Share

Rumit

Nayaka menatap Bahana yang kini berbaring, menunggu lukanya untuk dibersihkan. Bahana menutup matanya dengan lengan. Entah menyembunyikan rasa sakit atau air mata. Nayaka tak berani mengungkitnya. Dengan pelan dia membersihkan luka itu. Belum kering sepenuhnya. Seperti luka hati Nayaka, belum kering karena ulah Doni, sekarang Sangka bahkan ikut menggarami. Perih.

Bahana sedang bergelut dengan perasaannya sendiri, menahan air mata yang mungkin saja meluruh tanpa dia sadari. Gama sudah mengetahui rahasia gelapnya, beruntung Gama menerima semuanya. Perlakuan Sangka masih menyisakan duka baginya. Sudah ditinggalkan, kini bahkan seolah dia tak direlakan untuk bahagia.

Nayaka mengangkat lengan Bahana, memperlihatkan mata yang memejam dengan terpaksa itu.

“Aku sudah selesai membersihkan lukamu. Jangan menangis,” bisik Nayaka seraya mengecup mata Bahana.

Entah perasaan apa yang menjalar, kini air mata itu mengalir tanpa bisa lagi dibendung. Nayaka yang melihat hal itu hanya bisa mengusapnya. Dia duduk di samping Bahana yang masih tak mau membuka mata.

“Lepaskan, bebaskan semuanya. Aku akan menunggu sampai kamu mengeluarkan semua perasaanmu,” desis Nayaka.

“Terima kasih.” Pada akhirnya Bahana membuka matanya, memerah.

Nayaka tersenyum. Menggelengkan kepalanya dan memeluk Bahana untuk menguatkan.

“Kita sudah sepakat bukan?” bisiknya. Bahana mengeratkan pelukannya. Merasakan hangat yang menjalari hatinya.

“Besok kontrol ke Rumah Sakit ya,” kata Nayaka sambil mengurai pelukannya dan Bahana mengangguk.

Nayaka membingkai wajah Bahana. Kemudian mengecup bibirnya.

“Kamu milikku.” Nayaka berstatement, membuat Bahana tersenyum.

Setidaknya mereka memahami luka masing-masing. Mengerti bagaimana saling menguatkan.

Bahana merengkuh Nayaka kembali dalam pelukannya, rasanya sangat bersyukur menemukan seseorang yang mengerti bagaimana memperlakukan rasa sakit orang lain tanpa menghakimi.

“Lepasin. Gak bisa napas,” desis Nayaka jengah. Karena pasti sewaktu-waktu Mbok Inah dan Raka masuk ke ruang tengah.

“Ehem.” Nah benar saja.

“Mbok ya kalau pelukan di kamar aja. Yang jomlo ngenes liatnya,” gerutu Raka membuat Bahana mencebik.

“Raka!” teriak Bahana kesal.

Sementara Nayaka tak berani menoleh. Sekarang pasti wajahnya sudah memerah karena malu.

“Apa sih, Mas?” tanya Raka tanpa rasa bersalah dan melenggang ke dapur.

“Huft, anak itu. Kita lanjutin di kamar?” goda Bahana membuat Nayaka semakin salah tingkah.

“Na!” kata Nayaka yang langsung pergi meninggalkan Bahana.

Bahana masih berbaring di sofa, kembali menghela napasnya berat. Perasaannya masih juga belum mengendap sepenuhnya bila berhubungan dengan Sangka. Masih saja getar aneh itu datang. Getar sakit dan juga rindu.

Bahana menggelengkan kepalanya. Ada Nayaka yang sekarang harus dia perhatikan.

Gama duduk berhadapan dengan Sangka di ruang tengah. Sangka tak berani menatap Gama yang terlihat menahan emosinya.

“Aku, akan membuat perjanjian hitam di atas putih untuk semua ini. Untuk sementara, sampai kamu bisa melepaskan semua perasaanmu terhadap Bahana, aku tidak akan lagi menyentuhmu.” Tatapan Gama tajam menusuk Sangka.

“Apa itu adil?” Sangka mencoba berkilah.

“Adil? Kamu membicarakan adil di sini? Gak salah?” salak Gama tak terima.

“Aku sudah melepasnya,” desis Sangka lirih.

“Melepas raganya, tapi bukan perasaanmu,” kata Gama membuat Sangka menundukkan wajahnya.

“Tanda tangani. Setelah itu lakukan seperti yang sudah tertulis di sana.” Gama mengangsurkan surat itu kepada Sangka.

Sangka membacanya dengan saksama, banyak pasal yang sesungguhnya mengungkung. Tapi ancaman Gama tak akan main-main.

“Siapa yang akan menemaniku ke mana-mana?”

“Joy, aku sudah memberitahu dia untuk pindah ke sini dan selalu siap untuk keperluanmu,” jawab Gama dingin.

“Aku tak menyukai gadis itu,” gumam Sangka, Joy adalah gadis yang taat dengan aturan atas pekerjaannya, dia tak akan bisa diajak kerja sama untuk mengelabuhi Gama.

“Apa kamu punya daya tawar di sini?” Gama kembali mengatakan posisinya yang semakin terpojok.

Sangka diam. Yang bisa dilakukannya hanya menuruti semua perkataan Gama.

Gama meninggalkan Sangka yang hanya bisa menggeram dalam diam. Dia kemudian menelepon Bahana.

“Lakukan pernikahan kalian minggu depan. Semakin cepat kalian pergi ke Lombok, semakin bagus untuk kita,” kata Gama memijat keningnya.

“Aku sedang tak ingin berbantah, Na.” Gama menahan emosinya.

“Aku akan mengurus venue. Di Four Season Jimbaran. Sekali lagi, tak ada bantahan.” Gama menutup teleponnya.

Bahana seketika menegakkan tubuhnya mendapat ultimatum dari Gama. Menghubungi Ratna untuk memastikan gaun yang mereka pesan bisa dikerjakan segera.

“Maaf ya, Rat, sangat mendesak,” ucap Bahana tak enak.

“Besok? Oke aku akan ke sana bersama Nayaka besok.” Bahana menghela napasnya lega.

Bahana mengetuk pintu kamar Nayaka.

“Ka,” panggil Bahana.

Dengan enggan Nayaka bangkit.

“Apa?” sungut Nayaka masih kesal.

“Masih ngambek? Sini peluk dulu,” kata Bahana merengkuh Nayaka ke dalam pelukannya.

“Ogah,” berontak Nayaka sambil mendorong Bahana menjauh.

Bahana terkekeh. Tapi tetap meraih tangan Nayaka dan menariknya.

“Aku ingin bicara serius, boleh aku masuk?” Bahana meminta ijin.

Nayaka menyingkir memberi jalan kepada Bahana. Bahana melangkah masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Memberi isyarat kepada Nayaka untuk duduk di sana.

Nayaka mendekat tapi memberi jarak. Karena Bahana sering kali mengusilinya.

“Gama meneleponku barusan. Dia ingin pernikahan kita dimajukan. Minggu depan,” papar Bahana membuat Nayaka terkesiap.

“Serius?” Seketika Nayaka didera rasa panik.

“Jangan panik. Kita akan menghubungi paman dan bibimu, besok. Lalu ke rumah sakit. Lalu fitting bajumu,” jelas Bahana membuat Nayaka semakin tak bisa berkata-kata.

“Kamu gila?” tanya Nayaka masih tak percaya.

“Aku serius.” Bahana menariknya mendekat. Memeluk Nayaka yang tak bereaksi karena terkejut.

“Ka.” Bahana mencoba mengembalikan kesadaran Nayaka.

Nayaka bergeming. Hatinya masih tak bisa menerima kabar yang didengarnya.

Bahana mengangkat dagu Nayaka, sehingga tatapan mereka bertemu.

“Jangan panik, tarik napasmu,” bisik Bahana tahu Nayaka sedang tak baik-baik saja.

“Ka.” Nayaka masih sibuk menata hatinya.

Tak sabar, Bahana kemudian mencium Nayaka. Seketika kesadaran Nayaka pulih, matanya melotot menatap Bahana yang juga menatapnya, lembut.

Bahana tak melepas ciumannya, ruang bernapas Nayaka sangat terbatas. Bahana kini bahkan meraih tengkuknya. Membuat ciuman mereka semakin dalam.

“Na, lepas,” erang Nayaka meminta jeda.

“Gak bisa napas,” ulang Nayaka saat Bahana tak melepasnya juga.

Akhirnya Bahana melepas bibir Nayaka yang kini berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Nayaka semakin kesal. Tapi Bahana malah semakin menggodanya. Langsung menutup mulut Bahana dengan tangannya.

“Beri aku jeda,” mohon Nayaka. Bahana mengangguk.

“Kenapa mendadak?” protes Nayaka kembali ke permasalahan mereka.

“Gama bilang, agar kita segera pergi dari Bali,” desis Bahana kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur.

Nayaka menatapnya masih tak percaya.

“Tapi ini sangat mendadak, kita bahkan belum bicara soal undangan dan--.” Bahana menarik Nayaka untuk berbaring di sampingnya.

“Diamlah, jangan panik. Semuanya, akan berjalan lancar.” Bahana memiringkan tubuhnya menghadap Nayaka yang diam. Tak ingin ikut bereaksi dengan ulah Bahana.

Tangan Bahana menyusuri rambut Nayaka, yang berusaha meredam degup jantungnya.

“Ka,” bisik Bahana. Nayaka bergeming. Takut jantungnya akan semakin berlompatan

Bahana menarik Nayaka sehingga pandangan mereka bertemu. Nayaka memejamkan matanya. Tak mau melihat mata Bahana. Karena dia tahu akan luruh.

Bahana tersenyum melihat reaksi Nayaka. Mulai menciumi wajahnya. Mulai dari kening, mata, lalu terakhir bibirnya. Nayaka semakin mengunci rapat. Tapi tak ayal sentuhan Bahana membuatnya lupa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status