Share

Kesialan yang hakiki

Seorang gadis bertubuh gembul menggemaskan tampak serius menyimak penjelasan guru Fisika di depan kelas. Gadis itu, berkali-kali tampak mencatat hal penting dari penjelasan guru ke bukunya. Namun sebuah lemparan kertas membuatnya terusik. Gadis itu pun menoleh ke belakang di mana seorang bocah menyebalkan tampak tersenyum ke arahnya. Senyuman yang benar-benar membuatnya kesal. Siapa lagi kalau bukan Liam. 

Dengan kode pria itu melirik ke arah lantai di mana kertas yang dia lempar jatuh. Meminta agar Putri membuka isinya. Gadis itu pun memungut kertas dan membukanya dengan kesal. 

Dan kini mata besarnya membulat sempurna, pasalnya Liam menulis hal menyebalkan di sana.

"❤️Hai gendut ❤️"

Plus dengan bentuk love yang digambar dengan buruk bagi Putri. Putri pun meremas kertas itu dengan kesal dan membuangnya ke tong sampah. Baru kali ini ada yang terang-terangan mengatakan dia gendut.

Pluk...

Lagi-lagi lemparan kertas membuatnya kembali menoleh ke belakang. Lirikan mata gadis itu tampak tajam menatap Liam yang tersenyum manis ke arahnya. Sungguh menyebalkan. 

Putri kembali memungut kertas dan membukanya. Sial. Kali ini jantungnya malah dibuat berdebar.

"❤️Hai gendut tapi cantik❤️"

Seulas senyum Putri tahan. Sungguh dia tak ingin terlihat bahagia membaca tulisan ini. Bisa-bisa Liam akan semakin besar kepala kalau melihatnya. Dan kini gadis itu merutuki hatinya yang mudah baper. Dengan gemas Putri meremas kertas dan kembali membuangnya ke tempat sampah.

Pluk...

Lagi-lagi lemparan kertas mendarat sempurna di tubuhnya. Kali ini benar-benar membuat Putri geram. Pasalnya dia tak bisa konsentrasi dalam menyimak penjelasan dari Pak Ilham.

Putri pun memungut kertas yang ada di lantai. Tapi kali ini berbeda. Gadis itu tidak membuka isi kertas melainkan melemparnya kembali ke arah Liam. Dan konyolnya Liam tertawa geli, karena aksinya membuat Pak Ilham yang sedang mengajar pun terusik.

"Liam, Putri! Kalian maju ke depan. Putri kerjakan soal nomor 1 dan Liam soal nomor 2," ucap Pak Ilham memerintah dua muridnya yang sejak tadi lempar-lemparan kertas. Hal itu sukses membuat Putri menatap tajam ke arah Liam. Gadis itu benar-benar kesal.

Putri pun maju ke depan white board. Gadis itu meraih spidol hitam untuk mulai mengerjakan soal yang ditulis oleh guru fisikanya. Beruntung gadis itu memiliki kecerdasan luar biasa, didukung dengan hobi membacanya. Membuatnya bukan kesulitan untuk mencari deretan angka pasti demi menyelesaikan soal tentang hukum Newton kali ini. Sedangkan Liam. Pria itu hanya membaca soal berulang-ulang tanpa ada niat menyoretkan spidol ke papan demi menyelesaikan soal. Jangankan menyelesaikan, memahami maksud soal pun tidak. Bukan karena bodoh Liam seperti ini, tapi karena bocah itu terlampau malas. Membuat Putri semakin ilfil padanya.

"Sudah selesai, Pak." Putri memberikan spidol yang dia gunakan kepada guru fisika yang duduk di kursinya. Guru fisika itu pun segera bangkit demi memastikan jawaban Putri. 

"Ya jawabannya benar," ucap Pak Ilham membuat hati Putri sangat lega. Gadis itu mengusap dadanya perlahan pertanda merasa aman.

"Saya tahu kamu memang pintar. Berkali-kali ikut kejuaraan olimpiade antar sekolah. Tapi bukan berarti di jam pelajaran kamu asik bermain-main seperti tadi." Ucapan Pak Ilham membuat Putri menundukkan kepalanya. Dia mengaku salah. Seandainya saja tadi dia tidak menanggapi Liam mungkin tidak akan seperti ini.

"Saya minta maaf, Pak." 

"Berdiri di pojok kelas!" Perintah Pak Ilham membuat Putri mundur untuk berdiri di pojok kelas. Sungguh Putri merasa kesal sekaligus malu. Pasalnya ini pertama kali menjadi pajangan kelas karena kesalahan yang diperbuat. Gadis itu terus menundukkan kepalanya. Berharap segala rasa malu tumpah ke lantai keramik yang akan menimbunnya. Sayangnya rasa malu terus bersarang dalam hati gadis itu.

"Liam, kamu dari tadi cuma baca soal. Belum ditulis jawabannya. Kenapa? Enggak bisa jawab?" Tanya Pak Ilham menahan kesal. Bocah yang satu ini memang selalu berbuat ulah. Kali ini memang tidak berbuat gaduh di kelas, tapi menggangu konsentrasi jam pelajaran dengan melempar kertas berkali-kali.

"Maaf, Pak. Bukan enggak bisa jawab, tapi engga tau jawabannya," ucapnya terkekeh tanpa dosa. Membuat Putri yang mendengar hal itu hanya bisa mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Sungguh jawaban Liam selalu saja begitu. Mengungkapkan hal yang sama dengan pertanyaan untuk sebuah penyangkalan. Dasar bocah aneh.

"Kalau kamu seperti ini terus, mau jadi apa kamu di masa depan? Belajar malas, buat ulah terus. Sekarang kamu berdiri di tengah lapangan." 

"Baik, Pak. Sama Putri kan, Pak?" Tanya Liam santai membuat Putri mengangkat wajahnya menatap bengis ke arah pria menyebalkan itu.

"Ya. Kalian berdua berdiri di tengah lapangan sampai jam pelajaran saya usai," ucap Pak Ilham.

"Lho Pak kok saya juga di lapangan sih? Kan saya bisa jawab soalnya," ucap Putri protes.

"Kamu tetap dihukum. Kamu pikir dengan bisa menjawab soal, kamu bisa lari dari hukuman?" Ucap Pak Ilham balik bertanya.

"Tapi, Pak..."

"Oke kalau kamu engga mau berdiri di tengah lapangan. Kamu harus buat surat pernyataan tidak akan mengulangi kesalahan yang ditandatangani oleh kedua orang tua kamu," ucap Pak Ilham memberikan pilihan.

Putri pun menoleh ke arah lapangan di mana matahari begitu setia memancarkan panasnya. Namun gadis itu jauh lebih tidak rela mengecewakan kedua orang tuanya. Sungguh lebih baik dia panas-panasan.

"Baik, Pak. Saya berdiri di tengah lapangan," ucap Putri melenggang ke luar kelas. 

Kini gadis itu berdiri di tengah lapangan dengan hati yang tak kalah panas dari matahari. Wajahnya mulai dipenuhi peluh. Bahkan kulitnya mulai memerah. Liam pun ikut berdiri di sisi Putri. Entah mengapa rasa bersalah bergelayut di hatinya. Putri ikut kena hukuman karena ulahnya padahal gadis itu terkenal sebagai gadis baik-baik di kelas. Sang juara kelas yang selalu terjaga attitude nya.

Berkali-kali Liam melirik ke arah Putri yang mengerucutkan bibirnya. Bahkan sesekali gadis itu mengusap matanya. Liam yakin di antara keringat yang mengalir, ada air mata yang tersisip di sana.

"Maafin aku ya, Put." Ungkapan Liam tak dijawab gadis itu.

"Put, jangan marah dong." Putri masih setia dengan kebisuannya.

"Put, aku minta maaf. Aku janji enggak akan ulangi ini lagi," ucap Liam.

"Kamu minta maaf pun percuma, Liam. Aku udah terlanjur ikut kena hukuman." Suara gadis itu terdengar pelan namun menusuk hati Liam. Gambaran suasana hati Putri yang benar-benar marah. Saat marah gadis itu lebih memilih untuk diam.

Melihat pakaian Putri yang mulai basah. Liam pun merasa kacau. Bagaimana tidak. Pakaian dalam Putri tercetak cukup jelas. Pria itu pun melepaskan jaketnya dan memakaikannya di bahu gadis itu.

Merasa ada yang menggantung di bahunya, Putri pun menatap area bahu di mana sebuah jaket jeans tergantung di sana. Rupanya Liam yang menggantungkannya. Tapi untuk apa pakai jaket di suasana panas dibawah guyuran sinar matahari yang membakar.

"Aku engga butuh jaket kamu," ucap Putri tanpa menatap Liam.

"Kamu emang enggak butuh. Tapi aku yang butuh kamu pakai jaket," ucap Liam membuat Putri akhirnya menatap pria itu. Tatapan bingung membuat wajah bulat putri yang memerah semakin menggemaskan bagi Liam.

"Maksud kamu?"

"Seragam kamu basah. Underware nya jelas keliatan warna pink kan?" Ucap Liam berbisik.

Wajah gadis itu pun semakin memerah karena malu. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera mengenakan jaket Liam demi melindungi asetnya yang berharga. Sungguh ini kesialan yang hakiki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status