“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma
bocah kemarenyang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.
Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles
make up. Sehari-harinya hanya memakaisunscreendan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selainlip glossuntuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.
Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.
Calon suami Lavina bukan
bocah kemarinyang biaya hidupnya masih ditanggung orang tua, melainkan seorang pilot, anak pertama pengusaha kaya raya. Wajah Auriga yang tampan dan usianya yang matang, membuat jantung Resa berdebar-debar saat memandanginya. Resa merasa dunia ini tidak adil, karena seharusnya pria seperti Auriga tertarik kepada dirinya, bukan kepada Lavina.“Lo pake susuk? Berapa biji? Pasang di mana? Pasti dukunnya udah pro banget sampai-sampai calon suami lo mau nikah sama lo,” sindir Resa.
Namun Lavina sama sekali tidak menggubris. Meladeni Resa hanya membuang-buang energi dan waktunya saja.
Sementara itu, Mawar tidak banyak berkomentar. Kalungnya yang hilang sudah Lavina ganti dengan uang sebesar harga kalung tersebut, yang Lavina dapatkan dari Auriga.
Tentu saja Mawar tidak melarang pernikahan Lavina, karena ia pikir ekonomi Auriga yang bagus bisa menunjang kehidupan keluarga Mawar yang pas-pasan jika sudah menjadi suami Lavina kelak.
***
Di dalam
ballroommewah yang dipenuhi cahaya gemerlap, langit-langit tinggi berkilauan dengan kristal-kristalglisteningyang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Aroma harum bunga-bunga segar mengisi udara, mencampur dengan tawa dan bisikan haru dari para tamu yang mengenakan pakaian penuh gaya.Di panggung, di bawah lengkungan bunga putih yang indah, Auriga berdiri dengan elegan dalam setelan jas hitamnya. Wajahnya yang tampan, bibirnya yang tak berhenti melukiskan senyuman pada tamu yang menghampiri. Seakan-akan Auriga bahagia dengan pernikahan ini.
Sementara di sampingnya, berdiri sang pengantin wanita. Dalam gaun putih murni yang mengalir dengan lemah lembut, ia berdiri dengan percaya diri, senyuman bahagia menghiasi bibirnya. Rambutnya yang dihias dengan mahkota bunga, menyatu dengan wajahnya yang ceria.
Namun, benarkah Lavina bahagia dengan pernikahannya?
Oh, tentu saja tidak. Ia dipaksa menikah oleh keadaan, dengan laki-laki yang tidak dicintai, di usia muda yang sebelumnya tak pernah terpikir untuk menikah.
Lavina terlihat bahagia sebab ia sedang menikmati peran. Semua orang yang ada di
ballroomini mungkin mengira bahwa ia dan Auriga menikah karena saling mencintai.Daddy Axl dan Mommy Darly—orang tua Auriga, adalah orang yang baik, mereka menerima Lavina dengan tangan terbuka dan pelukan hangat.
Dan di antara semua orang yang ada di ruangan ini, ada satu orang yang terlihat paling bahagia atas pernikahan Lavina dan Auriga. Dia Aurora.
“Baru kali ini Mommy melihat Aurora sebahagia itu, Vin,” ucap Mommy Darly seraya memperhatikan Aurora yang tak berhenti tersenyum lebar memandangi Lavina.
Anak itu sejak tadi berdiri di antara Lavina dan Auriga, tapi sekarang Auriga sedang berganti pakaian di kamarnya.
“Oh? Benarkah?” Lavina mengerjap tak percaya. Ia sempat melirik ponsel Auriga yang tertinggal di kursi, layar ponselnya menyala, ada panggilan masuk.
“Hm.” Mommy Darly tersenyum. “Dia sepertinya sangat menyukai kamu.”
Lavina menunduk sambil tersenyum malu. “Semoga aku bisa jadi ibu yang baik buat Aurora… Mom,” bisiknya.
Lavina tertegun saat ibu mertuanya itu mengusap lembut punggungnya. Ia lupa kapan terakhir kali mendapat perlakuan seperti ini dari sang ayah yang telah tiada.
“Mommy percaya sama kamu, Lavina.”
Seulas senyum lebar terlukis di bibir Lavina sambil mengangkat wajahnya lagi. “Terima kasih banyak, Mom.”
Percakapan mereka terinterupsi saat seorang petugas menghampiri dan meminta Lavina untuk ganti kostum dengan gaun yang lain.
Lavina mengangguk mengerti. Setelah berjalan dua langkah, ia kembali ke kursi untuk mengambil ponsel Auriga yang kembali berdering. Lavina khawatir ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan si penelepon.
Kemudian Lavina berjalan dengan sedikit tertatih karena baru kali ini memakai
high heelssepuluh senti yang terasa begitu menyiksa.“Mbak, kalau Om—eh, s-suami saya ada di mana ya?” tanya Lavina, yang hampir saja menyebut Auriga dengan panggilan
omdi hadapan orang lain.“Ada di kamar yang di ujung lorong itu, Mbak. Mbak Lavina mau ketemu Mas Auriga dulu?”
“Iya.” Lavina mengangguk. “Boleh?”
“Tentu aja boleh.” Wanita yang bertanggung jawab pada pengantin wanita itu pun tertawa. “Tapi jangan lama-lama ya, Mbak. Ditunda dulu kangen-kangenannya,” bisiknya, bercanda.
Lavina meringis dengan pipi tersipu. Mereka kemudian berpisah. Wanita itu masuk ke ruangan yang digunakan untuk merias Lavina, sedangkan Lavina terus berjalan di lorong menuju ruangan Auriga.
Tatapan Lavina tertuju pada pintu coklat di ujung lorong. Detik berikutnya pintu itu terbuka, lalu keluarlah seorang wanita cantik berambut pirang sepinggang dari sana. Gaunnya yang seksi dan ketat membuat lekuk tubuhnya terlihat begitu sempurna.
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?
***
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga
“Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da
“Aurora?! Boleh aku masuk?!” seru Lavina sembari melongokan kepala di celah pintu kamar Aurora yang terbuka, bibirnya tersenyum lebar.Aurora sedang menulis di meja belajar. Anak itu menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk.Setelah mendapat izin, Lavina pun menghampiri Aurora. “Hey, rajin sekali! Pagi-pagi udah belajar aja ya?” candanya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di bibirnya.Aurora terkikik sembari menutup buku lalu memeluknya di dada, seolah takut buku itu akan direbut Lavina. “Aunty nggak boleh lihat!”“Eh?”Lavina terkejut hingga langkahnya mendadak berhenti di dekat meja.Bukan. Ia bukan terkejut karena Aurora terlihat memiliki rahasia di buku itu. Namun, Lavina terkejut karena panggilan aunty yang Aurora lontarkan barusan.“Aun… ty?” gumam Lavina. Padahal sejak awal bertemu, Aurora selalu memanggilnya mommy. Ada apa dengan anak ini?Aurora turun dari kursi, lalu menggenggam tangan Lavina dan menariknya ke tepian tempat tidur. Keduanya duduk di sana berdampingan.“A
“Om manggil aku? Ada apa?” Lavina menghampiri Auriga yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.Auriga menoleh, satu alisnya menukik ke atas melihat rambut Lavina yang basah. “Saya sudah nyiapin hairdyer di kamar kamu.”“Oh, itu.” Lavina meraba rambutnya sendiri. “Aku lebih suka rambut kering secara alami. Kasihan banget rambut aku kalau terus-terusan dipanasin hairdryer,” katanya sambil melompat duduk di samping Auriga, yang membuat Auriga sedikit berjengit.“Bisa duduk pelan-pelan? Ini sofa, bukan tempat sirkus,” desis Auriga dengan nada kesal.Lavina menyengir lebar. “Maaf.”Kemudian Lavina merebut remote televisi di tangan Auriga tanpa permisi dan memindahkan channel sesuka hati.Rahang Auriga mengetat, ia mengembuskan napas dengan kasar.“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, sesuatu yang cukup serius.” Auriga merebut remote itu kembali dan menaruhnya di meja. “Fokus ke saya, jangan ke televisi.”“Baiklah….”Lavina mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Auriga, kakinya