Share

Pengantin Pengganti

"Mas Alan?"

"Hai, Bel. Gak nyangka ya bisa ketemu kamu di sini."

"Kau kenal lelaki ini Bel?"

Isabella tidak menjawab teman kencannya, dia sudah gemetaran, matanya mulai terasa panas dan tenggorokannya tercekat. Dia ketahuan dan tertangkap basah.

Bagaimana bisa? Padahal Isabella sudah sangat berhati-hati agar dia tidak ketahuan. Dia sudah menggeluti profesinya ini bahkan sebelum bertemu Alan, bahkan orang tuanya saja tidak tahu karena dia selalu hati-hati. Tapi lihatlah kini, kekasih hatinya itu memergokinya.

“Mas, aku bisa jelasin semuanya,” ucap perempuan itu terlihat kalut.

"Apa dia pacarmu?" tanya teman kencan Isabella.

Isabella tidak menjawab, apalagi Alan. Pria itu diam dan menatap Isabella dengan tatapan dingin. Ingin tahu apa yang akan dikatakan wanitanya. Ah, ralat. Mantan wanitanya.

Teman kencan Isabella terlihat tidak senang dengan suasana ini. Malas menghadapi suasana ini, pria yang kini dikenali Alan sebagai salah satu pengusaha terkenal berumur empat puluh tahunan itu, meberi titah pada Isabella.

"Keluar dari lift dan selesaikan masalahmu dalam lima belas menit. Kutunggu di kamar."

Pria itu mendorong Isabella ke arah Alan, membuat dua orang itu terhunyung kekuar dari lift. Dengan cepat Alan menjauhi Isabella, merasa jijik dengan perempuan itu.

Isabella terkejut dengan refleks Alan, begitu menyakitkan baginya. Seharusnya Isabella berhenti sejak lama, sejak dia jatuh cinta pada Alan. Hanya saja entah mengapa Isabella tidak bisa. Dan sekarang dia sudah membuat Alan kecewa.

"Mas Alan. Aku mohon kasih aku waktu buat jelasin ini semua."

"Sayangnya saya gak punya waktu untuk mendengarkan anda. Saya punya banyak kerja, saya sibuk." Dengan cepat sang asisten menolak.

Isabella sangat terkujut dengan perubahan Alan yang tiba-tiba jadi formal. Membuat hati wanita itu begitu sakit dan perih. Dia yang bersalah, tapi dia juga yang sakit hati.

"Kamu kerja apaan di hotel Mas?" Isabella terlanjur sakit hati, membuat pikirannya jadi kacau dan tidak sadar melontarkan pertanyaan absurd.

“Mungkin anda lupa, jadi biar saya ingatkan. Atasan saya adalah anak wakil presdir hotel ini dan saya yang cuma asisten pribadi, tentu harus menemani atasan saya saat sedang bekerja,” jelas Alan dengan nada kesal.

Kata-kata Alan terdengar sangat dingin dan menusuk. Isabella tidak kuat lagi menahan air matanya, dia mulai terisak. Isabella menggenggam jas Alan sekuat mungkin, seolah tidak akan mau melepasnya.

"Maafin aku Mas, aku gak bisa berhenti kerja. Aku salah, tolong jangan tinggalin aku. Aku cinta sama kamu Mas."

Alan menghela napas, sudah benar-benar malas dengan semua ini. Dia seolah sudah kehilangan rasa pada perempuan di depannya. Karena itu, dengan pelan Alan menepis tangan Isabella.

“Kalau kamu cinta sama aku, kamu harusnya dari dulu kamu berhenti. Menyesal sekarang gak ada gunanya sama sekali dan aku minta putus,” ucap sang asisten dengan penuh keyakinan.

Isabella terhenyak. Bahkan saat Alan mulai melangkah pergi ke lift paling ujung dan menempelkan kartu khusus pegawainya, Isabella masih bergeming saking kagetnya. Ketika pintu lift hendak tertutup barulah Isabella sadar dan berlari mengejar Alan.

"Mas Alan," Isabella berteriak.

Dia terlambat pintunya sudah menutup dan tidak bisa lagi ditahannya. Dengan putus asa, Isabella berlari ke resepsionis dan bertanya letak ruangan direktur atau sejenisnya dan tentu saja tidak ada yang bersedia memberitahunya.

Isabella terisak keras di lobi hotel. Hancur sudah masa depannya, sekarang dia menyesali mengambil pekerjaan sebagai wanita bayaran hanya demi uang dan kemewahan.

Alan berjalan sepanjang koridor, menuju ke kamar yang ditempati atasannya dengan gusar. Dia merasa kecewa, sakit hati dan dibohongi.

Alan bahkan jarang berfoya-foya agar bisa menabung demi masa depan bersama Isabella. Alan baru sekali membeli gadget untuk membantu pekerjaannya. Gadget yang tadi rusak gara-gara dilempar Gita. Itu pun dicicil dua puluh empat bulan dan belum lunas.

Lelaki berkacamata itu menghembuskan napas dengan kasar. Alan jadi teringat cincin yang sudah dibelinya untuk Isabella. Dirogohnya kantong dalam jasnya mengambil cincin yang selalu dikantonginya. Dia membuka kotaknya, dan menatap berlian kecil yang begitu indah.

Alan memang bukan orang kaya. Dia juga masih harus membantu membiayai dua orang adiknya yang lain. Untung salah satunya sudah hampir selesai kuliah. Gaji Alan yang lumayan, dihabiskan untuk membiayai keluarga dan menyicil rumah, juga ditabung untuk biaya menikah.

Alan ingin Isabella merasakan pernikahan yang luar biasa. Karenanya Alan berusaha mati-matian untuk menabung, bahkan membeli cincin berlian. Rumah yang dicicilnya juga harusnya akan ditempatinya setelah menikah nanti.

"Harusnya, aku akan melamarmu lusa." Alan bergumam pelan sambil menatap cincin itu dengan tatapan sendu.

Lelaki dengan profesi sebagai asisten itu, kembali menghela napas, sebelum menyimpan kotak cincin itu dan lanjut berjalan. Langkah Alan sempat terhenti saat melihat si bungsu Gill berjalan mondar-mandir di depan kamar Gita, bersama saudara dan sepupunya yang lain.

"Berhentilah mondar mandir seperti setrika rusak Gill. Kau membuatku makin pusing." Itu adalah suara Gwen, adik Gita dan kakak Gill.

"Mana aku bisa tenang Wen? Rasanya aku ingin pergi mencari pria sialan itu dan menghajarnya."

"Kenapa saya yang mau dihajar?" tanya Alan bingung.

Tiga orang tadi menoleh dan ikut menatap Alan bingung. Gill terlihat berpikir sebentar dan menyadari apa yang membuat Alan bicara seperti itu.

"Sorry, tapi yang kubicarakan itu bukan kau. Yang kumaksud itu si Tony."

Alan mengangguk mengerti. Rasanya dirinya terlalu sensitif, atau mungkin terlalu terbiasa dengan panggilan 'sialan'. Gita selalu memanggil asistennya itu dengan sebutan 'SiAlan', tanpa spasi membuatnya terdengar seperti 'sialan'.

"Anda sekalian tidak masuk?" tanya Alan untuk memastikan.

"Kami diusir keluar," sergah Gill kesal.

"Oh, kalau begitu saya permisi." Alan pamit untuk masuk ke dalam kamar untuk memberi laporan pada atasannya yang galak.

Gill berusaha melongok masuk ke dalam kamar, mencari tahu apa yang terjadi di dalam. Walau pintu sudah dibuka dengan kartu akses yang dipegang Alan, dia tetap tidak masuk. Si bungsu dari tiga bersaudara itu tidak mau cari masalah disaat seperti ini.

"Saya tutup pintunya ya Tuan Muda." Alan berseru sopan pada adik atasannya. Walaupun Gill dan Gita lebih muda darinya, tapi Alan tetap sopan, karena keluarga dua orang itu yang membayar gajinya.

Saat masuk Alan bisa mendengar Gita berdebat dengan ayahnya. Berdebat sesuatu tentang acara pernikahan yang harusnya mulai tiga puluh menit lagi. Dia tidak terlalu mendengar, karena pikirannya sedang kusut.

Alan juga tidak menyela perdebatan itu. Dia bisa menyampaikan laporannya setelah mereka selesai berdebat. Yang dilakukan Alan hanyalah melamun saja.

"Bagaimana Alan kau mau kan?" Suara Gita menyadarkan Alan dari lamunannya.

"Kenapa Bu?" tanya si asisten sedikit bingung.

"Kau mau kan? Katakan kau mau membantuku." Gita kembali bersuara.

Alan sebenarnya sama sekali tidak mendengar pertanyaan Gita. Alan merasa bingung, tapi tetap mengangguk setuju. "Saya akan membantu Bu Gita sebisa saya."

"Good bersiaplah sekarang Alan." Gita memberi perintah, tapi sebelum Alan sempat ngapa-ngapain Alex sudah duluan buka suara.

"Gita, ini gila." Sang ayah langsung protes.

"No, Dad. Ini jalan terbaik agar keluarga kita tidak dipermalukan."

"Kamu benar bersedia melakukan ini Alan?" tanya sang ibu lembut. Tatapan wanita paruh baya itu terlihat penuh harap.

"Iya Bu, saya bersedia." Alan menjawab dengan bingung. Bingung dengan keadaan yang aneh ini.

Alex mengembuskan napas dengan kasar. Pria yang masih sangat tampan di usia hampir lima puluh itu, mentapa asiten putrinya dengan tajam. dia seolah tak rela, tapi tidak punya pilihan lain juga.

"Sebaiknya kamu melakukan ini dengan baik dan tidak setengah-setengah. Jangan melakukan ini hanya karena kasihan." Melihat Alan mengangguk, Alex melanjutkan kata-katanya. "Bersiapalah, aku akan mengurus tamu di bawah."

"Baik Pak, tapi saya harus bersiap untuk apa?" tanya Alan bingung.

"Tentu saja bersiap mengganti posisi Tony sebagai pengantin pria Nak. Kamu tadi sudah setuju kan?" tanya Julie meyakinkan diri.

"What?" Alan nyaris saja berteriak.

***To be continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status