Suasana di sekolah terasa agak berbeda. Nara terlihat santai berjalan masuk ke ruang guru, sambil membawa tas besar berisi dokumen dan beberapa peralatan sekolah untuk anaknya, Deno.Di ruang guru, Wisang dan Taka sedang sibuk mempersiapkan materi kelas. Saat Nara masuk, mata beberapa guru langsung tertuju padanya, bisik-bisik kecil mulai terdengar.Nara tersenyum manis ke arah Wisang, tapi ada kilatan saingan di matanya.“Bu Wisang, kabar baik ya? Aku dengar kamu sekarang Wakil Kepala Sekolah. Keren! Anak-anak pasti beruntung punya ibu guru sekaligus wakil kepala yang perhatian seperti kamu.”Wisang mengangguk sopan. “Terima kasih, Bu Nara. Semoga bisa menjalankan tugas dengan baik.”Nara menatap Taka yang sedang menyiapkan laptopnya. “Tak, anakmu udah siap-siap ke sekolah? Aku nanti antar Deno, ya. Biar mereka bisa berteman.”Taka mengangguk pelan. “Iya, nanti kita atur jadwalnya.”Siang Hari – Kelas 1ANara berdiri di samping meja guru saat Deno masuk ke kelas. Beberapa anak menata
Senin Pagi – Rapat Mingguan GuruHari itu semua guru dikumpulkan untuk rapat mingguan. Topiknya: “Etika dan Profesionalisme dalam Lingkungan Kerja.”Waka Kesiswaan membuka sesi dengan berita mengejutkan.“Ada kabar bahwa beberapa guru kita menjalin hubungan pribadi yang lebih dari sekadar rekan kerja. Kami ingin mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme dan batasan.”Seluruh ruangan menjadi bisik-bisik penuh spekulasi.Taka dan Wisang, duduk berjauhan seperti biasa, tetap menunjukkan wajah tenang.Tapi di bawah meja, Bu Wisang mengetik pesan di HP-nya:"Kamu cerita ke siapa soal kita?”"Nggak cerita ke siapa-siapa. Tapi mereka pasti mulai curiga.”“Makanya, mendingan kita tetap rahasiain dulu aja, kan?"“Atau justru kita harus jujur aja. Biar nggak ada fitnah.”Setelah rapat bubar, mereka bertemu di ruang guru yang sedang sepi.“Tak, aku tahu kamu orang yang terbuka. Tapi hubungan kita ini... bukan hal yang harus diumumkan juga, kan?” kata Wisang pelan, sambil memeriksa map nila
Hari itu, geng 5C sedang mengintai dari balik jendela perpustakaan. Target mereka: Pak Dypram Mahessa.“Lihat deh, beliau lagi rapat, tapi...” bisik Laras sambil memegang kertas catatan operasi.“…beliau sering nengok ke HP, terus senyum-senyum sendiri,” tambah Putri.Adit menyipitkan mata. “Aku yakin, ada wanita misterius di balik senyuman itu.”Fino mengangguk bijak. “Bisa jadi... mantan cinta lama? Atau LDR? Atau janda beranak satu?”“Kenapa harus janda?” tanya Laras heran.“Drama lebih kuat,” jawab Fino mantap.Setelah Rapat – Koridor Sunyi, Lalu Tiba-Tiba...Pak Dypram keluar dari ruang rapat. HP-nya berdering. Ia menjawab sambil berjalan.“Iya... maaf, tadi masih rapat. Iya, hari Sabtu bisa. Nggak, aku nggak lupa. Aku udah simpan tanggalnya, kok.”Geng 5C menyandarkan diri ke dinding.“Catat. Hari Sabtu. Janjian,” ujar Laras.“Kayaknya bukan sama tukang servis AC, ya?” celetuk Putri.Adit memicingkan mata. “Mungkinkah... beliau punya kekasih?”“Dosa besar kalau kita nggak cari t
Saat Pulang SekolahLaras dan geng 5C sudah menyiapkan rencana tahap ketiga: Operasi Ngopi Berdua di Kantin.“Pak Taka suka kopi hitam. Bu Wisang suka teh tarik. Kalau kita bisa dudukin mereka di meja yang sama di kantin guru, terus tinggalin dua gelas itu di sana… BAM! Chemistry akan meledak!” ucap Laras penuh keyakinan seperti ahli strategi perang.Adit menyambar, “Tapi gimana caranya biar mereka duduk bareng tanpa curiga?”Putri mengangkat tangan, “Gampang. Suruh Pak Taka ke kantin buat ambil kue titipan anak-anak. Terus bilang ke Bu Wisang kalau ada guru yang mau konsultasi soal puisi di kantin.”---15 Menit Kemudian – Kantin GuruTaka masuk dengan langkah santai, dahi berkerut melihat ada teh tarik dan kopi hitam di meja kosong. Ia baru mau duduk saat—Wisang muncul dari pintu lain, juga tampak heran. “Pak Taka?”Mereka saling tatap. Lalu perlahan duduk.“Ini... ulah anak-anak lagi, ya?” ujar Wisang sambil tersenyum geli.Taka menyeruput kopi, pura-pura santai. “Mungkin. Tapi sa
Taka baru saja duduk setelah mengajar kelas 5C. Wajahnya masih sumringah karena hari ini mereka membuat maket lingkungan dari kardus bekas dan stik es krim. Salah satu murid bahkan bilang, “Pak, saya nggak sabar ke sekolah besok!”Tapi semangat itu runtuh saat Bu Sri, guru senior yang terkenal perfeksionis dan ketua kurikulum, datang menghampiri dengan senyum yang... terasa seperti ancaman.“Pak Taka, boleh sebentar ke ruang UKK (Unit Koordinasi Kurikulum)?”Taka mengangguk. “Tentu, Bu.”Di ruang UKK, sudah ada beberapa guru lain duduk. Suasananya mirip rapat RT yang diam-diam menilai tetangga baru.Bu Sri membuka map tebal. “Kami senang Pak Taka bersemangat. Tapi kami juga ingin mengingatkan bahwa Graha Eduka Prima itu sekolah unggulan. Ada standar. Ada sistem.”Taka mengangguk lagi. “Saya paham, Bu. Saya pastikan semua capaian tetap tercapai. Saya hanya menambahkan variasi pendekatan agar—”“—jangan terlalu bebas,” potong Bu Rina, guru matematika. “Anak-anak jadi manja. Mereka perlu
Keesokan Paginya – Aula Mini Graha Eduka PrimaTaka berdiri di depan papan tulis digital yang mengilap. Di depannya duduk sepuluh siswa kelas 5 SD dengan seragam rapi, wajah-wajah cerdas dan... tajam. Di sisi kiri aula, tiga pengamat duduk memperhatikan—Kepala Sekolah, Koordinator Kurikulum, dan seorang guru senior yang dikenal sangat kritis: Bu Ratna.Taka menarik napas. Waktu yang diberikan: 25 menit.“Selamat pagi semuanya.” Suaranya tegas tapi hangat.Beberapa anak hanya menatap tanpa ekspresi. Beberapa lain malah main pena.Taka tersenyum kecil.“Siapa yang hari ini makannya buru-buru karena takut telat sekolah?” tanyanya, sambil mengangkat tangannya sendiri.Satu anak, laki-laki berkacamata besar, tersenyum dan angkat tangan. Yang lain ikut-ikutan.“Siapa yang pengin pelajaran ini cepat selesai supaya bisa main Roblox?” lanjut Taka sambil mengangkat alis jahil.Beberapa anak tergelak. Satu anak cewek, dengan rambut dikuncir dua, malah nyeletuk, “Kok Bapak tahu?”“Karena aku juga