Share

MBV 3

"Apa kamu tidak melakukan apa yang aku perintahkan, hah!"

"Sudah, aku tidak tahu kenapa dia masih baik-baik saja."

"Kamu pasti bohong! Kalau dia jatuh dari atap, tentunya nyawanya sudah melayang! Bagaimana bisa dia masih hidup dan tidak terluka sedikit pun?!"

"Aku benar-benar mendorongnya! Aku melihatnya jatuh, setelah itu aku pergi karena takut ada yang melihat."

"Pembohong! Pokoknya, kamu sudah menerima uang dariku, aku mau kamu menyingkirkannya, bagaimanapun caranya aku tidak peduli!"

-

-

"Mama yakin nggak lihat?" tanya Annabele, berharap Samantha menemukan sebelah antingnya.

"Nggak ada, An. Memangnya terakhir sadar masih ada kapan?" tanya Samantha yang bicara sambil membereskan meja makan.

"Semalam masih ada, tapi tadi pas di kantor udah nggak ada," jawab Annabele yang putus asa.

"Mungkin jatuh di kantor." Samantha menatap Annabele yang kebingungan. "Memangnya kamu ini kenapa masih memakai anting model kuno itu, padahal Mama sudah belikan yang baru, 'kan!" 

Annabele memang sangat menyukai anting itu, bahkan tak mau mengganti dengan yang lain.

"Ah, ya sudah kalau tidak ada," ucap Annabele yang frustasi.

Gadis itu memilih pergi ke kamar dan meninggalkan Samantha yang heran karena Annabele bingung masalah anting.

Annabele mendengus kasar, sudah mencari keseluruh kamar bahkan kamar mandi, tapi antingnya tidak ketemu.

"Kenapa bisa hilang?" Annabele duduk di tepian ranjang, mengguyar kasar rambut karena frustasi.

Annabele merebahkan tubuh, menatap langit-langit kamar dengan keputusasaan. Ia melepas anting yang masih terpakai di telinga kanan, menatap benda kecil itu dengan seksama.

"Aku tidak tahu siapa yang memberinya, tapi kenapa selalu ingin memakai, bahkan merasa kehilangan saat tak ada."

Annabele terlalu lelah memikirkan tentang anting yang hilang, belum lagi pekerjaan yang dirasanya begitu banyak, hingga gadis itu terlelap dan tertidur dengan kaki yang menjuntai ke lantai.

***

"Kamu tidak perlu melakukannya, biar aku saja. Bukankah kamu bilang sudah tak ingin!"

Di jalanan yang tampak gelap dan sepi, dua pria tampak mengamati seorang gadis yang sedang berjalan sendiri. Gadis yang sedang dalam kondisi setengah mabuk, terdengar terus meracau.

"Sial! Bagaimana bisa Anna selamat. Jelas-jelas aku mendorongnya, bahkan melihat dan mendengarnya berteriak ketakutan. Apa mungkin aku mabuk dan mengira sudah mendorongnya? Tidak! Tidak! Malam itu aku tidak mabuk, aku benar-benar sudah mendorongnya! Sial, kenapa aku harus mencelakainya lagi? Agh, kenapa aku harus menerima tawaran si brengsekk itu!"

Gadis itu berjalan sedikit gontai, sesekali menendang kerikil dan juga terus meracau, memikirkan hal yang baginya sangat tak masuk akal. Sudah mendorong dan melihat Annabele jatuh, tapi tak mengerti kenapa teman sekantornya itu selamat dan masih sehat.

Hingga langkahnya terhenti ketika melihat ada seseorang yang berdiri menghadang jalannya. Gadis itu menatap dengan mata sedikit menyipit karena tak bisa melihat dengan jelas, siapa yang menghadangnya.

"Apa kamu tersesat, sweetheart?"

"Anda?" Gadis itu membulatkan bola mata lebar melihat siapa yang berdiri dan tersenyum lebar kepadanya. Namun, seketika merasa bulu kuduknya berdiri.

"Apa yang Anda inginkan?" tanya gadis itu terlihat takut, bahkan sampai berjalan mundur untuk menghindar.

Pria yang tak lain adalah Simon, terlihat memainkan jemari sebelum akhirnya menatap pada gadis itu.

Gadis itu hendak kabur dengan membalikkan badan dan mencoba berlari, terlalu takut melihat tatapan Simon yang tidak biasa. Namun, sayangnya gadis itu tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang dihadapi, dengan cepat Simon bisa mengejar dan langsung mencengkeram kemeja gadis itu, mendorong hingga merapatkan ke dinding.

"Kenapa lari, sweetheart?" tanya Simon dengan sebuah cahaya kecil di mata.

"Ke-kenapa Anda menemui saya?" tanya gadis itu tergagap.

"Aku hanya ingin bertanya sesuatu, tapi kenapa kamu berlari, hah?" tanya Simon dengan senyum yang tak hilang dari wajah.

"Apa yang Anda inginkan?" tanya gadis itu balik, air mukanya terlihat begitu panik, merasa sangat ketakutan melihat ekspresi wajah Simon.

"Aku tahu kamu kemarin mencoba mencelakai temanmu, katakan padaku kenapa kamu melakukannya?" tanya Simon.

Gadis itu begitu terkejut karena Simon tahu dengan hal yang diperbuatnya.

"Jangan berbohong, aku melihatnya."

"It-itu--" Gadis itu tergagap hingga menelan ludah. "Aku hanya disuruh untuk mencelakainya, aku tidak punya dendam padanya," jelas gadis itu.

"Oh, disuruh. Siapa yang menyuruhmu?" tanya Simon dengan tatapan mengintimidasi.

"Jika saya memberitahu Anda, apakah Anda akan melepaskan saya?" tanya gadis itu.

"Tergantung."

Gadis itu menyebutkan satu nama seseorang yang berniat mencelakai Annabele dan motif dendam yang mendasari. Cristian berdiri tak jauh dari sana, tampak bersandar dengan satu kaki berpijak di tembok, kedua tangan bersidekap dada, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu.

"Saya sudah mengatakan semuanya, Anda akan melepaskan saya, 'kan!"

Simon menatap gadis itu, hingga senyum seringai muncul lagi di wajah pria itu.

"Aku berubah pikiran."

"Apa?" Gadis itu semakin panik.

"Bau darahmu, tercium manis."

Gadis itu membulatkan bola mata lebar, tak mengerti dengan maksud Simon. Hingga tanpa disadari dua buah taring sudah tertancap di leher, rasanya begitu sakit hingga membuat gadis itu menjerit begitu kencang, sampai suara itu meredup dan tidak lagi terdengar apa-apa.

-

-

"Aku akan selalu melindungimu, kamu tidak perlu cemas dan mengkhawatirkan apa pun lagi."

Annabele terbangun dari tidur, langsung berdiri dengan jantung yang berdebar. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, merasa baru saja ada seseorang di sana dan bicara padanya.

"Apa cuma mimpi?" Annabele mengguyar rambut ke belakang.

Annabele melihat jendela kamar terbuka, hingga gorden melambai karena tertiup angin.

"Perasaan aku sudah menutupnya tadi."

Annabele turun dari ranjang, kemudian berjalan ke arah jendela untuk menutup. Annabele masih sempat melongok ke luar, merasa ada seseorang yang memperhatikan dirinya. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana, membuat Annabele berpikir jika itu hanya halusinasinya saja.

-

-

Annabele bangun dengan wajah kusut, semalaman tak bisa tidur setelah merasa kalau ada orang lain di kamarnya. Pagi itu sudah bersiap ke kantor seperti biasanya, Annabele memperhatikan nakas dan mencari sesuatu yang hilang dari sana.

"Perasaan semalam masih ada," gumam Annabele.

Annabele menggaruk kepala dengan air muka keheranan, hingga mencoba mengabaikan dan turun ke lantai bawah untuk sarapan.

"Pagi, sayang!" sapa Samantha.

"Pagi, Ma." Annabele menjawab sapaan Samantha dengan suara malas.

"Kenapa wajahmu kusut? Apa kamu tidak enak badan?" tanya Samantha melihat wajah pucat sang putri.

"Tidak, hanya tidak bisa tidur nyenyak semalam," jawab Annabele yang kemudian menutup permukaan bibir karena menguap.

Alex sudah duduk di ruang makan, siap sarapan sebelum pergi sekolah. Annabele juga ikut duduk, mereka bertiga sarapan bersama dengan menu ala kadarnya.

"Apa bingkai foto yang ada di kamar, Mama yang ambil?" tanya Annabele dengan mulut penuh roti.

"Bingkai? Bingkai mana?" tanya Samantha balik karena bingung.

"Bingkai fotoku saat kuliah, yang aku letakkan di atas nakas," jawab Annabele.

Samantha mengernyitkan dahi, kemudian menjawab kalau tidak pernah mengambil bingkai foto dari kamar Annabele.

"Yakin, Mama nggak ambil?" tanya Annabele lagi memastikan.

"Buat apa Mama bohong, lagian kenapa Mama harus ambil?" Samantha merasa terheran-heran.

Annabele terlihat bingung, hingga kemudian tatapan tertuju pada Alex. Baru saja akan membuka mulut untuk bertanya, Alex sudah terlebih dulu bicara.

"Buat apa aku ambil, kayak foto Kakak itu paling cantik," seloroh Alex.

"Eh, aku memang cantik." Tentu saja Annabele tak terima.

"Benarkah? Lalu, kenapa tidak punya pacar sampai sekarang?" tanya Alex menggoda kakaknya.

"Alex, habiskan sarapanmu dan cepat berangkat sekolah. Jangan menggoda kakakmu!"

Perdebatan adik kakak itu berhenti karena ucapan Samantha. Annabele yang merasa dibela sang ibu, lantas menjulurkan lidah untuk mengejek adiknya itu.

Annabele berangkat kerja setelah sarapan. Saat sampai di perusahaan, Annabele terkejut karena banyaknya orang yang berkumpul di samping gedung perusahaan tempak mereka bekerja.

"Ada apa?" tanya Annabele pada salah satu karyawan yang baru saja keluar dari kerumunan.

"Ada karyawan yang bunuh diri, security menduga kalau gadis itu mabuk dan melompat malam tadi. Apalagi bau alkohol tercium dari tubuhnya."

Annabele terkejut mendengar jawaban karyawan itu, selama kerja beberapa bulan di sana, baru kali ini ada kejadian karyawan yang melompat dari gedung. Ia melihat Julie yang keluar dari kerumunan karyawan, langsung menghampiri temannya itu.

"Julie, siapa yang lompat?" tanya Annabele.

"Trishie." Julie tampak menutup permukaan bibir untuk menahan agar tak menangis.

"Astaga!" Annabele cukup terkejut, karena Trishie adalah teman satu divisinya.

Annabele memberanikan diri untuk melihat. Ia membelah kerumunan, hingga mendapati tubuh teman satu divisinya itu mati mengenaskan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status