Happy reading ;)
-------------------
Vin melirik Tara sesaat sebelum kembali melanjutkan pembicaraannya dengan seseorang di sebrang telepon. Tara berusaha bangkit namun tangan pria itu benar benar menguncinya di sana.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Vin gusar. Tara yang masih setia di posisinya mengerut curiga pada pembicaraan sang kekasih di sebrang telepon. Ia memperhatikan raut Vin yang berubah cemas.
"Aku akan kesana, setelah melihat kondisi ayahku." Vin menutup telepon dan melemparnya ke sisi sofa.
"Ada apa?" Tara menatap lekat Vin, ia benar benar tak dapat menebak pembicaraan mereka. Namun melihat raut wajah Vin ia tahu ada hal penting yang mengusiknya.
"Aku.. aku ingin melihat kondisi ayahku."
***
Tara akhirnya membawa Vin ke kamar sang ayah yang tak jauh dari kamarnya. Lorong rumah sakit tampak sepi karena jam telah terhentu di angka 01.00 am. Pria itu melilitkan long coat dan berbelok ke arah kanan saat Tara membukakan p
Waa seneng banget ada permintaan lebih banyak tiap babnya hihi ;) permintaan di terima! LanjuuuttHappy reading ;)----------------Vin mendesah kasar. Pertanyaan Tara benar benar di luar kendali. Bagaimana bisa kekasihnya berfikir ia akan berkencan? Ia hanya ingin melihat keadaan Emily setelah penugasan yang ia lakukan hari ini.Tatapan tajam Tara tak melunak, wanita itu bahkan kerap bergetar marah. Vin menggaruk pelipisnya dan dengan terpaksa ia menggendong Tara di atas bahunya yang kokoh."Astaga! Kau melakukannya lagi?! Vin turunkan aku!" Tara memukul punggung sang kekasih dengan keras. Namun pria itu justru menepuk bokong Tara memperingati. "Diamlah, semua pasienmu akan terganggu karena suaramu.""Baiklah baiklah, cepat turunkan aku jika tidak aku akan membunuhmu," desis Emily tepat di balik telinga prianya.Vin menggeram samar dan memilih mempercepat langkahnya menuju mobil yang telah di siapkan Matt. Beberapa petugas secu
Happy reading ;)------------------Tara memandang wajah Emily yang terkesan angkuh dan dingin dari balik kaca wastafel. Wanita itu terlihat cantik alami dengan rambut golden blonde menutupi hingga bahu. Namun entah mengapa sifat Emily dan Vin benar benar sama.Tata menempatkan kedua tangan di bawah hand dryer sebelum kembali duduk berhadapan dengan Emily. "Jangan salah paham, aku bukan kekasih Vin." Emily menyingkap selimut yang menutupi sebagian kakinya. Ia berjalan menuju soffa dan menuangkan tequila pada dua gelas kosong.Sedang Tara, ia terdiam lalu mengikuti langkah Emily dan duduk di sampingnya. Ada rasa tak enak hati menyusup dalam hatinya. "Ah, aku hanya... maafkan aku," lirihnya pasrah.Ia pun tidak tahu alasan apa yang tepat untuk membalas ucapan Emily yang faktanya memang benar. Emily terkekeh geli. "Mengapa kau minta maaf? Apa perkataan ku benar? Aku hanya memancing tadi." Ia meneguk tequila hingga tandas. Namun Tara dapat menangkap se
Happy reading ;)---------------------Emily terkejut. Namun ia pintar menutupi dengan hanya memandang datar Tara. "Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?" Emily menyandarkan punggungnya ke head soffa."Karena, untuk apa ia memiliki markas sebesar ini dan kau lihat orang orang di sana tampak kekar dan cukup menakutkan. Termasuk ... ," pandangan Tara jatuh pada wanita di depannya."Me?" tunjuk Emily pada dirinya sendiri. Tara mengangguk perlahan seraya menggigit bibir bawah tak enak hati. "Ma- maksudku kau begitu tampak seperti pemain film action dan buktinya kau terluka, jadi ku pikir.. .""Sayang?" suara Vin terdengar merdu berbeda dengan langkahnya berderap kesal. Tara berdehem samar dan beranjak menghampiri kekasihnya."Lukanya akan membaik kurang lebih tiga hari ke depan. Jadi aku sarankan kau banyak istirahat."Emily tersenyum simpul dan beralih memandang wajah Vin. Entah apa yang mereka bicarakan Emily dapat menangkap kekesala
Happy reading ;)-------------------Tara mengerjap menetralkan sinar yang menembus melalui jendela mobil. Ia menutup matanya dengan punggung tangan. Sementara Vin mengerang terganggu oleh gerakan Tara dalam pelukannya."Astaga apa kita tertidur di mobil?" Tara membenarkan posisi duduk dan melihat keadaan di luar sana."Hmm ku rasa begitu." Vin mengusap wajahnya perlahan. Mereka merapikan baju dengan sesekali tertawa kecil."Kau harus beristirahat," ujar Tara saat mereka tiba di depan lobby utama rumah sakit. "Bagaimana denganmu?" Vin merangkul Tara memaksa wanita itu masuk kembali dalam pelukannya. Ia hanya tersenyum dan langkah mereka terhenti saat seorang perawat tergesa menghampiri Tara."Dokter Tara maaf, tapi kami butuh bantuanmu."***"Periksa detaknya," ucap Tara saat ia telah datang bergabung bersama tim. Laura menghentikan CPR. Sementara Nick yang berada di sana memonitor pernafasan pasien."Denyutnya tak
Happy reading ;)------------------"Mr Ryan." Tara membungkuk hormat."Mari bicara," ucapnya tajam. Ryan berbalik dengan langkah tergesa."Ke kamarlah, aku akan menyusulmu," ujar Tara pada Vin. Bibir itu tersenyum lembut kemudian mengikuti langkah Ryan."Astaga.. kau akan dapat masalah." Gabriella segera berlari menyusul sahabatnya.Tara membuka handle pintu saat Ryan sudah masuk lebih dulu. Wanita itu meletakkan tasnya di atas meja, Langkahnya terlampau santai seiring dengan raut wajah yang acuh.Ryan berbalik menatapnya tajam. Namun tamparan keras membuat Tara terpelanting ke sisi kanan. "Kau gila? Huh? Beraninya kau melakukan hal besar itu di ruangan biasa! Siapa yang bertanggung jawab jika ia mati?!" geramnya emosi.Tara mengerjap menetralkan pandangan yang berkunang. Ia menggeleng kepala cepat berusaha bangkit."Pembedahan berhasil, pasiennya stabil. Apa hakmu berbuat seperti ini padaku!" pekiknya tak terima.
Happy reading ;)--------------------Tara mendelik malas. Ia kembali fokus pada ponselnya. Sedang Nick, dapat menangkap ketidaksukaan Tara karena kedatangannya.Melihat Mr Ryan meminta bicara dengan Tara, ia telah menaruh curiga. Namun Gabriella lebih dulu menghampirinya.Nick tak bisa apa apa selain menunggu keadaan memungkinkan. Tapi, setelah memutuskan menemui Tara sekarang, ternyata sama saja untuknya."Tara, kau memar." Nick meraih dagu Tara memastikan."Jangan sentuh aku!" Tara mengusap dagunya kasar. Ia tak ingin di sentuh pria yang telah berhianat padanya.Ia sudah memaafkan, namun itu pun tak kunjung membuat Tara berbaik hati pada Nick. Pria itu menghembuskan nafas kasar."Apa yang ia lakukan padamu?" tanya Nick geram."Tidak ada yang terjadi, sebaiknya kau urusi urusanmu." Tara melempar ponsel ke atas bed. Ia kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan lengan."Ini botolnya," ucap Gabriella saat tiba
Happy reading ;)------------------"Ma- maafkan aku," lirihnya. Nick menghempas pria itu hingga tersungkur. "Harusnya kau hanya memberinya pelajaran, bukan memukulnya dengan tangan sialanmu!" Nick melepas dua kancing kemeja teratas dengan kasar."Jika kau melakukannya lagi, akan ku pastikan kau kehilangan jabatanmu." Nick berderap keluar meninggalkan Ryan yang tengah menatapnya tajam.Sejak orang tua Nick menjadi pemegang kendali di rumah sakit, Nick adalah orang pertama yang berlaku sesuai keinginannya tanpa melihat jabatannya di rumah sakit.Ryan memukul lantai dengan kepalan tangannya yang mengerat marah. Bahkan ia telah diinjak oleh pria yang lebih muda darinya. Brengsek!***Tara terbangun dan menyadari bahwa kini ia tertidur di ruang praktiknya sendiri. Ia mengusap pipinya yang masih sedikit kaku. "Ah benar benar.""Kau sudah bangun?" sapa Gabriella saat masuk ke dalam ruangan. "Pulanglah, aku akan menggantikan shi
Happy reading ;)-----------------Matt dan Fyodor segera terbangun mendengar pekikan Tara. Ia berdiri saling menatap. "Posisimu tadi, sa- sangat romantis. La- lanjutkan." Tara berbalik menuju kamar."Astaga aku terlalu lelah jadi tidur di bahumu." Matt meregangkan otot tubuhnya dan kembali merebahkan diri di atas sofa.Vin hanya menghembuskan nafas kasar sebelum masuk ke dalam kamar Tara. Ia mengernyit menatap wanitanya yang diam mematung."Kau kenapa?" tanya Vin perlahan menutup pintu."Apa kau yang mengganti semua perabotan apartemen ku? Lalu ini.. Astaga mengapa kau melakukannya?" Tara berbalik menatap Vin yang berjalan santai hingga tidur di atas kasur."Aku akan tinggal denganmu," jawabnya santai. Ia memejamkan mata dan menaruh kedua tangan di belakang kepalanya."Apa?! Bagaimana bisa begitu?" Tara melempar tas bersamaan dengan matanya yang menajam tak suka."Bisa, karena aku telah mengganti semua barang bara