Share

Bab 4

Bara pulang ke rumah dengan senyuman yang tidak memudar di wajahnya. Dia masuk ke dalam rumah dengan bersenandung sambil memainkan kunci mobil di jarinya.

"Selamat sore mamaku sayang,"panggil Bara ketika melewati ruang tamu.

Andrea dan Azka yang sedang berbisik menghentikan pembicaraan mereka dengan melirik Bara bersamaan. Bara menaikkan kedua alis matanya menatap curiga kepada mereka. Lalu, pria itu menyipitkan mata, hatinya yang tadinya berbunga-bunga lenyap seketika.

"Ada apa?"tanya Bara sangat penasaran.

"Kamu pulang bahagia sekali, apakah kamu senang dengan tempat kerja barumu?" Andrea menjawab pertanyaan Bara dengan pertanyaan lagi.

Seketika Bara melupakan kecurigaannya kepada kedua orangtuanya.

"Sangat menyenangkan, aku disambut dengan penuh ceria di sana. Bahkan, mereka sangat sopan kepadaku."

Di dalam hati Bara berkata." Tidak semuanya! Ada satu karyawan yang secara terang-terangan melawanku. Gadis bertubuh mungil tapi nyalinya tidak sependek ukuran tubuhnya." Bara menghela napas  frustasi.

"Syukurlah kalau seperti itu, papa senang mendengarnya. Tadi pagi, kami sedikit khawatir karena bagaimana  pun juga Pak Egit sangat disenangi oleh semua karyawannya. Papa takut kamu menerima perlakuan buruk, terlebih kamu yang minim pengalaman ini,"sela Azka menjelaskan kekhawatirannya.

"Papa sebenarnya memberi perhatian atau hanya ingin mengolokku,"ucap Bara merasa terhantam hulu hatinya. Kalimat terkahir Azka yang mengatakan dia tidak berpengalaman itu sangat tidak enak di dengar.

"Kan, memang seperti itu kenyataannya, memang kamu punya pengalam apa?"tanya Andrea menyela.

Bara mendengus."Ma, jangan mulai lagi."

"Duduk di sini! Mama ingin berbicara secara serius dan tidak ada sedikitpun bercanda kepadamu,"kata Andrea melanjutkan.

Bara melirik Azka, papanya itu hanya mengangguk sekali. Kalau sudah seperti ini berarti mamanya benar-benar ingin berbicara serius. Bara mengambil duduk di depan kedua orangtuanya.

"Kami berdua sudah memutuskan lebih baik kamu kami jodohkan daripada hidupmu tidak punya arah seperti ini,"ucap Andrea begitu enteng sampai Bara sesak napas mendengarnya.

Sekali lagi Bara mendengus."Ya Tuhan mama! Apa-apaan dengan semua ini. Baru saja mama dan papa memintaku bekerja di perusahaan papa. Padahal aku ingin bekerja di luar negeri, ya..walaupun aku tidak menyesali nya. Bahkan, belum sempat dua puluh empat jam berlalu. Mama kembaki meminta padaku untuk menikah."

"Belum menikah, mungkin pengenalan saja dulu lebih tepatnya,"sela Andrea meluruskan maksudnya.

"Sama saja mama, memangnya kalau sudah bertemu, perkenalan dan jodoh-menjodohkan pasti ujung-ujungnya menikah, kan?"

"Kalau kamu ingin segera menikah pun juga mama nggak nolak."

Bara mengusap wajahnya nampak sudah menyerah dengan keinginan terbesar mamanya.

"Mama nggak punya cita-cita lain selain memaksaku menikah? Kalau mama ngebet sekali punya cucu minta sama Cherea, dari tampangnya dia pasti semangat sekali memberikan mama puluhan pasang cucu,"ucap Bara tertahan, karena dia takut mamanya akan mulai mereog.

"Lah, kenapa aku yang bang Bara bawa-bawa,"sela Cherea di balik tubuh Bara.

"Sore mama dan papa,"sapa Cherea memeluk keduanya secara bergantian.

Ketika Bara mulai merentangkan tangan untuk memeluk Cherea. Gadis itu adalah adik kesayangan Bara, Cherea sama sekali tidak memperdulikan Bara.

"Kamu tidak mau memelukku?"tanya Bara menantang.

"Nggak, abang bau,"jawab Cherea memeluk Azka.

"Diam dulu Rea, mama harus tuntaskan permasalahan abang mu hari ini jug,"sela Andrea lagi.

Bara menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa lelah. Dia pikir mamanya sudah mulai lupa dengan topik permasalahan tadi.

"Atau begini saja Bara, anakku sayang,"ucap Andrea melanjutkan.

"Ma,"sel Bara cepat.

"Mama jangan memanggilku seperti itu, aku merinding dan perasaanku semakin diaduk-aduk."

Cherea tertawa mengejek di dalam pelukan Azka.

"Atau kita membuat janji ke salah satu ustad bagaimana?"

Andrea sepertinya tidak memperdulikan wajah Bara yang mulai berubah-ubah. Mulai dari wajah bingung, kesal, pasrah, lalu menggelikan dan kembali bingung lagi.

"Ustad untuk?"tanya Bara lembut.

"Untuk apalagi kalau bukan meruqyah kamu. Mama yakin kamu diberi sihir penghalang jodoh."

"Mama!"seru Bara tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.

Sedangkan Cherea  dan Azka menahan tawa mereka melihat wajah Bara yang sudah menyerah.

"Papa jangan tertawa saja, tolong bantu aku meluruskan kepada mama."

Azka mengedikan bahu."Papa sudah berusaha, tetapi mama mu yang selalu menjadi pemenangnya,"jawab Azka yang tidak ingin disalahkan.

"Kamu maunya apa Bara? Dijodohkan tidak, ruqyah pun juga tidak mau. Mama bingung,"

Bara merasa tengkuknya mulai berat, kepalanya sudah mulai berkunang-kunang. Semakin lama dia mendengarkan perkataan mamanya, pria itu yakin dia akan pingsan beberapa saat lagi.

"Mama takut,"kata Andrea melanjutkan.

"Takut apa?"tanya Bara.

"Takut kalau kamu..hm..kalau kamu tidak tertarik dengan perempuan,"jawab Andrea tanpa merasa bersalah.

"Astagfirullah."untuk pertama kalinya Bara mengucap.

Cherea sudah tidak bisa menahan lagi tawanya. Wajah Bara yang sudah nampak tersiksa dan wajah mamanya yang juga tidak ada tanda-tanda bercanda. Itu perpaduan yang sangat lucu untuk ditonton.

"Ma, aku ingin istirahat sebentar dan juga mandi, aku ke kamar dulu,"kata Bara pamit beranjak sebelum dia benar-benar gila.

"Benar kata mama kan, Pa. Bara itu gay,"ungkap Andrea mengadu kepada Azka.

Bara yang baru beberapa langkah menjauh, mendengar jelas semua tuduhan yang dilayangkan oleh mama kandungnya sendiri.

"Ma,"panggil Bara memutar tubuhnya lagi.

"Se-frustasi itu mama sampai menuduh ku tidak tertarik kepada wanita."Bara mendengus kesal setengah mati.

"Sudah Bara kamu ke istirahat, kita hentikan pembicaraan ini."Azka akhirnya melerai perdebatan yang mulai mengarah kepada yang lain.

***

Kallica menghela napas lelah menatap gedung hotel yang tinggi menjulang di hadapannya. Dulu, sebelum musuh bebuyutannya itu datang dan merusak pekerjaan Kallica. Gadis itu selalu bahagia pergi ke kantor, berbeda dengan hari ini kakinya begitu berat melangkah ke dalam gedung.

"Bara sialan, kau masih sama brengsek seperti dahulu. Malaikat maut saja enggan menjemputmu secepatnya,"ucap Kallica mendengus dan ingin rasanya menangis.

Gadis itu menghentak-hentakan kakinya masuk ke dalam gedung. Selama perjalanan ke dalam, Kallica berpikir keras mencari ide untuk membuat bos nya itu marah.

Di lain tempat di hari yang sama,Bara sudah duduk santai di kursi kekuasaanya di kantor. Dia bertopang dagu di atas meja kerjanya sambil menatap tajam ke arah pintu. Sesekali dia melirik jam tangannya, sudah menunjukan pukul sepuluh pagi. Tapi Kallica tidak nampak puncak hidungnya.

"Aku akan menunggu sepuluh menit lagi. Jika dia tidak datang lihat saja apa yang akan aku lakukan,"ungkap Bara merutuk.

Sejak pukul delapan pagi tadi, pria itu selalu mengatakan sepuluh menit sampai akhirnya dua jam sudah dia menantikan Kallica.

Pria itu mengubah posisi duduknya, menyandar ke sandaran kursi dengan menghentak-hentak jarinya di atas meja. Dia sudah mulai bosan, tapi ketika terdengar bunyi klik di ganggang pintunya pria itu merobah posisi duduk lebih tegap lagi.

Kallica yang baru masuk dengan membawa alat-alat kebersihannya, langsung melongoskan wajahnya membuang muka dari Bara.

"Kau telat dua jam,"ucap Bara.

"Bodoh amat," tutur Kallica di dalam hati. Dia ingin berteriak, tapi ini masih terlalu pagi untuk marah. Kalau paginya di awali dengan marah, pastinya sampai malam nanti gadis itu akan badmood.

"Kau mendengarku Kallica!"

Kallica tetap melanjutkan membersihkan sudut ruangan Bara, tanpa mengindahkan ucapan Bara sedikit pun.

"Kalau kau berani telat besok, aku akan memotong gajinya lima puluh ribu rupiah per jam nya."

Seketika lirikan mata membunuh Kallica menghunus mata Bara. Gadis itu melempar kemocengnya ke arah lantai.

"Kau!"suara Kallica naik empat oktaf.

"Kau monyet bekantan, bisakah kau pagi ini tidak mengusik hidupku. Yang penting aku sudah membersihkan ruangamu ini!"

"Kau telat dua jam,"ucap Bara mengulang.

"Kau bodoh atau goblok,hah? Kau bisa melihat di absen bahwa aku sudah datang ke kantor sejak jam tujuh tadi pagi."

"Lalu kemana saja kau selama dua jam?"tanya Bara menyelidik.

"Tiduran di pantry, masalah buat lu Bara."

"Aku serius Kallica, bukankah dalam kontrak kerja itu kau harus datang jam delapan pagi dan sudah membersihkan ruanganku."

Kallica mengedikan bahunya tidak peduli.

"Minggir pak bos, saya akan membersihkan meja anda. Sebaiknya anda jangan banyak bicara nanti kemasukan debu. Anda bisa sesak napas dan bisa meninggal. Walaupun saya menginginkan kematian anda, saya juga malas menjadi saksi nantinya,"ucap Kallica melirik Bara sekilas.

Bara tertawa sinis." Baiklah, karena kau telat dua jam, maka untuk hukumannya kau harus membersihkan apartemenku nanti siang."

"Apa!"teriak Kallica.

Bara menutup kupingnya dan pura-pura mengerjakan sesuatu." Jangan berteriak Kallica aku tidak tuli. Sudah berapa kali aku katakan ruangan ini cukup kedap suara. Walau kau bergumam menyumpahiku di dalam hati, aku masih bisa mendengarkannya."

"Oh kau geladah babon manusia setengah siluman anjing. Aku bukan pembantumu sialan! Aku melamar pekerjaan bukan untuk di rumamu!"

Bara berhenti menulis dan menatap Kallica." Kan, dalam surat perjanjian kerja yang telah kau tandatangani berbunyi, bahwa kau bersedia menerima apa pun semua perintah dariku tanpa alasan apa pun."

"Aku tidak sudi menginjakkan kaki di rumah mu itu. Kalau aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan,hah?"tanya Kallica menantang.

Bibir Bara mencebik dan memiringkan kepalanya menatap Kallica. Senyuman jahil diperlihatkan nya.

"Itu gampang sekali ndut, aku akan memaksamu. Kalau kau tidak keberatan aku akan menyeretmu masuk ke dalam mobilku. Mari kita lihat seberapa kuat kau menantangku kecebong."

Kallica mendekati meja Bara, gadis itu tanpa rasa takut berlagak pinggang di hadapan pria tersebut.

"Jangan meremehkanku babon, mari kita lihat saja nanti siang. Apakah kau mampu menyeretku mengikuti semua perintah gila mu itu. Memangnya sudah berapa lama kau mengenalku? Belum sekalipun aku mengalah denganmu, kalau kau lupa akan aku ingatkan!"seru Kallica tanpa merasa takut sekalipun.

Bara berdiri dari duduknya, pria itu mengitari meja dan mendekati Kallica. Kallica bergerak cepat dengan melangkah menjauhi Bara. Semakin Bara mendekat, maka semakin Kallica mundur ke belakang. Langkah gadis itu terhenti karena terhalang sofa di ruangan Bara.

Dengan senyuman yang mampu membuat asam lambung Kallica kambuh. Bara berdiri sangat dekat dengan gadis tersebut.

"Semakin kau menantang maka semakin membuatku tertantang untuk menaklukanmu,"ucap Bara berbisik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status