Utami benar-benar membuktikan kata sebentar yang ia janjikan sebelumnya. Hanya dalam waktu satu jam ia sudah kembali menyerahkan Aurora kepada Lavina kemudian Utami pamit pergi.Aurora tidak terlihat antusias, tapi juga tidak tampak murung. Anak itu biasa-biasa saja setelah berkeliling mall dan berakhir dengan membeli banyak mainan yang dibayar Utami.Setibanya di rumah, Auriga sudah menunggu di beranda dan bergegas menghampiri mereka yang baru saja turun dari mobil.“Ke mana saja jam segini baru sampai rumah?” tanya Auriga seraya melirik arloji.Dengan tenang, Lavina menjawab, “Oh? Itu, tadi aku sama Aurora jalan-jalan dulu ke mall bareng Tante Utami. Soalnya Tante Utami lagi kangen sama Aurora dan—”“Tante Utami?” sela Auriga dengan raut muka yang mendadak berubah mengeras. “Maksud kamu, neneknya Aurora?”Lavina mengangguk. “Iya.”Seolah mengerti dengan ekspresi wajah ayahnya yang tiba-tiba muram, Aurora menyembunyikan paper bag ke belakang tubuhnya. Namun, hal itu tidak membuat pap
“Dengar cerita liburan kamu, aku jadi kangen sama kakek dan nenekku di Korea,” ucap Juna setelah memasukkan mie ramen ke mulutnya menggunakan sumpit.Akhir-akhir ini, entah karena apa alasannya, Juna mengganti panggilan gue-elo dengan aku-kamu saat berinteraksi dengan Lavina, membuat Lavina merasa sedikit canggung hingga tanpa sadar ia pun mengikuti Juna.Lavina tertawa kecil mendengar ucapan Juna barusan, ia baru saja selesai bercerita panjang lebar mengenai pengalamannya liburan ke Korea dengan penuh semangat.“Semoga aku punya kesempatan buat datang lagi ke sana," gumam Lavina penuh harap.“Kenapa nggak nyoba ikut program beasiswa S2 aja di Korea, Vin?”“Mungkin aku mau nyoba kalau udah lulus tahun depan.”“Tinggal dua semester lagi, lho. Mending siapin dari sekarang. Sering-sering belajar buat ikut tes TOEFL atau TOPIK.”Lavina menghentikan gerakan mulutnya yang tengah mengunyah makanan ketika ia teringat akan sesuatu. Melamar beasiswa S2 dari pemerintah Korea adalah impiannya sej
Lavina tertawa sendiri, lalu ia pun diam dan kembali menatap pemandangan di sebelah. Ia jauh lebih senang memandangi abang ojol yang melaju di samping mobil ketimbang menatap Auriga.“Setidaknya, kamu nggak perlu berbohong pada laki-laki itu. Tinggal jawab saja saya ini suami kamu. Apa susahnya?” ujar Auriga lagi, suaranya yang berat memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua."Kenapa harus?" Lavina balas bertanya dan menatap Auriga dengan alis terangkat. “Kita menikah, ‘kan, cuma sebatas perjanjian aja. Di luar aku bebas dong mau ngapain aja dan bebas jalan bareng siapa aja.”Tiba-tiba, Lavina terkejut ketika Auriga mendadak membanting stir ke tepian jalan, lalu mobil pun berhenti di tempat yang tidak begitu ramai. Lavina berpikir, bahwa Auriga pasti akan mengusirnya dari mobil lalu meninggalkannya.Lavina mendengus. Siapa takut? Ia bisa kok pulang sendirian. Lagipula siapa juga yang minta dijemput!Namun, Lavina kecele. Pria itu justru malah mendekatkan tubuhnya
Lavina terhenyak. Matanya kembali terbelalak melihat pecahan kristal itu di lantai. Lavina mengepalkan tangannya. Ia menghampiri Resa dan berseru marah, “Kakak kalau mau ngapain aja di rumah ini boleh! Tapi Kakak juga perhatiin dong etikanya, ini tuh rumah suami aku, bukan—aaah!”Sebuah tamparan keras di pipi membuat ucapan Lavina tiba-tiba terhenti. Wajah Lavina terlempar ke samping. Kepalanya pening dan pipinya terasa kebas.“Jangan sok deh! Mentang-mentang jadi istri orang kaya lo bisa teriak-teriak di depan gue seenaknya!” berang Resa, yang tak tampak merasa bersalah sedikit pun telah memecahkan miniatur pesawat itu. “Nyesel gue datang ke sini. Demi benda kayak gitu lo sampai kurang ajar sama gue! Ayo, Ma, kita pergi aja dari sini.”Mawar mendelik tajam pada Lavina, lalu ia pun beranjak dari sofa dan menyusul Resa menuju pintu keluar.“Mau ke mana?” Lavina mengejar Resa dengan wajah merah padam. “Kak Resa harus tanggung jawab dan minta maaf sama suami aku!”Resa tak menghiraukan d
“Sudah berapa lama kamu diperlakukan seperti ini?”“Huh? Maksud Om?”Auriga menempelkan handuk hangat itu ke sudut bibir Lavina yang berdarah, yang membuat Lavina seketika membeku.“Maksud saya, sejak kapan mereka memperlakukanmu dengan nggak baik seperti tadi?” ulang Auriga, memperjelas maksud dari pertanyaannya barusan.Lavina diam cukup lama. Perasaannya saat ini terasa campur aduk. Sikap Auriga yang tiba-tiba perhatian seperti ini membuat Lavina mendadak linglung.“Kalau nggak mau cerita, ya sudah. Saya nggak memaksa.” Nada suara Auriga terdengar sedikit jengkel.“Sejak Ayah meninggal,” timpal Lavina dengan cepat. “Enam tahun yang lalu.”Pupil Auriga melebar. “Dan selama itu kamu diam saja?”“Nggak. Aku selalu melawan. Makanya aku sama Kak Resa sering bertengkar dan adu fisik kayak tadi.” Lavina membuang napas, ia meringis saat Auriga menempelkan handuk hangat lagi di sudut bibirnya yang mulai terasa agak nyeri. “Mama cuma bersikap baik kalau di depan Ayah saja. Saat Ayah pergi ke
Lavina sedang membahas tugas yang diberikan dosen. Karena Juna mahasiswa berpengalaman di semester sebelumnya, ia meminta tolong pada lelaki itu untuk berdiskusi dengannya.Saat sedang asyik mencatat jawaban, seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapan mereka dan Lavina merasakan dirinya langsung ditatap oleh orang yang baru saja duduk itu.Lavina mendongak, matanya seketika membelalak. “Ngapain Om di sini?” tanya Lavina tanpa suara, hanya bibirnya saja yang komat-kamit.Juna pun terkejut melihat keberadaan Auriga di hadapan mereka. Ia berdehem pelan dan sedikit menggeser tubuhnya agak menjauhi Lavina.“Saya mau jemput kamu, Aurora rewel.”Mata Lavina mengerjap. “Kalau memang Aurora rewel, kenapa Om repot-repot datang ke sini? Kan bisa di chat aja.”Auriga membuang napas pelan. “Kamu nggak percaya sama saya?”“Percaya kalau ada bukti.” Lavina ingat ketika mereka sedang di Korea, Auriga pun menggunakan alasan yang sama ketika ia sedang asyik menghabiskan waktu di sauna bersama Young S
“Tapi dalam perjanjian kita nggak ada poin yang melarang kita untuk saling menyentuh,” timpal Auriga, “itu hanya ucapan saya saja, nggak disepakati secara resmi.”“APA?!” Mata Lavina tiba-tiba membelalak. “Itu nggak adil dong, Om!” serunya, kesal.Auriga menanggapinya dengan senyuman samar. “Makanya, dulu saya sudah kasih kesempatan untuk menambahkan poin apa saja yang sekiranya kamu mau cantumkan di surat perjanjian. Tapi kamu cuma iya-iya aja.”Lavina ingin protes lagi, tapi ucapan Auriga benar adanya. Itu kesalahan Lavina sendiri karena tidak mencamtumkan poin tersebut dalam perjanjian.Saking kesal, Lavina meneguk minumannya dengan cepat. Hingga tanpa Lavina sadari, ada sisa minuman yang menempel di bibir atasnya.“Jadi, jangan marah lagi. Saya sama sekali nggak menganggap kamu sebagai Flora,” lanjut Auriga sembari menoleh pada Lavina, lalu, detik itu juga ia menelan saliva, matanya sedikit melebar menatap bibir Lavina yang terlihat… menggoda.Mobil berhenti di lampu merah, tanpa
Lavina merasakan tubuhnya seperti terpenjara saat ia terbangun pagi ini. Begitu matanya terbuka, Lavina terkesiap karena pemandangan yang pertama ia lihat adalah wajah Auriga, yang jaraknya begitu dekat dengannya. Bahkan, Lavina bisa merasakan napas hangat Auriga yang menerpa wajah.Kenapa dia bisa ada di sini? Ke mana Aurora? Terus kenapa orang ini bisa memelukku seperti ini?! batin Lavina dengan perasaan waspada sekaligus kebingungan.Lavina kesulitan melepaskan diri dari pelukan Auriga, karena pria itu menguncinya sangat erat.Alhasil, Lavina memilih untuk diam saja sembari memandangi paras Auriga yang ternyata… memesona.Lavina tidak mau mengakui itu, akan tetapi… ia juga tidak bisa membohongi diri bahwa Auriga memang tampan. Kali ini Auriga mencukur habis cambangnya, yang membuat wajahnya tampak jauh lebih muda dan ada warna hijau kebiruan samar-samar pada bekas tumbuhnya rambut itu.Saat Lavina tengah memandangi wajah Auriga, tiba-tiba, kelopak mata pria itu perlahan terbuka.La