin kamu. Bapak mesti menyeleksi ketat siapa aja yang mau berteman sama kamu. Apalagi lawan jenis kaya
"Makan yang banyak, Boy. Tumis pakis ini kesukaanku. Risa juga masaknya pinter. Dijamin enak pokoknya," kata Bapak sambil menyendok sedikit nasi dengan banyak sayur pakis dari piringnya."Ya, Om." Boy menjawab dengan dua kata andalannya. Sedangkan aku sedang sibuk memisahkan duri ikan nila dari dagingnya dengan tangan. "Kamu bilang-bilang sama orang tua kamu nggak sebelum ke sini? Soalnya kamu perginya subuh-subuh tadi," cetus Bapak. "Papa sama Mama masih di kamar, Om. Saya nggak mau ganggu mereka. Paling-paling nanti mereka tau sendiri, atau ada pembantu yang ngasih tau. Tadi saya udah nitip pesen sama Bi Konah kok," sahut Boy, terkesan acuh tak acuh."Ada-ada aja kamu. Pamitnya malah sama pembantu," komentar Bapak geli."Daripada nggak pamit sama sekali, Om," dalih Boy tanpa beban.Diam-diam aku memberanikan diri untuk melirik Boy. Namun, ekspresi wajahnya tampak datar-datar saja, tak ada yang bisa ku baca.Begitu selesai sarapan dan mencuci alat-alat makan di dapur dengan secepat