Maaf hari ini agak lama. Sebentar masih ada satu bab lagi kok. Tunggu aja ya.
"Halo, Mas. Selamat pagi," Tania menyapa Alan yang baru keluar rumah untuk memanaskan mobil.Alan hanya melirik sebentar, kemudian masuk ke dalam mobil. Dia tidak punya banyak waktu untuk mengurusi orang seperti itu dan juga tidak tertarik. Namun, Tania ini lebih gatel dari bayangan Alan. Perempuan itu tidak segan mendekati mobil, dengan hanya menggunakan tanktop dan hot pants."Halo, Mas Tetangga. Gak mau ngobrol bareng?" Suara Tania terdengar sedikit samar di dalam mobil.Untung saja Alan tidak menurunkan kaca mobil, jadinya si Tan-Tan ini hanya mengetuk dari luar. Tentu saja dia tidak mempedulikan wanita itu dan hanya memanaskan mobilnya. Tapi karena risih, Alan langsung menelepon Gita. Meminta pertolongan. Untung juga Alan selalu mengantongi ponselnya di saku celana."Bee? Masih lama gak sayang?" Alan sengaja mengeraskan suaranya."Nih, udah mau keluar. Kenapa teriak-teriak di telepon?" Gita jadi curiga terjadi sesuatu di luar dan mempercepat gerakannya."Ada pengganggu dari
Gita memelototi, Tania yang sedang berdiri di teras. Sudah dua hari berlalu dan perempuan itu terlihat lebih kalem dan lebih rapi. Sepertinya ular hitam itu akhirnya punya pekerjaan karena menggunakan setelan kerja, atau mungkin mau melamar kerja. Tania membalas memelototi Gita. Dia merasa belum melakukan apa-apa dan tidak terima dipelototi seperti itu. "Bee?" Alan memanggil, mendekati dan mengecup sudut bibir istrinya. "Yuk jalan," gumam Alan merangkul pinggang Gita. Gita tentu saja langsung menurut dan membiarkan Alan membukakan pintu untuknya. Walau Alan sama sekali tidak melirik ke arah sebelah, Gita tetap merasa sebal. Pasalnya, si Tania ini tetap ganjen dan melambai ke arah Alan. Membuatnya sungguh ingin menonjok wajah perempuan itu. "Apaan sih. Baru kumpul kebo gitu sudah belagu," desis Tania kesal setelah mobil Alan menghilang. "Tapi aku pernah lihat dia di mana ya?" "Kenapa sih kamu bicara sendiri?" Tian muncul dari belakang Tania dengan pakaian rapi. "Gak apa-apa. Yuk
Tania menganga mendengar pengakuan Gita. Kemudian dia tertawa dengan keras, membuat Gita dan Alan mengernyit bingung. "Astaga, Mbak Kalau kamu anaknya wakil presdir BG, maka aku anaknya wakil presiden," seru Tania dengan nada mengejek. "Kalau ngehalu jangan kejauhan dong," seru Tania lagi. Tania meraih tanda pengenal karyawan yang sedari tadi dipegang Gita. "Mari kita lihat seberapa canggihnya benda yang kamu buat ini." Tania membaca kartu kecil itu dengan santai dan langsung mengembalikannya lagi dengan cara tidak sopan. Tania melempar kartu itu sampai terjatuh di lantai. "Benda itu tidak membuktikan apa pun. Bisa saja itu palsu," balas Tania dengan santainya. Gita mendengkus kesal. Perempuan ini terlalu percaya diri. Jauh lebih tidak tahu diri dari pada Isabella dulu. Gita benar-benar ingin merobek mulut kurang ajar itu, tapi Gita tidak mau melakukannya. Ular ini perlu diberikan hukuman lebih dari sekedar luka fisik. "Percaya saja apa yang mau kau percaya. Tapi akan ku
Gita menatap dokter yang memeriksa Eza dengan seksama. Memastikan dokter itu menangani sahabatnya dengan baik, sementara Alan merangkul istrinya. Berusaha membuat Gita lebih tenang.Gita langsung menelepon dokter keluarganya untuk datang ke tempat Eza, tapi ternyata pria tua itu sedang di Bandung. Jadilah begitu menemukan Eza dalam keadaan pingsan, Gita dan Alan segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Untungnya rumah sakit terdekat adalah milik BG. Lebih mudah bagi Gita untuk melakukan sesuatu di sini.Karena Eza adalah selebriti, tentu keadaannya yang sedang hamil tidak boleh sembarang diketahui orang lain. Dan karena Eza belum memberitahu publik, Gita juga berusaha menutupi kedatangan Eza ke rumah sakit.“Ibunya mengalami malnutrisi dan untung saja janin di dalam baik-baik saja. Sementara harus dibiarkan istirahat di rumah sakit selama beberapa hari.” Dokter yang dipercaya menangani Eza memberikan penjelasan.Intinya Eza hanya perlu istirahat dan makan teratur. Juga diharuskan me
Eza menatap ponselnya sangat lama, memikirkan sesuatu yang sedari tadi ingin dilakukannya. Jemarinya melayang di atas nama Alan, hendak menelepon lelaki itu untuk membelikannya sarapan.Hari sudah beranjak pagi, atau lebih tepatnya hari masih subuh. Hari ini entah kenapa, Eza terbangun lebih cepat dari biasanya.Eza menatap Julie yang tertidur di sofabed di dekat jendela. Tidak lama setelah Gita dan Alan pergi, Julie memang datang menginap.Sudah sejak dulu seperti itu. Kalau Eza masuk rumah sakit dan tidak bisa ditinggal sendiri, Julie atau Gita akan menginap menemaninya. Membuat Eza merasa tidak pernah kehilangan sosok seorang ibu."Berhenti memikirkan hal gila, Za. Demi Gita, demi Aunty Julie dan demi anakmu sendiri," batin Eza.Eza kembali menatap ponselnya. Seumur hidupnya Eza tidak pernah mengganggu hubungan orang lain, kecuali dengan alasan pihak sana duluan yang cari gara-gara. Itupun tidak dilakukan Eza dengan serius.Memang selama ini Eza bekerja untuk Gita dibalik layar. Ta
Alan masih tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Dia bisa merasakan atmosfir yang tidak baik diantara Gita dan Eza, tapi tidak mengerti apa yang terjadi. Alan ingin menegur, tapi takut nanti malah Gita jadi makin marah. "Loh, Alan?" Suara Julie menyapa telinga Alan. "Kok berdiri di dekat pintu sih?" Julie yang baru masuk dari pintu yang sejak tadi terbuka, menatap menantunya dengan tatapan penuh tanya. "Kami soalnya sudah mau pulang, Mom," Gita yang menjawab ibunya. Saat menjawab Gita sudah terlihat tersenyum. Alan jadi sedikit lega melihatnya. Walau sepertinya masih ada yang mengganjal, tapi kalau Gita sudah tersenyum harusnya sudah tidak ada masalah. "Bee?" Alan mencoba membuka pembicaraan di dalam mobil yang masih sepi itu. Sudah hampir sampai di kompleks perumahan mereka, tapi Gita masih diam seribu bahasa. Alan jadi makin bingung dengan istrinya itu. Perasaan dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa Gita masih ngambek? "Kamu kenapa sih? Kok dari tadi diam?
Ini sebenarnya bukan pertengkaran pertama mereka, tapi biasanya Gita yang lebih banyak ngambek. Baru kali ini mereka bertengkar yang benar-benar bertengkar adu mulut dan urat.Biasanya, Alan yang selalu mengalah duluan karena dia tidak tahan didiami istrinya terlalu lama. Terutama karena Gita suka pergi menghindarinya, seperti sekarang ini."Bee, jangan melamun dong. Nanti kesambet loh." Alan sengaja menegur istrinya. Berharap Gita mau melihatnya atau bahkan tertawa karena candaan garingnya. Apalagi kini dia berasa jadi sopir taksi online karena sang istri duduk di belakang. Sayangnya, itu tidak mempan.Walau tidak digubris, setidaknya Alan masih bersyukur. Gita masih mau diantar sampai ke rumah Bunda, walau itu artinya Alan harus kerja keras. Pasalnya, rumah Bunda Amel lumayan jauh. Perjalanan normal makan waktu empat puluh lima menit. "Loh, Mas Alan? Tumben malam-malam ke sini?" Susan yang membukakan pintu, saat dua orang itu sudah tiba dan mengetuk pintu."Bunda Amel ada?" tanya
"Als?" Gita yang baru pulang, langsung mencari suaminya itu sampai ke dalam kamar. Betapa terkejutnya Gita, ketika melihat Alan sedang mencumbu Tania. "Alan, apa-apaan ini?" teriak Gita emosi. Bukannya saling menjauh, Alan malah memeluk Tania dengan posesif sambil memelototi Gita. Tania pun membalas pelukan Alan dengan sama posesifnya. "Alan," teriak Gita makin marah. "Lepasin dia sekarang juga," bentak Gita makin kesal. "Gak mau sekalian join saja?" tanya Tania dengan manjanya. "Aku gak masalah kok bagi Mas Alan sama kamu." "Kau gila. Lepasin suamiku sekarang," teriak Gita makin lama makin keras. Baru saja Gita melangkah, seseorang menyentuh bahu Gita dengan lembut. Dia berbalik dan melihat Eza tersenyum padanya. "Eza, bantuin aku untuk menjauhkan perempuan murahan itu dari Alan." Gita menarik tangan Eza untuk meminta bantuan, tapi sahabatnya bergeming. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Eza santai. "Padahal aku baru mau gabung sama mereka," Eza terlihat sangat santai. "Eza?