Share

Kebetulan

Penulis: 5Lluna
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-17 18:44:43

“Bagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?” Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung.

“Maaf, tapi siapa ini?” Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya.

“Ini aku Vanessa.” Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya.

“Jangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan.

Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini.

“Apa maksud kalimatmu itu?” Jovi tampak begitu terkejut.

“Kalimat yang mana yang kau maksud?” Vanessa balas bertanya.

“Tentu saja bagian yang cabul itu,” geram Jovi terdengar begitu kesal.

“Astaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?” Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin ingin marah-marah. “Sebelum kalimat itu, aku menanyakan tentang ibumu yang tiba-tiba datang ke rumahku.”

“Itu tidak mungkin.” Jovi langsung menampik. “Untuk apa pula dia datang ke rumahmu?”

“Dia meminta bertemu dengan orang tuaku, dan coba tebak apa yang dia katakan?”

Ada jeda sesaat setelah Vanessa memberikan pertanyaan. Jovi tentu saja perlu waktu sepersekian detik, untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Hal yang membuat sang dokter merasakan horor.

“Jangan katakan, kalau dia membicarakan pernikahan dengan orang tuamu?” tanya Jovi dengan nada tidak percaya.

“Rupanya kau masih punya otak, aku pikir kau dokter gadungan.” Vanessa tidak segan untuk memaki.

“Kau masih bisa memaki di saat seperti ini?” Entah bagaimana, Vanessa yakin Jovi tengah melotot setelah mengatakan hal barusan.

“Menurutmu?” Vanessa balik bertanya. “Bagaimana mungkin aku tidak memaki, ketika kau dan orang tuamu yang memulai semua ini?”

“Kenapa malah aku?” Jovi balas bertanya dengan nada yang sedikit lebih tinggi. “Ini kan semua bermula karena permintaan bodohmu, hanya karena takut kalah taruhan.”

“Tapi kan kau yang memberi ide untuk pura-pura.” Vanessa pun tidak mau kalah. “Lagi pula, kau juga sudah memanfaatkanku untuk memutuskan pacarmu. Aku tentu saja tidak mau rugi.”

Suasana tiba-tiba saja menjadi hening, setelah Vanessa berbicara. Tidak benar-benar hening karena ada suara geraman Jovi yang terdengar. Jelas saja lelaki itu merasa kesal, karena apa yang dikatakan Vanessa sangat masuk akal.

Sebenarnya, Jovi masih bisa membatah. Tapi itu juga tidak bisa dilakukan, karena pertemuan awal mereka jelas hanya sebuah kebetulan yang tidak masuk akal.

“Hei, Vanessa.”

Baru juga yang empunya nama ingin memaki Jovi lagi, tapi seseorang memanggil dengan nada yang cukup keras. Itu membuat Vanessa makin emosi, dan ingin memaki siapa pun yang memanggilnya barusan. Sayangnya, dia tidak bisa melakukannya.

“Apa yang kau lakukan di sana?” tanya seorang perempuan dengan pakaian rapi dan mata menyipit, memandangi Vanessa.

“Bu Meghan.” Vanessa memanggil dengan sungkan. Bukan sungkan karena menghormati perempuan itu, tapi karena malu kedapatan berteriak di telepon.

“Ngapain coba kamu seperti orang gila di depan kantor kita?” Meghan bertanya dengan nada dan ekspresi tidak suka.

“Saya sedang menelepon, Bu,” jawab Vanessa jujur, sambil memperlihatkan ponselnya. Kebetulan sambungan telepon itu masih tersambung.

Tentu saja Vanessa hanya memperlihatkan ponselnya sekejap saja. Biar bagaimana, nama yang tertulis di sana cukup memalukan.

“Semua orang juga tahu kalau kau menelepon.” Suara lain tiba-tiba saja terdengar. “Masalahnya, kau tampak seperti orang gila. Paling parah, kau melakukannya di depan kantormu.”

“Itu bukan urusanmu.” Vanessa langsung menghardik lelaki yang baru saja datang dan merangkul atasan langsungnya itu.

“Itu menjadi urusan Rocky, karena dia sekarang pacarku dan aku bekerja di tempat ini.” Meghan menunjuk gedung kantor mereka. “Lagi pula, aku ini bosmu.”

Vanessa mendengus pelan mendengar nada suara sombong itu. Padahal dua orang di depannya ini hanya tukang selingkuh saja, tapi sombongnya bukan main. Sayangnya, Vanessa tidak bisa memukul mereka karena masih butuh pekerjaan.

“Saya hanya bertengkar dengan pacar saya.” Pada akhirnya, Vanessa mengalah dengan membuat kebohongan. “Maaf kalau itu mengganggu.”

“Kau bilang apa?” tanya Rocky tampak begitu terkejut. “Kau sudah punya pacar baru?”

Sayang sekali, Vanessa enggan sekali menjawab mantan brengseknya itu. Dia lebih memilih untuk pamit masuk ke dalam kantor, karena sebentar lagi jam kantor akan dimulai dan Vanessa belum absen.

“Bagaimana bisa dia sudah punya pacar baru dengan tubuh dan sifat seperti itu.” Rocky masih mengeluh. “Dia sama sekali tidak sebanding dengan pacarku yang sekarang.”

“Kalau tidak sebanding, maka berhentilah memperhatikan dia.” Meghan menyikut perut kekasihnya dengan keras, sebelum mengikuti Vanessa masuk ke kantor.

Vanessa yang sudah duluan masuk, kini membanting tasnya ke atas meja yang dia tempati bekerja. Hal yang tentu saja membuat semua rekan kerjanya yang lain terlonjak, tapi enggan juga bertanya kenapa. Vanessa yang marah adalah berbahaya.

"Siapa lagi sih ini?" geram Vanessa ketika melihat ponselnya berkedip, lupa dengan panggilan telepon tadi.

Dengan gerakan malas, Vanessa mengambil ponselnya dan menatap pesan yang masuk. Dia bahkan sama sekali tidak peduli, ketika Meghan memelototinya dari meja kerjanya yang tepat berada di bagian ujung.

“Bu Meghan melotot padamu tuh.” Rekan kerja lelaki yang duduk di belakang Vanessa berbisik. “Dia kayaknya dendam banget deh, emang ada apa?

“Hari ini, bukankah kita akan mengunjungi rumah sakit?” Alih-alih menjawab, Vanessa malah balas bertanya.

“Ya.” Rekan kerja yang tadi mengangguk dengan sangat yakin, walau anggukan itu tidak bisa dilihat Vanessa “Katanya ada rumah sakit yang tertarik dengan program pendanaan dari bank kita. Hal yang sangat langka.”

“Rumah sakit yang mana?” tanya Vanessa lagi.

“Hospitalia. Rumah sakit umum, yang lebih terkenal dengan program kehamilannya itu.” Masih lelaki yang tadi yang berbicara.

Vanessa hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Dia masih saja membaca ulang pesan yang dikirim Jovi.

[Dokter Mesum: Kita perlu bicara. Kunjungi aku di Hospitalia antara jam sembilan pagi sampai jam tiga sore. Aku akan ada di IGD]

“Kenapa bisa kebetulan seperti ini?” gumam Vanessa dengan kening berkerut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My Bad Doctor   155. Akhirnya (TAMAT)

    "Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora

  • My Bad Doctor   154. Bukan Rahasia Lagi

    "Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia

  • My Bad Doctor   153. Hasil

    "Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d

  • My Bad Doctor   152. Melamar

    "Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it

  • My Bad Doctor   151. Gejala Hamil

    "Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir

  • My Bad Doctor   150. Gara-Gara Setan

    "Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status