Naya sudah siap di dapur, memakan sarapannya. Sambil menunggu Bahana yang tak kunjung keluar.
“Non Ka, kenapa gelisah?” tanya Mbok Inah tahu Nayaka gelisah karena sesekali melirik arah kamar Bahana.
“Mau, Mbok aja yang bangunin Mas Bahana, apa Non Ka sendiri?” tawar Mbok Inah membuat Nayaka bangkit juga.
“Aku saja, Mbok.” Nayaka meninggalkan dapur.
Dia mengetuk pintu kamar Bahana pelan. Tak ada jawaban. Tak biasanya Bahana belum bangun di jam-jam ini. Sekali lagi dia mengetuk pintu. Tapi tak ada respons. Nayaka mulai cemas.
Dibukanya pintu dengan pelan. Terlihat Bahana sedang meringkuk di tempat tidur. Nayaka khawatir.
“Na?” tegur Nayaka. Tak ada balasan.
Nayaka menyentuh tubuh Bahana. Panas sekali. Tangannya sedang menekan perutnya. Saat Nayaka mengangkatnya, terlihat darah di sana.
“Na, ada apa?” teriak Nayaka panik.
Teriakan Nayaka membuat Mbok Inah dan Raka tergopoh-gopoh masuk.
“Kita ke Rumah Sakit, Mbak.” Raka kemudian mengangkat Bahana yang merintih kesakitan.
Nayaka mengikutinya dengan perasaan tak karuan. Apa yang terjadi?
“Mbak Ka, jaga Mas Bahana di belakang. Saya yang nyetir,” tegas Raka. Dia tahu Nayaka sedang dalam kondisi tak stabil.
“I’m okay, Ka,” desis Bahana lirih.
“Oke dari mana? Apa yang sudah kamu lakukan?” salak Nayaka tak terima.
“Aku, hanya jatuh tadi di kamar,” rintih Bahana.
“Kenapa gak minta tolong? Kenapa diam?” cecar Nayaka.
“Bisa diam, Ka?” pinta Bahana.
“Gak bisa. Kamu dah buat aku panik.” Nayaka menatap Bahana yang kini malah tersenyum.
“Lagian, Mas Bahana ngapain sih, masih belum melek terus kesandung?” ledek Raka.
“Jangan bawel,” elak Bahana.
Nayaka kemudian membuat Bahana menatapnya.
“Jangan pernah lakukan hal seperti ini lagi,” pintanya, Bahana mengangguk patuh dan tersenyum.
Nayaka melupakan mereka di mana dan ada siapa. Mengecup bibir lembut.
“Promise me,” desis Nayaka.
Raka berdehem melihat tingkah Nayaka yang seketika menyesali kebodohannya. Bahana menahan tawanya. Perutnya terasa perih. Sepertinya beberapa jahitan lepas.
“Katakan, kamu jatuh karena apa?” desak Nayaka.
“Aku tersandung, lalu terantuk pinggiran ranjang,” jawab Bahana lirih. Karena pasti Nayaka akan kembali mengomelinya.
Mereka tiba di rumah sakit, membuat omelan Nayaka tertunda.
Raka langsung membawa Bahana masuk ke IGD, sementara Nayaka mengekor.
Raka mengurus administrasi sementara Nayaka dengan cemas menunggu Bahana. Memang, hari ini jadwal kontrolnya, tapi bukan yang begini juga kondisinya.
Dokter memeriksa bagian perut Bahana.
“Ada beberapa jahitan dan luka yang terbuka. Kemungkinan panas karena reaksi dari infeksi luka masih belum bisa dipastikan, karena luka terbuka baru sehari. Bisa jadi karena ada masalah lain. Saya akan melakukan tes darah,” kata dokter.
“Lakukan yang terbaik,” jawab Nayaka.
“Kami akan membersihkan terlebih dahulu lukanya, kalau memang tak dalam, maka kami akan menjahitnya kembali di sini. Sambil menunggu hasil lab,” papar dokter itu lagi.
Lalu seorang perawat datang dan melakukan sesuai yang diperintah oleh dokter.
Nayaka menggenggam tangan Bahana erat. Dia khawatir. Bahana membalas genggaman itu memberi tanda jangan panik.
“I’m okay,” kata Bahana membuat Nayaka mendelik ke arahnya.
“Lukanya, tidak dalam kok, kami akan menjahitnya lagi di sini,” kata perawat itu kemudian mengambil darah untuk keperluan lab. Kemudian mempersiapkan alat jahit.
“See?” kata Bahana malah membuat Nayaka semakin kesal.
“Oh ya, aku belum membatalkan janji ke Ratna,” lanjut Bahana membuat Nayaka semakin kesal.
“Jangan pikirkan hal yang gak penting. Sekali-kali pikirkan dirimu,” bentak Nayaka geram.
“Tap, Ka--.” Nayaka sudah menutup mulutnya dengan tangan. Tak menerima bantahan.
Akhirnya Bahana hanya bisa pasrah, tak ingin membuat Nayaka bertambah kesal dan panik.
Setengah jam kemudian hasil pemeriksaan darah datang, tidak ada yang serius. Kemungkinan, panas Bahana tinggi karena reaksi kaget dari kejadian yang menimpanya.
Nayaka terlihat lega.
“Kita pulang,” rengek Bahana.
“Apakah boleh pulang?” tanya Nayaka.
“Boleh, kami akan membawakan obat minum beserta peralatan untuk rawal luka, seminggu lagi, kontrol untuk lepas jahitan.”
“Seminggu lagi kami menikah, apa bisa dimajukan?” kata Bahana membuat Nayaka kesal.
“Oh, kalau begitu, bisa sesudahnya saja. Asal lukanya dirawat dengan baik,”
“Terima kasih,” kata Nayaka sambil mengangguk kepada perawat dan dokter yang menangani Bahana. Raka sudah mengurus administrasinya.
Sepanjang perjalanan pulang, Nayaka tak melepas tangan Bahana. Membuat Bahana tersenyum. Menyandarkan kepalanya di bahu Nayaka. Jantung Nayaka kembali berlompatan tak biasa. Sial. Dia masih saja bereaksi berlebihan terhadap Bahana.
“Jangan ke mana-mana,” rengek Bahana saat Nayaka melangkah pergi dari kamarnya.
“Mau ambilin makan,” sergah Nayaka.
“Biar diambilin Raka. Kamu di sini.” Bahana menggelengkan kepalanya.
“Aku panggil Mbok Inah,” kata Nayaka berdiri di depan pintu kamar, memanggil Mbok Inah.
“Mbok, tolong bawakan makan buat Bahana, ya,” kata Nayaka dengan lantang.
“Iya, Non,” jawab Mbok Inah dari arah dapur.
“Sini,” rengek Bahana.
Nayaka mendekat dengan wajah yang masih terlihat kesal kemudian duduk di samping Bahana.
“Ka, dekatan,” rengek Bahana persis anak kecil. Membuat Nayaka tak tega mengabaikannya.
“Jangan buat aku khawatir lagi,” desah Nayaka.
Tangannya menyentuh luka diperut Bahana yang kini menjadi luka baru.
“Iya, Ka. Aku pengen peluk,” kata Bahana membuat Nayaka memutar bola matanya,
Beruntung Mbok Inah masuk membawakan makanan. Sehingga Nayaka bisa mengabaikan rengekan Bahana.
“Makan dulu, setelah itu minum obat.” Nayaka menyuapi Bahana.
Setelah mengembalikan piring kotor, Nayaka kembali ke kamar Bahana yang kini tertidur. Dia mencium kening Bahana yang sudah reda panasnya. Tapi saat akan beranjak, tangan Bahana menahannya.
“Don’t leave me alone,” racau Bahana dalam tidurnya. Dia mengingau.
Nayaka tak tega meninggalkannya. Kemudian duduk di samping Bahana. Membelai paras laki-laki yang akhirnya membuat dia jatuh cinta, lagi. Ya, Nayaka akhirnya bisa memastikan dia mencintai pemilik mata yang sudah meluluhkannya itu.
Bahana membuka matanya, menatap Nayaka yang kini membeku, karena tangannya masih ada di wajah Bahana.
Bahana meraih tangan Nayaka dan menggenggamnya, menarik Nayaka ke dalam pelukannya.
“Be mine,” desis Bahana.
“I’m yours,” bisik Nayaka.
“Aku ingin memelukku saat tidur,” pinta Bahana membuat Nayaka mendesah.
“Ke mana?” tanya Bahana saat Nayaka bangkit.
“Tutup pintu,” kata Nayaka memutar matanya.
Bahana tersenyum. Menunggu dengan sabar. Kemudian berbalik dan berbaring di samping Bahana. Memiringkan tubuhnya, sehingga pandangan mereka bertemu.
“Tidurlah. Nanti aku bangunan pas makan malam,” bisik Nayaka sambil membelai wajah Bahana.
Bahana menurut, memejamkan matanya sambil menghirup wangi Nayaka dalam-dalam.
Nayaka tak bisa memejamkan matanya, melihat Bahana mendengkur halus di sampingnya, membuatnya masih tak percaya, laki-laki ini akan menjadi suaminya beberapa hari ke depan.Nayaka mengusap wajah Bahana dengan jemarinya, menyusuri setiap lekuknya, mensyukuri setiap pahatan Tuhan di sana. Garis wajah yang tegas, dengan kulit bersih, sungguh perpaduan yang memabukkan.Nayaka masih tak percaya Bahana menyerahkan diri untuk menikahinya. Bahana bisa mendapatkan perempuan cantik mana pun yang dia inginkan, tapi, Bahana malah memilihnya. Nayaka, perempuan yang mungkin biasa saja.Saat tangan Nayaka menyusuri bibir Bahana, dia tak tahan untuk tak mengusapnya. Bibir tipis yang sudah dia kecup entah berapa kali belakangan ini. Tanpa sadar, Nayaka menciumnya. Merasakan manisnya. Kemudian tersenyum saat Bahana menggeliat dalam tidurnya.“Jangan pergi,” gumam Bahana dalam tidurnya sambil memeluk Nayaka erat.“Aku menginginkanmu,” lanjut B
Nayaka sangat gugup, saat Ratna datang ke kamar hotelnya, membawakan gaun pengantin, dia malah terpaku dan tak percaya bahwa ini adalah harinya.Nari dan Ratna membantu Nayaka memakai gaunnya. Nayaka sudah berias sendiri.Sementara Bahana berjalan mondar-mandir di depan Gama.“Tenang, Na,” gumam Gama malas melihat Bahana gelisah.“Aku akan menikah,” desis Bahana tak sabar.“I know. Calm down.” Gama menepuk pundak Bahana.Nayaka keluar kamar dibimbing oleh Paman yang menggenggam erat tangannya.Bahana terpaku, Nayaka benar-benar memesona. Membuatnya tak bisa berkata-kata.Saat Paman menyerahkan tangan Nayaka padanya, Bahana menerimanya dengan lembut, mengecup punggung tangan Nayaka dan memberinya senyum yang membuat Nayaka harus menahan napas.Ikrar sehidup semati mereka terucap. Bahana tak henti menatap Nayaka yang jengah di hadapannya.“Selamat, jaga hubungan kal
Nayaka memejamkan matanya saat Bahana meletakkannya di ranjang. Ingin rasanya dia berlari.“Ka,” bisik Bahana yang kini berbaring di samping Nayaka.“Hm,” balas Nayaka tanpa membuka matanya.“Tatap aku,” bisik Bahana.Nayaka bergeming, sampai akhirnya, Bahana memiringkan tubuhnya. Melumat bibirnya yang sedari tadi berdiam.“Na,” desis Nayaka saat Bahana memberinya jeda untuk bernapas setelah lumatan demi lumatan di bibirnya.“You know that, I want you so badly,” bisik Bahana disela deru napasnya yang memburu.Akhirnya, mau tak mau Nayaka membuka matanya, menelusuri wajah Bahana dengan jarinya. Ini waktunya, menikmati ciptaan Tuhan yang sempurna ini, hanya untuk dirinya sendiri.“You know that, I want you so badly, too,” gumam Nayaka lalu mencium bibir Bahana dengan lembut.Bahana tersenyum, merespons ciuman itu dengan penuh hasrat.
Sangka menyesap tehnya pagi ini. Sendirian. Di meja makan. Joy menunggu dengan posisi tegap di sebelah kanannya. Kemarin, hari pernikahan Bahana, Gama mengurungnya di rumah. Memastikan dia tak melangkah keluar dari pintu. Sekarang, Gama bahkan belum bangun. Dia tidur di kamar tamu sejak kejadian di rumah Bahana waktu itu.“Aku ingin pergi keluar hari ini.” Sangka menatap Joy, tapi gadis itu tak terintimidasi sama sekali.“Kata Mas Gama, hari ini, Anda belum boleh keluar rumah,” kata Joy masih dengan posisinya yang berdiri tegap.“Sampai kapan? Aku tak akan mengacau,” desis Sangka geram karena tak bisa melabrak wanita yang sudah menjadi istri Bahana sekarang.Hatinya sangat sakit mengingat hal itu. Kini, tak ada lagi kesempatan untuk mendekati Bahana, untuk meluapkan perasaannya. Sudah satu tahun dia memendam semua kerinduannya, dan kini saat dia ingin menuntaskannya, Bahana sudah meninggalkannya. Ralat, Bahana
Sangka berjalan mondar-mandir di kamarnya. Jarinya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tak sabar.[Kamu yakin?]Balasan yang dia tunggu dari Binar, sahabatnya.[Aku harus bagaimana?][Kalau aku jadi kamu. Aku terima saja Gama. Apa sih yang kamu cari dari Bahana?][Ini tentang rasa dikalahkan][Dikalahkan oleh siapa? Kamu sudah memilih Gama. Lagian, jika kamu pergi dari Gama dan lari ke Bahana, apa dia akan melihatmu lagi?]Sangka mendengkus. Binar benar. Bahana bahkan kini berani mencintai wanita lain.Joy mengetuk pintu kamar Sangka. Ini sudah waktunya makan.“Mbak, Mas Gama sudah menunggu di meja makan,” kata Joy dari luar kamar.“Aku tak ingin makan.” Sangka sedang tak ingin berhadapan dengan Gama untuk sekarang.“Mas Gama memaksa,” kata Joy tanpa beranjak dari tempatnya.Sangka membuka pintu dengan kesal. Berjalan meninggalkan Joy yang kemudian mengikutinya.Gama sudah duduk d
Sangka sudah bersiap untuk keluar rumah. Dia menunggu Gama selesai dengan sarapannya. Dia tak ingin membuat Gama semakin kesal. Mulai sekarang, dia harus bisa bermain cantik.Posisinya harus tetap aman, tapi juga bisa menjangkau Bahana dan menghancurkan pernikahan itu.Joy menunggu di depan pintu kamar Sangka dengan sabar. Setelah mengikuti Nyonyanya itu selama beberapa belakangan, membuat Joy tahu harus bagaimana bersikap dengan sifat Sangka.“Aku akan bertemu temanku, aku perlu ruang untuk pribadi, apa kamu akan mengekoriku?” tanya Sangka tak suka dengan kehadiran gadis itu.“Saya hanya mengikuti perintah,” jawab Joy datar.“Terserah saja. Aku ingin kamu berada dalam jarak tertentu,” kata Sangka menyerah untuk mengenyahkannya.Joy menyetir mobil Sangka menuju sebuah kafe di daerah Seminyak. Mereka saling berdiam sepanjang jalan. Tak ada basa-basi yang harus dilempar jika Joy sedang bertugas mengawal wanita yang dudu
Nayaka melihat isi kulkas, memastikan ada sesuatu yang bisa dia masak untuk siang ini.“Non mau masak apa?” tanya Mbok Ijah membantu Nayaka menyiapkan bahan.“Masak pasta saja ya, Mbok. Lagi malas masak ribet ya,” kata Nayaka disambut oleh tawa Mbok Ijah.“Non, kan bisa minta Mbok yang masak,” kata Mbok Ijah.“Sesekali, Mbok,” desis Nayaka.Gilang yang mendapat perintah untuk ke Lombok, mendampingi Bahana gegas menyiapkan semua persiapannya. Bahana adalah atasannya saat dia masih masuk di kantor ini. Jadi dia tahu harus bagaimana menghadapinya nanti.“Jaga dia untukku, Lang,” kata Gama sambil menyandarkan tubuhnya di pintu ruangan Gilang.“Apa yang, Mas Gama takutkan?” tanya Gilang merasa Gama sangat khawatir tentang adiknya itu.“Semuanya,” gumam Gama menutup matanya.“Aku akan memperhatikannya, Mas,” kata Gilang sambil menepuk pundak Gama.Gama benar-benar tak ingin Bahana kenapa-kenapa. Sangka akan dia atasi. Tapi masalah lain, dia tak bisa mengawasi
“Kamu mau menunggu di sini?” tanya Bahana setelah Raka berangkat menjemput Gilang ke bandara.“Boleh?” tanya Nayaka ragu.“Kamu, duduk saja di sana. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku secepatnya,” kata Bahana gemas.Bagaimana bisa Nayaka bertanya boleh menunggunya di sana, tentu saja boleh. Bahana sangat senang bisa terus melihat wajah istrinya itu langsung.Nayaka mulai memainkan ponselnya, mencoba tidak mengganggu Bahana dengan menyibukkan dirinya sendiri.Nares memutar handle pintu ruangan Bahana karena mendengar kabar kalau Raka sudah pulang, dia berasumsi maka Nayaka juga sudah pergi.“Maaf,” kata Nares terkejut, karena Nayaka masih duduk manis di sana, kini bahkan menatapnya tajam.“Di mana sopan santunmu? Masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu?” geram Bahana.“Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak masih di sini,” kata Nares gugup.“Akan lebih mencurigakan kalau kamu masuk ke sini saat aku tak ada,” kata Bahana membuat Nares mati langkah.“A