Share

6A. Wanita Berambut Pirang

“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma

bocah kemaren

yang masih minta duit sama orang tua.”

Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.

Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles

make up. Sehari-harinya hanya memakai

sunscreen

dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain

lip gloss

untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.

Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.

Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.

Calon suami Lavina bukan

bocah kemarin

yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tua, melainkan seorang pilot, anak pertama pengusaha kaya raya. Wajah Auriga yang tampan dan usianya yang matang, membuat jantung Resa berdebar-debar saat memandanginya. Resa merasa dunia ini tidak adil, karena seharusnya pria seperti Auriga tertarik kepada dirinya, bukan kepada Lavina.

“Lo pake susuk? Berapa biji? Pasang di mana? Pasti dukunnya udah pro banget sampai-sampai calon suami lo mau nikah sama lo,” sindir Resa.

Namun Lavina sama sekali tidak menggubris. Meladeni Resa hanya membuang-buang energi dan waktunya saja.

Sementara itu, Mawar tidak banyak berkomentar. Kalungnya yang hilang sudah Lavina ganti dengan uang sebesar harga kalung tersebut, yang Lavina dapatkan dari Auriga.

Tentu saja Mawar tidak melarang pernikahan Lavina, karena ia pikir ekonomi Auriga yang bagus bisa menunjang kehidupan keluarga Mawar yang pas-pasan jika sudah menjadi suami Lavina kelak.

***

Di dalam

ballroom

mewah yang dipenuhi cahaya gemerlap, langit-langit tinggi berkilauan dengan kristal-kristal

glistening

yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Aroma harum bunga-bunga segar mengisi udara, mencampur dengan tawa dan bisikan haru dari para tamu yang mengenakan pakaian penuh gaya.

Di panggung, di bawah lengkungan bunga putih yang indah, Auriga berdiri dengan elegan dalam setelan jas hitamnya. Wajahnya yang tampan, bibirnya yang tak berhenti melukiskan senyuman pada tamu yang menghampiri. Seakan-akan Auriga bahagia dengan pernikahan ini.

Sementara di sampingnya, berdiri sang pengantin wanita. Dalam gaun putih murni yang mengalir dengan lemah lembut, ia berdiri dengan percaya diri, senyuman bahagia menghiasi bibirnya. Rambutnya yang dihias dengan mahkota bunga, menyatu dengan wajahnya yang ceria.

Namun, benarkah Lavina bahagia dengan pernikahannya?

Oh, tentu saja tidak. Ia dipaksa menikah oleh keadaan, dengan laki-laki yang tidak dicintai, di usia muda yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk menikah.

Lavina terlihat bahagia sebab ia sedang menikmati peran. Semua orang yang ada di

ballroom

ini mungkin mengira bahwa ia dan Auriga menikah karena saling mencintai.

Daddy Axl dan Mommy Darly—orang tua Auriga, adalah orang yang baik, mereka menerima Lavina dengan tangan terbuka dan pelukan hangat.

Dan di antara semua orang yang ada di ruangan ini, ada satu orang yang terlihat paling bahagia atas pernikahan Lavina dan Auriga. Dia Aurora.

“Baru kali ini Mommy melihat Aurora sebahagia itu, Vin,” ucap Mommy Darly seraya memperhatikan Aurora yang tak berhenti tersenyum lebar memandangi Lavina.

Anak itu sejak tadi berdiri di antara Lavina dan Auriga, tapi sekarang Auriga sedang berganti pakaian di kamarnya.

“Oh? Benarkah?” Lavina mengerjap tak percaya. Ia sempat melirik ponsel Auriga yang tertinggal di kursi, layar ponselnya menyala, ada panggilan masuk.

“Hm.” Mommy Darly tersenyum. “Dia sepertinya sangat menyukai kamu.”

Lavina menunduk sambil tersenyum malu. “Semoga aku bisa jadi ibu yang baik buat Aurora… Mom,” bisiknya.

Lavina tertegun saat ibu mertuanya itu mengusap lembut punggungnya. Ia lupa kapan terakhir kali mendapat perlakuan seperti ini dari sang ayah yang telah tiada.

“Mommy percaya sama kamu, Lavina.”

Seulas senyum lebar terlukis di bibir Lavina sambil mengangkat wajahnya lagi. “Terima kasih banyak, Mom.”

Percakapan mereka terinterupsi saat seorang petugas menghampiri dan meminta Lavina untuk ganti kostum dengan gaun yang lain.

Lavina mengangguk mengerti. Setelah berjalan dua langkah, ia kembali ke kursi untuk mengambil ponsel Auriga yang kembali berdering. Lavina khawatir ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan si penelepon.

Kemudian Lavina berjalan dengan sedikit tertatih karena baru kali ini memakai

high heels

sepuluh senti yang terasa begitu menyiksa.

“Mbak, kalau Om—eh, s-suami saya ada di mana ya?” tanya Lavina, yang hampir saja menyebut Auriga dengan panggilan

om

di hadapan orang lain.

“Ada di kamar yang di ujung lorong itu, Mbak. Mbak Lavina mau ketemu Mas Auriga dulu?”

“Iya.” Lavina mengangguk. “Boleh?”

“Tentu aja boleh.” Wanita yang bertanggung jawab pada pengantin wanita itu pun tertawa. “Tapi jangan lama-lama ya, Mbak. Ditunda dulu kangen-kangenannya,” bisiknya, bercanda.

Lavina meringis dengan pipi tersipu. Mereka kemudian berpisah. Wanita itu masuk ke ruangan yang digunakan untuk merias Lavina, sedangkan Lavina terus berjalan di lorong menuju ruangan Auriga.

Tatapan Lavina tertuju pada pintu coklat di ujung lorong. Detik berikutnya pintu itu terbuka, lalu keluarlah seorang wanita cantik berambut pirang sepinggang dari sana. Gaunnya yang seksi dan ketat membuat lekuk tubuhnya terlihat begitu sempurna.

Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
bener² emang ya nih om duda masih acara resepsi padahal udah sama wanita lain aja dikamar hotel
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
siapa itu wanita rambut pirang , ya kali baru resepsi malah hohohehe sama orang lain.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status