Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?
Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.
Harum banget, parfumnya pasti mahal.Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.
Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas
wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”
“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.
Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti malam yang gelap dan dalam, seakan-akan ia memiliki dunia sendiri di dalamnya.
“Kamu terpesona dengan ketampanan saya?”
Lavina terperanjat saat Auriga melambaikan tangan di depan wajahnya. Ia mendecak pelan. “Memangnya siapa yang bilang Om ganteng? Jangan ke-pede-an deh, Om."
Auriga mengedikkan bahu dan menjejalkan kedua tangan ke saku celana. “Ada apa kamu ke sini?”
“Handphone
Om ketinggalan di kursi. Dari tadi bunyi terus, khawatir ada yang penting gitu,” jelas Lavina sembari menyerahkan ponsel dalam genggamannya.“Oh. Terima kasih.” Auriga mengambil benda tipis tersebut den mengeceknya. Ekspresinya tetap terlihat datar. “Saya sudah selesai dan mau ke
ballroomsekarang.”Lavina mengangguk cepat. “Kalau gitu aku mau ganti baju dulu.” Ia sudah mengubah panggilan
saya menjadiaku. Entahlah, tapi menurut Lavina katasaya itu terlalu formal.Lavina sempat melihat ke dalam ruangan Auriga melalui celah pintu yang terbuka, tapi tidak ada siapapun di sana. Ia kemudian berbalik untuk kembali ke kamarnya, tapi langkah Lavina tiba-tiba terhenti dan ia kembali menghampiri Auriga.
“Aku penasaran sama perempuan tadi. Dia saudara Om Auriga, ya? Kok tadi aku nggak lihat dia di barisan keluarganya Om?” cerocos Lavina yang tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
Alis Auriga terangkat. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel dalam genggamannya pada Lavina. “Perempuan tadi? Siapa maksud kamu? Banyak perempuan yang saya temui dari tadi di
ballroom.”“Bukan itu.” Lavina mengibaskan tangannya di udara. “Tapi perempuan yang rambutnya pirang, yang baru keluar dari kamar Om barusan.”
Raut muka Auriga mendadak berubah. Rahangnya mengetat. “Bukan siapa-siapa,” katanya datar seraya memasukkan ponsel ke saku celana.
Auriga akan pergi, tapi Lavina menahannya.
“Oh? Bukan saudara, ya? Pantesan.” Lavina manggut-manggut. Lalu tersenyum lebar dan bertanya lagi, “Terus siapa? Teman Om?”
“Bisa berhenti bertanya?”
“Nggak bisa.” Lavina menggeleng cepat. “Aku penasaran jadi nggak bisa berhenti nanya.”
“Begitu ya?” Auriga tersenyum miring, ia melangkah mendekati Lavina, membuat Lavina seketika mundur beberapa langkah. “Selain wanita tadi, apa lagi yang ingin kamu tahu tentang saya?” Ia terus melangkah maju.
Lavina semakin mundur, matanya membelalak ketika nyaris tak ada jarak antara ia dan Auriga, punggung Lavina membentur dinding. Ia panik.
“O-Om mau apa?!!” pekik Lavina. “Mundur nggak?”
“Katakan, apa lagi yang ingin kamu tahu tentang saya, hm?” tanya Auriga sekali lagi seraya menunduk menatap Lavina. Ia tidak memedulikan perintah Lavina untuk mundur.
Lavina menggeleng cepat. Jemarinya meremas gaun putihnya dan berkata, “Ng-nggak ada! Cuma penasaran sama… perempuan tadi.”
Bohong. Kenyataannya Lavina ingin tahu bagaimana kehidupan Auriga selama ini. Tentang bagaimana bisa seorang Auriga berpisah dengan mantan istrinya? Apakah Auriga yang mencampakkan mantan istrinya lebih dulu atau justru sebaliknya?
“Kamu lupa sama perjanjian yang sudah kamu tandatangani?” bisik Auriga, mengingatkan Lavina pada perjanjian pernikahan mereka yang sudah ditandatangani dua belah pihak beberapa hari lalu.
Lavina menggeleng cepat, membuat mahkota bunga di kepalanya sedikit bergoyang. “Nggak bakal lupa! Tapi kalau aku atau Om sengaja melanggar, apa konsekuensinya?”
“Melanggar?”
“Hm! Misalnya Om nggak menafkahi aku atau menyakiti aku. Atau aku yang ikut campur dan… jatuh cinta sama Om, apa konsekuensinya?” cecar Lavina tanpa beban. Perlahan ia mendorong dada Auriga hingga pria itu berdiri tegak dan mundur selangkah.
Auriga membuang napas dan melipat tangan di dada. “Seperti yang saya bilang waktu itu, saya nggak akan menyakitimu atau menceraikanmu,” katanya dengan serius. “Tapi jangan jatuh cinta sama saya, karena kalau sampai itu terjadi dan kamu terluka, saya nggak akan bertanggung jawab. Itu kesalahanmu sendiri.”
Lavina mengerjap. Ia segera mengejar Auriga yang tiba-tiba pergi dari hadapannya. Karena kakinya belum terbiasa mengenakan
high heels, Lavina nyaris terjatuh andai saja ia tidak berpegangan pada dinding.“Baiklah, Om nggak usah ngekhawatirin perasaanku karena aku nggak bakal jatuh cinta sama Om,” ujar Lavina, yang membuat langkah kaki Auriga terhenti.
Auriga berbalik, menatap Lavina dengan ekspresi datar.
Lavina tersenyum lebar sembari menunjuk wajah Auriga. “Om emang ganteng dan bisa bikin perempuan cepat jatuh cinta,” akunya dengan jujur, lalu menggelengkan kepala. “Tapi Om bukan tipe laki-laki idaman aku.”
Auriga menyipitkan mata hitamnya.
Lavina mendekat, berjinjit dan berbisik di telinga Auriga. “Aku lebih suka cowok Korea. Jadi perjanjian kita bakalan tetap aman.” Kemudian mundur masih dengan senyuman lebarnya.
Auriga mendengus pelan. “Baguslah,” katanya, lalu berbalik badan. Namun, sedetik kemudian Auriga kembali berbalik menghadap Lavina dan berkata, “Ah, satu hal yang harus kamu tahu. Kamu juga bukan tipe perempuan idaman saya. Saya nggak suka anak kecil apalagi….” Mata Auriga memindai tubuh Lavina dari ujung kepala hingga kaki. “…. Apalagi dengan bentuk tubuh seperti ini.”
***
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga
“Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da
“Aurora?! Boleh aku masuk?!” seru Lavina sembari melongokan kepala di celah pintu kamar Aurora yang terbuka, bibirnya tersenyum lebar.Aurora sedang menulis di meja belajar. Anak itu menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk.Setelah mendapat izin, Lavina pun menghampiri Aurora. “Hey, rajin sekali! Pagi-pagi udah belajar aja ya?” candanya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di bibirnya.Aurora terkikik sembari menutup buku lalu memeluknya di dada, seolah takut buku itu akan direbut Lavina. “Aunty nggak boleh lihat!”“Eh?”Lavina terkejut hingga langkahnya mendadak berhenti di dekat meja.Bukan. Ia bukan terkejut karena Aurora terlihat memiliki rahasia di buku itu. Namun, Lavina terkejut karena panggilan aunty yang Aurora lontarkan barusan.“Aun… ty?” gumam Lavina. Padahal sejak awal bertemu, Aurora selalu memanggilnya mommy. Ada apa dengan anak ini?Aurora turun dari kursi, lalu menggenggam tangan Lavina dan menariknya ke tepian tempat tidur. Keduanya duduk di sana berdampingan.“A
“Om manggil aku? Ada apa?” Lavina menghampiri Auriga yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.Auriga menoleh, satu alisnya menukik ke atas melihat rambut Lavina yang basah. “Saya sudah nyiapin hairdyer di kamar kamu.”“Oh, itu.” Lavina meraba rambutnya sendiri. “Aku lebih suka rambut kering secara alami. Kasihan banget rambut aku kalau terus-terusan dipanasin hairdryer,” katanya sambil melompat duduk di samping Auriga, yang membuat Auriga sedikit berjengit.“Bisa duduk pelan-pelan? Ini sofa, bukan tempat sirkus,” desis Auriga dengan nada kesal.Lavina menyengir lebar. “Maaf.”Kemudian Lavina merebut remote televisi di tangan Auriga tanpa permisi dan memindahkan channel sesuka hati.Rahang Auriga mengetat, ia mengembuskan napas dengan kasar.“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, sesuatu yang cukup serius.” Auriga merebut remote itu kembali dan menaruhnya di meja. “Fokus ke saya, jangan ke televisi.”“Baiklah….”Lavina mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Auriga, kakinya
“Bagaimana? Apa Daddy sudah terlihat seperti seorang pilot sejati?" “Hm! Seragam itu bikin Daddy terlihat seperti pahlawan di film-film! Aku bangga sama Daddy!” Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Aurora saat mendengar percakapan ayah dan anak itu yang samar-samar karena pintunya tertutup. Tawa Auriga terdengar menggema. “Daddy sayang kamu, bahkan jauh lebih sayang dari apapun di dunia ini. Ingat itu baik-baik, hm?” “Iya, Daddy. Aku tahu. Aku juga sayang Daddy! Cepat pulang lagi ya, Dad!” “Hmm….” Suasana di dalam kamar tiba-tiba hening. Lavina yakin di dalam sana, Auriga sedang memeluk putrinya sebelum berpisah untuk beberapa minggu ke depan. Pintu tiba-tiba terbuka. Lavina terkejut tapi tidak bisa menghindar atau pergi dari sana dalam waktu sepersekian detik. Oh, sungguh! Auriga pasti mengira Lavina sedang menguping, walau kenyataannya memang begitu. “Oh? Sedang apa kamu di sini?” tanya Auriga dengan ekspresi datar saat sosoknya muncul di pintu dengan seragam p