Taka baru saja duduk setelah mengajar kelas 5C. Wajahnya masih sumringah karena hari ini mereka membuat maket lingkungan dari kardus bekas dan stik es krim. Salah satu murid bahkan bilang, “Pak, saya nggak sabar ke sekolah besok!”Tapi semangat itu runtuh saat Bu Sri, guru senior yang terkenal perfeksionis dan ketua kurikulum, datang menghampiri dengan senyum yang... terasa seperti ancaman.“Pak Taka, boleh sebentar ke ruang UKK (Unit Koordinasi Kurikulum)?”Taka mengangguk. “Tentu, Bu.”Di ruang UKK, sudah ada beberapa guru lain duduk. Suasananya mirip rapat RT yang diam-diam menilai tetangga baru.Bu Sri membuka map tebal. “Kami senang Pak Taka bersemangat. Tapi kami juga ingin mengingatkan bahwa Graha Eduka Prima itu sekolah unggulan. Ada standar. Ada sistem.”Taka mengangguk lagi. “Saya paham, Bu. Saya pastikan semua capaian tetap tercapai. Saya hanya menambahkan variasi pendekatan agar—”“—jangan terlalu bebas,” potong Bu Rina, guru matematika. “Anak-anak jadi manja. Mereka perlu
Keesokan Paginya – Aula Mini Graha Eduka PrimaTaka berdiri di depan papan tulis digital yang mengilap. Di depannya duduk sepuluh siswa kelas 5 SD dengan seragam rapi, wajah-wajah cerdas dan... tajam. Di sisi kiri aula, tiga pengamat duduk memperhatikan—Kepala Sekolah, Koordinator Kurikulum, dan seorang guru senior yang dikenal sangat kritis: Bu Ratna.Taka menarik napas. Waktu yang diberikan: 25 menit.“Selamat pagi semuanya.” Suaranya tegas tapi hangat.Beberapa anak hanya menatap tanpa ekspresi. Beberapa lain malah main pena.Taka tersenyum kecil.“Siapa yang hari ini makannya buru-buru karena takut telat sekolah?” tanyanya, sambil mengangkat tangannya sendiri.Satu anak, laki-laki berkacamata besar, tersenyum dan angkat tangan. Yang lain ikut-ikutan.“Siapa yang pengin pelajaran ini cepat selesai supaya bisa main Roblox?” lanjut Taka sambil mengangkat alis jahil.Beberapa anak tergelak. Satu anak cewek, dengan rambut dikuncir dua, malah nyeletuk, “Kok Bapak tahu?”“Karena aku juga
Bu Neneng diam sejenak, lalu menghela napas dalam.“Ayah anak saya nggak terlalu peduli soal pendidikan. Dia pikir les cuma buang-buang uang. Tapi waktu kamu datang dan sabar ngajarin, anak saya jadi semangat belajar. Saya... sebenarnya berharap kamu bisa terus jadi mentornya.”Taka menggigit bibir, perasaannya campur aduk.“Bu, saya juga sayang sama murid-murid saya. Tapi... sekarang saya harus ambil keputusan besar buat masa depan saya dan suami. Kami sedang merencanakan sesuatu yang penting.”Bu Neneng menatap Taka dengan sorot lebih lembut.“Kalau begitu, saya doakan yang terbaik. Tapi tolong... bantu saya satu kali lagi. Hari ini anak saya ada ulangan, dia panik banget dari tadi pagi.”Taka terdiam, lalu mengangguk perlahan.“Satu sesi terakhir, Bu. Saya bantu semampu saya.”---Malam Hari – Di RumahTaka pulang dengan langkah lesu, langsung duduk di lantai.Wisang keluar dari kamar, membawa segelas susu hangat.“Gimana?”Taka menatap kosong ke arah dinding.“Kayaknya aku nggak s
Taka berdiri di depan kompor, mencoba membalik telur ceplok dengan gaya chef profesional. Telurnya hancur. Lagi.Wisang muncul dari kamar mandi dengan rambut basah terikat seadanya.“Telurnya jadi orak-arik ya?”Taka menoleh cepat, mencoba menutupi hasil eksperimennya dengan tisu. “Enggak, ini... seni abstrak kuliner.”Wisang duduk di meja makan kecil, mengambil sisa roti dari kemarin. “Hari ini kamu ngajar lagi?”“Hmm,” gumam Taka sambil menyendok nasi. “Tapi nggak ke rumah Bu Neneng. Hari ini anaknya les online.”Wisang mengangkat alis. “Yang waktu itu lempar kamu pake Hulk?”Taka menunjuk bekas merah samar di pelipisnya. “Luka perang.”“Kenapa kamu mau sih terusin ngajarin dia?”Taka berhenti sebentar, lalu berkata pelan. “Karena aku tahu rasanya jadi anak kecil yang butuh dimengerti. Dan... karena honorannya lumayan buat beli sabun cair varian mahal.”Wisang tersenyum tipis. “Kamu tuh absurd, tapi hatinya benar.”Siang Hari – Di Ruang Tamu KecilTaka duduk menghadap laptop, kamera
Suara alarm dari HP Wisang meraung dari bawah bantal. Ia mengeluh, membalik badan sambil memeluk guling… yang ternyata adalah kaki Taka.“Wisang, alarm-mu udah kayak sirine ambulans. Bangun, hari pertama kamu ngajar privat anak Bu Neneng.”“Kenapa namanya Bu Neneng terdengar seperti karakter antagonis?” gumam Wisang tanpa membuka mata.Taka melempar bantal ke wajahnya. “Karena kamu punya trauma dengan ibu-ibu komplek.”“Karena mereka menyeramkan.”Wisang duduk berhadapan dengan anak laki-laki usia 9 tahun yang sedang memainkan pensil seperti lightsaber. Bu Neneng memperhatikan dari balik pintu.“Mas Wisang, anak saya ini memang agak sulit fokus. Tapi katanya dulu Mas pernah ngajar anak-anak korban trauma. Harusnya bisa, ya?”Wisang tersenyum canggung. “Tentu, Bu. Saya juga mantan korban—eh, maksud saya… mantan guru di tempat terapi.”Anak laki-laki itu menatap Wisang. “Kak, kamu bisa ngajarin matematika sambil cerita horor gak?”Wisang menghela napas panjang. “Ini akan jadi hari yang
Beberapa Bulan Setelah Kemenangan – Kota Cyradon BaruLangit kota metropolitan Cyradon Baru berwarna keemasan sore itu. Bangunan-bangunan tinggi berarsitektur futuristik berdiri berdampingan dengan reruntuhan yang kini dijadikan monumen peringatan perdamaian. Mobil terbang melintas di udara, dan layar hologram menampilkan berita utama: “Wisang Si Api dan Komandan Taka Resmi Pensiun dari Pasukan Gabungan”.Di balkon apartemen lantai 42, Taka menyeduh teh dari teko batu hitam warisan suku leluhur api. Rambutnya kini digelung sederhana, dan pakaian tempurnya tergantung rapi di balik lemari kaca. Ia mengenakan piyama linen abu muda, tampak tenang, meski pikirannya berkelana jauh.Dari dalam apartemen, suara tumit beradu dengan lantai terdengar ringan.“Lagi-lagi teh jam lima,” kata Wisang, muncul dengan rambut masih basah dan kaus lusuh. “Kau memang tak bisa dipisahkan dari tradisi perang, ya?”Taka menoleh dan tersenyum. “Tradisi itu... mengingatkanku padamu. Kita dulu selalu minum teh s