Ini benar-benar sangat memalukan bagi Gita. Benar-benar memalukan. Gita hanya ingin pergi periksa kandungan berdua dengan suaminya, tapi yang ikut malah satu RT. Kalau Ayah Anton dan Ibu Fika sih masih bisa dimaklumi. Anak Alan dan Gita adalah cucu pertama mereka, tapi Alex dan Julie? Dua orang itu sudah punya satu cucu perempuan kandung dan satu cucu laki-laki angkat. Lalu mereka masih senorak itu? Gita tidak tahu harus bersyukur atau tidak ketika mendapati ruang tunggu pasien terlihat sedikit sepi. Harusnya sih Gita bersyukur, tapi tetap saja masih ada beberapa pasien yang menunggu di sana. Rasanya Gita ingin menenggelamkan diri di samudra Hindia."Ibu Gita Bramantara," seorang perawat memanggil nama Gita, membuatnya sedikit tersentak. Gita mengembuskan napas pelan begitu melihat semua dayang-dayangnya ikut berdiri. Haruskah seperti ini? "Ehm, maaf. Apakah semuanya mau ikut masuk?" Si perawat bertanya dengan canggung. Biar bagaimana pun yang dihadapinya ini salah satu pemilik ru
"Kamu yakin gak mau makan apa-apa, Bee?" tanya Alan sambil merapikan anakan rambut Gita. "Sekarang sih belum mau apa-apa. Gak tahu deh kalau sebentar." Gita mengedikkan bahu dengan malas. Sepasang suami istri ini baru saja kembali dari pemeriksaan kandungan untuk kesekian kalinya, karena potensi untuk mengalami keguguran dan kelainan pada bayi lebih tinggi pada Gita. Dokter menyarankan untuk kontrol tiap bulan. Sekarang pun kehamilan Gita sudah mau menuju enam bulan. Menurut dokter perkemabangan si kakak sangat bagus. Hanya saja ibunya masih perlu tambah berat badan sedikit lagi. Gita sih tidak keberatan tambah berat, tapi sebanyak apa pun yang di makan beratnya tidak bertambah. Selama hamil ini, Gita baru bertambah berat sebanyak empat kilo. Padahal biasanya ibu hamil lain sudah melebihi lima kilo. Untungnya saja berat badan 'Kakak' dinyatakan normal. "Als. Kayaknya pengen makan ayam goreng saja deh." Gita yang melihat logo makanan cepat saji itu, tiba-tiba ingin makan ayam
"Permisi, ada yang pesan rujak atas nama Alan?" seorang pengemudi ojek online terlihat celingukan di kantor polisi. "Oh, di sini Pak." Gita melambaikan tangannya dengan riang. Abang ojol berjaket hijau itu menghampiri Gita dan memberikan kantongan kecil dengan takut-takut, karena dipelototi pak polisi. Sementara Gita mengambilnya dengan hati riang. "Als,jangan lupa kasih bintang dan tip." Gita segera menoleh pada suaminya itu dan hanya dijawab dengan deheman pelan. "Maaf ya Pak. Bumil mau makan dulu," Gita tersenyum manis pada pak polisi di depannya. "Gak usah tebar-tebar senyum, Bee. Makan saja." Alan protes dan menggeram kesal. Tak perlu diperintah juga, Gita langgsung membuka bungkusan rujak yang tadi dipesankan Alan. Tentu saja isi rujaknya sebagian besar adalah mangga muda. "Jadi, bisa kita lanjut lagi?" tanya pak polisi yang duduk di depan Alan. "'Sudah saya bilang dari tadi, Pak. Bocah-bocah itu menghina istri saya, bahkan berniat membawa istri saya yang sedang hamil e
"Als?" Gita memanggil Alan yang masih tertidur pulas. Alan yang selalu jadi suami siaga pun langsung terbangun. "Kenapa, Bee?" tanya Alan dengan mata setengah tertutup. "Anu, tadi perutku sempat sakit, tapi sekarang sudah gak lagi sih," jawab Gita bingung. "Bagian mana yang sakit?" Rasa kantuk yang tersisa langsung hilang begitu saja, begitu mendengar keluhan Gita. "Di sini," Gita memegang perut bagian bawahnya. "Sakit mau melahirkan?" tanya Alan mulai terlihat panik. "Aku juga gak tau, Als. Sepertinya sih bukan. Soalnya ini sudah gak sakit lagi dan sakitnya masih bisa aku tahan." Alan mengelus perut buncit Gita yang sudah terlihat seperti balon yang siap pecah. Sebenarnya Gita masih khawatir, tapi rasa sakitnya sudah hilang dan juga tidak enak kalau harus membangunkan Mom. "Kalau gitu kamu tidur saja dulu ya, Bee. Ini baru jam lima pagi." Alan memberi saran ketika sudah yakin istrinya tidak apa-apa. Gita juga setuju dengan saran itu dan membaringkan diri dalam pelukan Ala
"Mom, waktu melahirkan sakitnya gimana sih?" tanya Gita sambil berbaring manja pada Julie. "Kenapa? Takut ya?" tanya Julie dengan lembut. "Hm, sedikit." Gita mengangguk pelan. "Aku juga mau sekalian persiapan saja sih, Mom. Supaya pas kontraksi asli aku gak salah lagi kayak kemarin." "Oh iya, kemarin kamu sempat kontraksi palsu kan?" Gita tidak memberi jawaban verbal dan hanya mengangguk pelan. Dikehamilan Gita yang sudah di minggu ke tiga puluh empat, dia menjadi makin malas. Yang ingin dikerjakannya hanyalah makan, tidur dan bermanja-manja. Tapi walau banyak makan dan tidur, nyatanya berat Gita tidak naik terlalu signifikan. Sampai saat ini hanya naik delapan kilo. Orang lain yang mendengar itu iri setengah mati dengan Gita. Bahkan Eza sekalipun, marah-marah dan memaki ketika mendengar berat badan Gita cuma naik delapan kilo. Sementara Eza sendiri dengan tiga anak di dalam perut, naik nyaris dua puluh kilo. "Kalau dari kata dokter sih, sakitnya itu kira-kira lima men
"Aduh lucunya, cucu Grany." Julie yang mendapat giliran menggendong Teddy berucap senang. "Wajahnya, perpaduan dari Alan dan Gita ya?" Amel yang berdiri di sampiing Julie memberikan komentar. "Ya, bentuk mata dan bibirnya terlihat seperti Gita, sisanya lebih terlihat seperti Alan." Julie juga mengiyakan pendapat Amel, membuat Gita kesal. "Menyebalkan," gerutu Gita. "Apanya?" tanya Alan bingung "Aku yang hamil sembilan bulan, kesakitan saat melahirkan, tapi kenapa wajahnya lebih mirip Alan? Ini tidak adil." Gita tidak terima pembagian DNA yang tidak adil itu. "Kamu cuma hamil selama delapan bulan lebih saja, Bee." Komentar Alan itu membuat Gita mencubit pinggang suaminya yang duduk di atas ranjang dengan sangat keras. Itu membuat seiisi ruangan suite yang ramai itu tertawa, membuat Teddy yang tadinya tertidur lelap menangis. Membuat Julie terpaksa mengembalikan Teddy pada Gita. "Tapi, kamu masih mending sih, Ta. Coba si Gwen. Kara itu benar-benar fotokopian dari Eli. Ba
Gita terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara tangisan samar. Dia mengucek matanya dan menyadari kalau Alan tidak ada di sampingnya. Hal yang membuat Gita beranjak dan berjalan ke kamar sang putra melalui pintu penghubung. Kini kamar adiknya, berubah menjadi kamar Teddy. Tentu mereka masih di rumah orang tua juga, "Lho, Bee kok bangun sih?" Alan bertanya begitu menyadari Gita berjalan mendekat. "Aku dengar suara tangisan Ted. Mungkin dia lapar, jadi aku ke sini." Gita mengulurkan tangan meminta anaknya yang tidak berhenti menangis. Alan tentu segera menyerahkan anaknya pada Gita, dengan serangkaian penjelasan. "Tadi aku sudah coba kasih asi yang sudah kamu perah, tapi dia gak mau. Popoknya juga masih oke." Alan memang bilangnya seperti itu, tapi begitu posisi Ted dalam gendongan Gita sudah nyaman, bayi mungil itu menarik-narik piyama Gita tepat di bagian dada. Tanda dia memang mau makan tengah malam. "Teddy hanya kelaparan saja, Als." Gita tersenyum mengejek.
"Selamat ya, Bu. Proses bayi tabungnya sudah membuahkan hasil. Janinnya sudah berumur lima minggu." Dokter tersenyum pada Gita. Gita langsung menangis bahagia sambil menutup mulutnya. Sebelah tangannya menggenggam tangan Alan yang juga terlihat sangat bahagia. Usaha mereka memberi adik untuk Teddy lebih dari tiga tahun terakhir ini akhirnya berhasil. Beberapa bulan setelah melahirkan si Kakak Teddy, Alan dan Gita sepakat untuk langsung program hamil anak kedua. Kali ini mereka memilih untuk berobat di tempat yang lebih dekat, yaitu Singapura. Keputusan ini diambil karena mereka tidak bisa meninggalkan Teddy terlalu lama. Waktu itu Gita juga belum berani mengajak Teddy bepergian dengan pesawat. Jadinya Gita yang sering bolak-balik Jakarta-Singapura. Pergi pagi pulang sore atau malam. "Nanti Kakak bakal punya adek loh." Alan bercerita pada Teddy yang kali ini ikut ke rumah sakit (walau harus menunggu di luar bersama pengasuhnya). Selama tujuh minggu ini Gita berada di Singapura da