Share

Jangan Membuatku Khawatir!

Naya sudah siap di dapur, memakan sarapannya. Sambil menunggu Bahana yang tak kunjung keluar.

“Non Ka, kenapa gelisah?” tanya Mbok Inah tahu Nayaka gelisah karena sesekali melirik arah kamar Bahana.

“Mau, Mbok aja yang bangunin Mas Bahana, apa Non Ka sendiri?” tawar Mbok Inah membuat Nayaka bangkit juga.

“Aku saja, Mbok.” Nayaka meninggalkan dapur.

Dia mengetuk pintu kamar Bahana pelan. Tak ada jawaban. Tak biasanya Bahana belum bangun di jam-jam ini. Sekali lagi dia mengetuk pintu. Tapi tak ada respons. Nayaka mulai cemas.

Dibukanya pintu dengan pelan. Terlihat Bahana sedang meringkuk di tempat tidur. Nayaka khawatir.

“Na?” tegur Nayaka. Tak ada balasan.

Nayaka menyentuh tubuh Bahana. Panas sekali. Tangannya sedang menekan perutnya. Saat Nayaka mengangkatnya, terlihat darah di sana.

“Na, ada apa?” teriak Nayaka panik.

Teriakan Nayaka membuat Mbok Inah dan Raka tergopoh-gopoh masuk.

“Kita ke Rumah Sakit, Mbak.” Raka kemudian mengangkat Bahana yang merintih kesakitan.

Nayaka mengikutinya dengan perasaan tak karuan. Apa yang terjadi?

“Mbak Ka, jaga Mas Bahana di belakang. Saya yang nyetir,” tegas Raka. Dia tahu Nayaka sedang dalam kondisi tak stabil.

“I’m okay, Ka,” desis Bahana lirih.

“Oke dari mana? Apa yang sudah kamu lakukan?” salak Nayaka tak terima.

“Aku, hanya jatuh tadi di kamar,” rintih Bahana.

“Kenapa gak minta tolong? Kenapa diam?” cecar Nayaka.

“Bisa diam, Ka?” pinta Bahana.

“Gak bisa. Kamu dah buat aku panik.” Nayaka menatap Bahana yang kini malah tersenyum.

“Lagian, Mas Bahana ngapain sih, masih belum melek terus kesandung?” ledek Raka.

“Jangan bawel,” elak Bahana.

Nayaka kemudian membuat Bahana menatapnya.

“Jangan pernah lakukan hal seperti ini lagi,” pintanya, Bahana mengangguk patuh dan tersenyum.

Nayaka melupakan mereka di mana dan ada siapa. Mengecup bibir lembut.

“Promise me,” desis Nayaka.

Raka berdehem melihat tingkah Nayaka yang seketika menyesali kebodohannya. Bahana menahan tawanya. Perutnya terasa perih. Sepertinya beberapa jahitan lepas.

“Katakan, kamu jatuh karena apa?” desak Nayaka.

“Aku tersandung, lalu terantuk pinggiran ranjang,” jawab Bahana lirih. Karena pasti Nayaka akan kembali mengomelinya.

Mereka tiba di rumah sakit, membuat omelan Nayaka tertunda.

Raka langsung membawa Bahana masuk ke IGD, sementara Nayaka mengekor.

Raka mengurus administrasi sementara Nayaka dengan cemas menunggu Bahana. Memang, hari ini jadwal kontrolnya, tapi bukan yang begini juga kondisinya.

Dokter memeriksa bagian perut Bahana.

“Ada beberapa jahitan dan luka yang terbuka. Kemungkinan panas karena reaksi dari infeksi luka masih belum bisa dipastikan, karena luka terbuka baru sehari. Bisa jadi karena ada masalah lain. Saya akan melakukan tes darah,” kata dokter.

“Lakukan yang terbaik,” jawab Nayaka.

“Kami akan membersihkan terlebih dahulu lukanya, kalau memang tak dalam, maka kami akan menjahitnya kembali di sini. Sambil menunggu hasil lab,” papar dokter itu lagi.

Lalu seorang perawat datang dan melakukan sesuai yang diperintah oleh dokter.

Nayaka menggenggam tangan Bahana erat. Dia khawatir. Bahana membalas genggaman itu memberi tanda jangan panik.

 “I’m okay,” kata Bahana membuat Nayaka mendelik ke arahnya.

“Lukanya, tidak dalam kok, kami akan menjahitnya lagi di sini,” kata perawat itu kemudian mengambil darah untuk keperluan lab. Kemudian mempersiapkan alat jahit.

“See?” kata Bahana malah membuat Nayaka semakin kesal.

“Oh ya, aku belum membatalkan janji ke Ratna,” lanjut Bahana membuat Nayaka semakin kesal.

“Jangan pikirkan hal yang gak penting. Sekali-kali pikirkan dirimu,” bentak Nayaka geram.

“Tap, Ka--.” Nayaka sudah menutup mulutnya dengan tangan. Tak menerima bantahan.

Akhirnya Bahana hanya bisa pasrah, tak ingin membuat Nayaka bertambah kesal dan panik.

Setengah jam kemudian hasil pemeriksaan darah datang, tidak ada yang serius. Kemungkinan, panas Bahana tinggi karena reaksi kaget dari kejadian yang menimpanya.

Nayaka terlihat lega.

“Kita pulang,” rengek Bahana.

“Apakah boleh pulang?” tanya Nayaka.

“Boleh, kami akan membawakan obat minum beserta peralatan untuk rawal luka, seminggu lagi, kontrol untuk lepas jahitan.”

“Seminggu lagi kami menikah, apa bisa dimajukan?” kata Bahana membuat Nayaka kesal.

“Oh, kalau begitu, bisa sesudahnya saja. Asal lukanya dirawat dengan baik,”

“Terima kasih,” kata Nayaka sambil mengangguk kepada perawat dan dokter yang menangani Bahana. Raka sudah mengurus administrasinya.

Sepanjang perjalanan pulang, Nayaka tak melepas tangan Bahana. Membuat Bahana tersenyum. Menyandarkan kepalanya di bahu Nayaka. Jantung Nayaka kembali berlompatan tak biasa. Sial. Dia masih saja bereaksi berlebihan terhadap Bahana.

“Jangan ke mana-mana,” rengek Bahana saat Nayaka melangkah pergi dari kamarnya.

“Mau ambilin makan,” sergah Nayaka.

“Biar diambilin Raka. Kamu di sini.” Bahana menggelengkan kepalanya.

“Aku panggil Mbok Inah,” kata Nayaka berdiri di depan pintu kamar, memanggil Mbok Inah.

“Mbok, tolong bawakan makan buat Bahana, ya,” kata Nayaka dengan lantang.

“Iya, Non,” jawab Mbok Inah dari arah dapur.

“Sini,” rengek Bahana.

Nayaka mendekat dengan wajah yang masih terlihat kesal kemudian duduk di samping Bahana.

“Ka, dekatan,” rengek Bahana persis anak kecil. Membuat Nayaka tak tega mengabaikannya.

“Jangan buat aku khawatir lagi,” desah Nayaka.

Tangannya menyentuh luka diperut Bahana yang kini menjadi luka baru.

“Iya, Ka. Aku pengen peluk,” kata Bahana membuat Nayaka memutar bola matanya,

Beruntung Mbok Inah masuk membawakan makanan. Sehingga Nayaka bisa mengabaikan rengekan Bahana.

“Makan dulu, setelah itu minum obat.” Nayaka menyuapi Bahana.

Setelah mengembalikan piring kotor, Nayaka kembali ke kamar Bahana yang kini tertidur. Dia mencium kening Bahana yang sudah reda panasnya. Tapi saat akan beranjak, tangan Bahana menahannya.

“Don’t leave me alone,” racau Bahana dalam tidurnya. Dia mengingau.

Nayaka tak tega meninggalkannya. Kemudian duduk di samping Bahana. Membelai paras laki-laki yang akhirnya membuat dia jatuh cinta, lagi. Ya, Nayaka akhirnya bisa memastikan dia mencintai pemilik mata yang sudah meluluhkannya itu.

Bahana membuka matanya, menatap Nayaka yang kini membeku, karena tangannya masih ada di wajah Bahana.

Bahana meraih tangan Nayaka dan menggenggamnya, menarik Nayaka ke dalam pelukannya.

“Be mine,” desis Bahana.

“I’m yours,” bisik Nayaka.

“Aku ingin memelukku saat tidur,” pinta Bahana membuat Nayaka mendesah.

“Ke mana?” tanya Bahana saat Nayaka bangkit.

“Tutup pintu,” kata Nayaka memutar matanya.

Bahana tersenyum. Menunggu dengan sabar. Kemudian berbalik dan berbaring di samping Bahana. Memiringkan tubuhnya, sehingga pandangan mereka bertemu.

“Tidurlah. Nanti aku bangunan pas makan malam,” bisik Nayaka sambil membelai wajah Bahana.

Bahana menurut, memejamkan matanya sambil menghirup wangi Nayaka dalam-dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status