Share

Selingkuh

Alan berjalan menyusuri lorong, dirinya menyempatkan untuk melaporkan kejadian tadi pada asisten pribadi dari ayah bosanya. Alan hanya memberikan penjelasan sangat singkat dan segera menuju ke ballroom.

Alan mencari pihak WO dan menjelaskan situasi secara singkat dan meminta mereka tetap standby. Setelahnya barulah Alan menghampiri keluarga mempelai pria yang sudah duduk manis di meja keluarga.

"Maaf Pak Yoga dan Bu Tari, saya mohon anda beserta keluarga bisa meninggalkan tempat ini sesegera mungkin."

Dua orang yang barusan disebut namanya, menatap Alan dengan sorot tajam nan bingung. Tajam karena merasa diusir dan bingung karena tak tahu alasan mereka diusir.

"Maksudnya apa ya? Acaranya akan dimulai kurang dari sejam lagi, kenapa kami harus pergi?" tanya ibu mempelai pria, masih dengan sopan.

Alan tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menjelaskan panjang lebar. Dikeluarkannya ponsel pribadinya dan mengakses video tak senonoh Tony dari fitur cloud yang dikembangkan Gita.

Alan berdoa dalam hati, agar ponsel kerja yang ada di bosnya tidak dilempar lagi. Begitu pula dengan ponsel pribadinya yang baru saja berpindah tangan ke ayah mempelai lelaki.

Alan memiliki banyak gawai bukan karena mau pamer, tapi demi kepentingan pribadinya. Bukan baru sekali dua kali gadget-nya dibanting oleh Gita sampai hancur, setidaknya Alan harus punya cadangan agar bisa menghubungi orang lain. Terutama bosnya.

Ya. Walaupun Gita yang merusak ponselnya, wanita itu pula yang menuntut agar Alan selalu bisa dihubungi kapanpun dan di manapun. Alan bahkan punya ponsel jadul, yang hanya bisa menelepon dan SMS saja.

"Ya, Tuhan." Pekikan tertahan sang ibu menyadarkan Alan dari lamunannya. Jelas kedua orang paruh baya itu syok.

Keluarga dari pihak mempelai lelaki (alias Tony) memang bukan crazy rich, tapi mereka cukup kaya. Tak bisa disandingkan dengan Bramantara memang, tapi mereka cukup lumayan. Gagal menikah sama dengan malu.

Yah, walaupun sekarang terbongkar kalau mereka ternyata bukan orang baik. Mereka hanya orang-orang yang haus akan uang. Uang memang punya banyak setan.

"Saya rasa dengan melihat rekaman CCTV tersebut anda sekalian bisa membuat keputusan yang tepat."

"Gak, saya yakin ini hanya salah paham saja." Sang ayah masih berusaha membela putranya.

"Ah, anda mungkin perlu dengar rekaman suaranya."

Alan memutarkan rekaman suara dan mengatur volume agar hanya bisa di dengar oleh kedua orang tua Tony. Wajah dua orang itu memucat seketika.

"Pak Tony sudah diusir dari tempat ini dan saya harap anda bisa membawa pulang semua keluarga anda. Kami tidak ingin ada keributan di sini."

“Kalau bisa sih, sekalian anda mengurusi semua tamu undangan anda. Saya sudah cukup sibuk untuk mengurusi itu." Ayah dari Tony rupanya mau lepas tangan.

Alan melenggang meninggalkan dua orang tua itu, kembali pada tim WO. Sang asisten meminta tim itu untuk memulangkan tamu dengan undangan dari pihak pria. Untungnya terdapat perbedaan pada undangan dari pihak pria dan wanita.

"Alan ada apa? Kenapa keluarga Kak Tony pulang?" Si bungsu adik dari Gita, datang menghampiri sang asisten.

"Saya yakin anda akan mengerti begitu melihat apa yang saya kirim tuan muda."

Alan masih saja malas membuka mulutnya untuk menjelaskan dan memilih mengirim semua file kepada si bungsu. Setelahnya Alan langsung pergi. Baru lima langkah, Alan sudah bisa mendengar si bungsu mengumpat.

Alan menghembuskan napas lelah dan berjalan, hendak kembali ke kamar bosnya. Baru juga mau berbelok ke arah ruangan lift, Alan melihat seseorang yang amat dikenalnya.

Itu adalah kekasihnya yang sedang menggandeng pria lain. Lebih tepatnya bergelayut manja pada seorang pria yang terlihat lebih tua dari dirinya.

Kalau dilihat pria itu mungkin lebih tua sekitar sepuluh tahun dari Alan, atau mungkin lebih. Hampir empat puluh mungkin.

Tampang lelaki itu biasa saja, perutnya tidak buncit dan kepalanya tidak botak. Yang jelas pria itu kaya raya, jauh lebih kaya dari Alan.

"Babe, janji kan abis ini mau belikan aku tas baru?" Suara Isabella terdengar sangat manja, bahkan Isabella tidak pernah semanja itu di depan Alan.

Alan tetap berdiri di tempatnya, tak jauh di belakang pasangan itu. Alan tidak ingin menegur. Lebih tepatnya belum mau, dia masih ingin mendengar percakapan dua orang itu.

"Semua itu tergantung servismu hari ini Babe. Kalau memuaskan, aku akan memberikanmu banyak bonus."

Alan tersenyum sinis. Dari percakapan ini sudah sangat jelas apa profesi Isabella yang selama ini dibanggakannya. Profesi yang selalu dibanggakan kekasihnya itu pada Alan.

"Gajinya gede. Bisa buat modal nikah kita." Itu adalah kata-kata ya g diucapkan Isabella pada Alan beberapa minggu lalu.

Sudah berapa lama Isabella jadi wanita panggilan? Sejak beberpa minggu lalu? Atau bahkan sebelumnya? Atau malah dari pertama kali mereka pacaran, lima tahun yang lalu.

Ya, mungkin sudah sejak sangat lama. Sejauh yang bisa Alan ingat, Isabella sudah menggunakan barang-barang mahal. Padahal keluarga gadis itu biasa-biasa saja, sama persis dengan keluarga Alan. Memang bukan barang semahal punya bos Gita, tapi tetap harganya fantastis bagi Alan.

Alan mendengkus kesal. Dirinya sudah ditipu mentah-mentah selama ini. Ketika dirinya berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menyentuh Isabella, wanita itu malah menjajakan tubuhnya ke mana-mana. Miris sekali.

Alan sebenarnya tidak mempermasalahkan soal keperawanan seorang wanita. Dia tidak masalah jika Isabella sudah pernah tidur dengan orang lain, tapi bukan berarti wanita itu bisa tidur dengan pria lain saat masih berstatus jadi pacarnya. Terutama karena Alan selalu menekan egonya untuk menjaga pujaan hatinya itu. Lima tahun, bukanlah waktu yang sebentar.

Pintu lift sudah terbuka dan kedua sejoli itu masuk duluan, sementar Alan melangkah dengan sangat pelan di belakang dua orang itu. Alan sengaja menunggu pintu lift hampir tertutup sempurna, sebelum menahan pintu itu menggunakan tangan. Atau lebih tepatnya jam tangan Alan dijadikan sebagai pengganjal.

Alan tersenyum miris melihat pemandangan di depannya saat pintu lift terbuka. Kekasihnya sedang bercumbu dan memagut di dalam sana dengan pria yang entah datang dari mana.

Alan saja belum pernah menggerayangi pacarnya, tapi sekarang dia melihat pacarnya disentuh lelaki lain dengan intens. Saking intensnya dua orang ini tidak menyadari pintu lift belum tertutup sempurna.

"Saya rasa lift ini masih belum jadi kamar hotel." Akhirnya Alan memilih untuk bersuara, membuyarkan konsentrasi dua orang yang sedang asyik mencumbu itu.

"Apa-apaan ini?" teriak marah lelaki itu, sementara Isabella berbalik memunggungi Alan. Sama sekali tdak menyadari itu adalah Alan-nya, pria yang amat dicintainya.

Isabella sudah terlanjur malu, tidak sanggup menatap orang yang menegur mereka. Bahkan sebelum tahu siapa orang itu.

"Seperti yang sudah saya bilang tadi Pak. Lift ini bukan kamar hotel. Kalian boleh melakukan apa saja di kamar nanti, tapi ini masih di dalam lift dan ini masih tempat umum."

Suara bass yang dalam dan rendah itu, menggelitik telinga Isabella. Dia mengenali suara itu. Amat sangat mengenalinya. Dengan degupan jantung yang bertalu-talu, Isabella membalikkan tubuhnya. Menatap lelaki bertubuh ramping dan berkacamata yang amat sangat dikenalnya. Itu Alan-nya, kekasihnya dan masa depan yang diharapkan Isabella.

"Mas Alan?"

“Hai, Bel. Gak nyangka ya bisa ketemu kamu di sini.”

***To Be continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status