Plak!
Wajah Lavina terlempar ke samping. Pipinya terasa kebas dan pandangannya sempat mengabur. Bekas tamparan Mawar tak hanya membekas di pipi saja, tetapi juga di hati.
“Kamu sadar selama ini kamu hidup dengan siapa, hah?! Berani-beraninya kamu nyuri kalung punya orang yang sudah ngerawat kamu!" teriak Mawar dengan wajah merah padam.
Tangan Lavina terkepal. “Udah aku bilang, Ma. Yang nyuri kalung Mama itu Kak Yasa, bukan aku!”
"Halah! Kebiasaan kamu dari dulu selalu nyalahin anak Mama! Yasa nggak mungkin mencuri apalagi sampai mencuri kalung Mama!” seru Mawar lagi, urat-urat di dahinya menonjol, napasnya memburu penuh emosi.
Lavina terdiam. Matanya menatap lantai keramik putih dengan tatapan datar. Bibirnya tersenyum miris.
‘Selalu nyalahin anak Mama.’
Ya, aku emang bukan anak Mama. Aku cuma beban di rumah ini. Mama nggak pernah anggap aku anak. Anak Mama cuma Kak Yasa dan Kak Resa.
“Pokoknya Mama nggak mau tahu. Kembaliin kalung itu, Lavina!”
“Akh!” pekik Lavina saat tubuhnya tiba-tiba terhuyung manakala Mawar mendorongnya. Lavina meringis. Perutnya membentur ujung meja. Ia kemudian menatap Mawar dengan tatapan terluka.
“Emangnya nggak bisa ya Mama percaya sama aku sekali aja, Ma? Kenapa Mama selalu bela Kak Yasa padahal udah jelas kalau Kak Yasa selalu ngabisin uang Mama buat judi dan mabuk? Kenapa?! Apa karena aku bukan anak Mama? Apa karena aku selalu nyusahin Mama?!” teriak Lavina, yang tak bisa lagi menahan diri untuk tidak melawan ibu tirinya itu.
“Seharusnya kamu bersyukur nggak Mama usir dari rumah ini setelah ayah kamu meninggal!” Mawar mengambil majalah dari atas meja, lalu melipatnya dan memukulkannya ke bahu Lavina dengan kasar.
Lavina diam menerima pukulan yang entah pukulan ke berapa ratus kali sejak ayahnya meninggal 6 tahun lalu. Kedua tangan Lavina kembali terkepal. Sesakit apapun hatinya, Lavina tidak ingin menangis.
“Memang benar. Kamu selalu nyusahin Mama! Setelah lulus SMA harusnya kamu cari kerja, ngasih duit buat makan! Bukan malah kuliah dan ngabisin duit terus nyuri barang Mama dan ujung-ujungnya nyalahin Yasa!”
Mawar seakan belum puas melontarkan kata-kata yang membuat hati Lavina terasa pedih.
Bahkan, sekarang ditambah pukulan-pukulan keras di punggung dan kepala. Lavina menutupi kepala menggunakan kedua lengan. Kini lengannya yang menjadi sasaran pukulan Mawar.
Lavina tidak mengerti, sebenarnya apa kesalahan yang pernah ia perbuat sehingga Mawar begitu membencinya?
Lavina selalu dibanding-bandingkan dengan Resa yang bekerja di perusahaan besar.
Memang, sebagian pendapatan Resa selalu diberikan kepada Mawar untuk kebutuhan rumah tangga dan makan sehari-hari. Meski demikian, bukan berarti Lavina tidak pernah berkontribusi, Lavina selalu menyisihkan uang hasil jerih payahnya meski sedikit, untuk Mawar.
Mungkin karena nominalnya tidak sebanyak yang Resa berikan dan itu kurang untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, makanya Mawar selalu melampiaskan kemarahannya kepada Lavina. Seolah-olah Lavina adalah samsak yang tak memiliki perasaan.
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Mawar lantas pergi meninggalkan Lavina sambil berkata, “Mama nggak mau tahu! Gimanapun caranya kalung itu harus kembali!”
Lavina terdiam. Punggung, kepala dan lengannya terasa sakit. Namun ada yang jauh lebih sakit. Hatinya.
Lavina berusaha berdiri meski kepalanya pening. Ia berjalan melewati ruang tamu dan sempat melihat Resa yang sedang memainkan ponsel sambil berselonjor kaki ke meja.
Resa berusia 25 tahun. Dia tumbuh menjadi gadis cantik dan feminin. Karirnya juga cemerlang. Bahkan bulan kemarin Resa mendapatkan mobil. Katanya hadiah dari atasannya.
“Hei! Ke sini! Bersihin high heels gue!”
Lavina menghentikan langkah. Dengan malas ia menatap Resa dan berkata, “Sudah malam, Kak. Aku ngantuk, mau tidur.”
“Jangan belagu.” Resa melemparkan cushion ke kepala Lavina. “Lo harus tahu diri posisi lo di rumah ini sebagai siapa.”
Lavina mengembuskan napas kasar. Tanpa banyak bicara ia berbalik badan lalu berjalan ke dapur.
Tak lama kemudian Lavina kembali dengan handuk kering, lalu mendekati Resa dan berjongkok di hadapannya. Mengambil high heels yang tergeletak di lantai, kemudian membersihkannya dengan handuk yang Lavina ambil barusan.
“Jadi anak kok keras kepala banget, sih. Ngotot banget pengen kuliah, ujung-ujungnya di drop out juga ‘kan?” Resa terkekeh dengan senyuman mengejek, tatapannya tetap tertuju pada layar ponsel. “Buang-buang uang aja.”
“Aku punya mimpi. Semester depan aku bakal lanjut kuliah lagi, kok,” jawab Lavina dengan ekspresi datar.
Resa mendengus. “Mending buang aja mimpi-mimpi lo itu jauh-jauh. Percuma. Nggak bakal jadi kenyataan. Entar lo malah gila karena mimpi lo gak kesampean.”
Tangan Lavina terkepal hingga high heels di tangannya bergetar. Ia bersumpah, akan membuktikan kepada Mawar dan Resa bahwa ia pun bisa menjadi orang sukses.
Pada saat yang sama, dengan sengaja kaki Resa menyenggol kopi panas di atas meja, hingga tumpah ke lengan Lavina yang tengah mengelap high heels, yang membuat Lavina berteriak mengaduh kesakitan dan lengannya terasa terbakar.
“Oops! Sorry, gak sengaja.” Dengan wajah tanpa dosa, Resa beranjak pergi.
Lavina mengetatkan rahangnya. Seketika ia berdiri, lalu melemparkan high heels Resa ke lantai keras-keras. Kemudian menyusul Resa dan menarik rambut Resa yang panjang sekeras yang Lavina bisa.
“Aku sudah muak diperlakukan kayak binatang!”
“Aaaah! Sakit! Mama, tolong aku! Kepala aku sakit, Ma! Aaaah!” teriak Resa. Tangannya terulur ke kepala Lavina dan balas menarik rambutnya.
Mawar keluar dari kamar. Melihat anak kandung dan anak tirinya bertengkar dan saling menjambak, Mawar pun semakin marah. Dia berteriak hingga urat lehernya menonjol, meminta mereka berhenti. Namun mereka tidak ada yang mau berhenti. Akhirnya Mawar menarik paksa tubuh Lavina dan mendorongnya hingga Lavina terjerembab ke lantai.
“Jaga sikapmu kalau kamu masih mau tinggal di rumah ini!” tegas Mawar pada Lavina, sebelum kemudian pergi membawa Resa ke kamar.
Napas Lavina memburu, rambutnya acak-acakan. Ada yang terasa begitu nyeri di dalam dada. Meski tinggal di rumah ini tapi Lavina merasa seperti hidup sebatang kara. Ia tidak punya tempat untuk mengadu. Tidak ada pula orang yang mau membelanya.
Lavina masuk ke kamar dan tanpa sengaja ia melihat selembar kartu nama di meja. Dipandanginya kartu itu sesaat, lalu mengambilnya beserta ponsel dan tas kecil.
Tanpa banyak berpikir, Lavina segera pergi dari rumah yang penuh dengan kenangan pahit tersebut.
***
Ting tong!
Lavina menekan bel sebuah rumah yang sempat ia kunjungi dua hari lalu. Ia merasa sangsi sang tuan rumah mau membukakan pintu, karena saat ini sudah hampir tengah malam.
Meski begitu Lavina tidak menyerah. Ia kembali menekan bel beberapa menit kemudian. Angin malam berembus, menerpa Lavina dan membuat rambutnya yang berantakan melambai-lambai.
Tak disangka, seseorang membukakan pintu. Lavina menegakkan punggung ketika pintu itu perlahan terbuka, kemudian memperlihatkan sosok jangkung yang kini berdiri di hadapannya.
“Se-selamat malam, Om!” sapa Lavina dengan perasaan gugup.
“Kamu?” Kedua alis Auriga terangkat. Ia memindai penampilan Lavina dari ujung kepala sampai kaki. “Untuk apa malam-malam datang ke sini?”
Lavina menggosokkan telapak tangannya yang berkeringat ke celana. Ia terdiam, memastikan bahwa keputusan yang akan ia ambil adalah keputusan yang benar.
“Sebenarnya apa yang—”
“Ayo kita menikah!” sela Lavina dengan cepat sembari mengangkat wajah, mendongak menatap Auriga yang tampak tidak begitu kaget mendengarnya.
“Kamu sedang melamar saya sekarang?”
“Saya sedang menerima tawaran Om waktu itu.” Lavina mengepalkan tangannya yang bergetar, ia menggigit bibir bawahnya sejenak. Ini memang keputusan gila, tapi Lavina tidak punya cara lain untuk keluar dari penderitaan yang ia alami di rumah Mawar, selain menerima tawaran Auriga.
“Saya mau menikah sama Om dan jadi ibu sambung Aurora. Tapi dengan syarat saya harus tinggal di sini dan Om izinin saya kuliah dan biayain kuliah saya. Selain itu, sebagai imbalannya Om harus kasih saya uang buat ganti kalung ibu saya di awal,” ujar Lavina blak-blakan. Ia harus jadi orang sukses, ia akan membuktikan pada Mawar dan Resa bahwa mimpi-mimpinya akan menjadi kenyataan.
Mata Auriga mengerjap. Lalu detik berikutnya ia tertawa hingga bahunya berguncang.
Lavina tidak mengerti apanya yang lucu sampai Auriga tertawa sepuas itu?
Ini pertama kalinya Lavina melihat Auriga tertawa, dan tak bisa dipungkiri bahwa tawanya itu membuat Auriga terlihat semakin menawan.
“Baiklah. Saya juga punya syarat buat kamu,” ucap Auriga setelah tawanya berhenti.
Lavina menelan saliva. Apa itu artinya Auriga setuju dengan syarat yang Lavina utarakan barusan?
“Syarat yang lebih detail-nya akan dijelaskan dalam surat perjanjian. Tapi sekarang, saya berikan dua poin yang paling penting dari semua yang penting.” Auriga menjejalkan kedua lengan ke saku celana. Ia menunduk, menatap Lavina dengan tatapan yang semakin serius.
“Pertama, jadilah ibu yang baik untuk Aurora. Jangan sampai kamu menyakiti dan mengecewakan dia. Dan yang kedua…." Auriga menjeda kalimatnya dengan helaan napas pelan. "Jangan mengharapkan cinta dalam pernikahan kita, karena saya nggak bisa memberikannya untukmu.”
***
“Menikah?” Seketika, Resa tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. “Hey! Emangnya ada cowok yang mau nikah sama lo? Ya… kalaupun ada, gue yakin dia cuma bocah kemaren yang masih minta duit sama orang tua.”Itulah respons pertama Resa setelah Lavina menyampaikan rencananya untuk menikah. Resa seolah tidak percaya Lavina akan mendapat lelaki yang sempurna, karena penampilan Lavina yang jauh dari kata anggun dan berkelas.Lavina hanya remaja yang berpenampilan sederhana, wajahnya nyaris tidak pernah dipoles make up. Sehari-harinya hanya memakai sunscreen dan bedak tipis. Tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya selain lip gloss untuk melembabkan bibir. Tubuhnya pun kecil dan tidak begitu tinggi.Berbeda sekali dengan Resa yang tinggi semampai dan fasionista.Jadi, ketika Auriga datang ke rumah Mawar bersama orang tuanya untuk melamar Lavina, Resa nyaris pingsan karena dugaannya salah besar.Calon suami Lavina bukan bocah kemarin yang biaya hidupnya masih ditanggung orang tu
Siapa dia? Kenapa keluar dari kamar Om Auriga?Lavina mengamati wanita itu yang berjalan semakin mendekat. Saat berpapasan, wanita berambut pirang itu memandangi Lavina sembari tersenyum. Lavina balas tersenyum dan mengangguk.Harum banget, parfumnya pasti mahal. Dalam hati Lavina mengomentari parfum wanita itu yang wangi semerbak dan masih tercium meski orangnya sudah pergi cukup jauh.Langkah kaki Lavina terhenti di depan pintu kamar Auriga, ia menoleh ke punggung wanita itu yang semakin menjauh. Tidak mungkin wanita itu salah satu petugas wedding organizer, bukan? Penampilannya tidak terlihat seperti petugas yang berseragam.“Sedang apa kamu di sini?”“Oh?” Lavina kaget. Ia mengalihkan tatapannya ke depan dan mendapati Auriga yang baru saja membuka pintu.Mata Lavina mengerjap, mulutnya sedikit ternganga melihat wajah segar nan tampan pria di hadapannya itu. Garis rahang Auriga yang tegas memberikan kesan maskulin yang kuat. Matanya seperti permata hitam yang mengilap, seperti mala
“Malam ini aku mau tidur sama Grandma dan Grandpa.” Aurora tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.“Apa?!” Sontak, Lavina membungkam mulut dengan telapak tangan saat ia menyadari suaranya terlalu kencang, hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh ke arahnya. “Tapi… kenapa? Kamu nggak mau tidur bareng aku?”Lavina masih belum terbiasa menyebut dirinya mommy pada Aurora, jadi ia tetap berbicara tidak formal dengan menyebut dirinya aku.“Mau, Mom, tapi nggak malam ini ya? Nggak apa-apa ‘kan, Mom, Dad?Menyadari ia akan tidur satu kamar berdua saja dengan Auriga, Lavina merasa keberatan. Ia lantas menatap Auriga dengan tatapan seolah sedang berkata, lakukan sesuatu!Namun, Auriga hanya mengedikkan bahunya dengan cuek, ekspresi wajahnya tetap datar, tapi tatapannya melembut begitu menatap Aurora di pangkuannya.“Grandma yang meminta kamu tidur di kamarnya, hm?” tanya Auriga dengan suara lembut.Aurora tersenyum lebar dan mengangguk. “Iya, Dad.”“Tapi…,” sela Lavina, “gimana kala
Pria berusia 30 tahun itu mengembuskan napas kasar, air mukanya mendadak berubah serius saat berkata, “Tadi saya cuma bercanda, jangan dianggap serius.”“Hah? Tadi?”“Ya, yang mengajak kamu melakukan itu.” Tangan Auriga sibuk mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk kecil selagi ia menghampiri lemari. “Jangan khawatir, saya nggak akan pernah menyentuh kamu selama kita menikah. Sesuai perjanjian di awal, pernikahan kita hanya sebatas bisnis saja.”Mendengarnya, seketika Lavina mengembuskan napas dengan lega. Ia seolah mendapatkan kembali kekuatannya untuk berdiri.“Kalau gitu Om bisa keluar selama aku mandi?” tanya Lavina sembari melepas cardigan. Gaun pengantinnya sudah ia lepas tadi setelah selesai acara dan dibantu MUA.“Nggak bisa. Saya ngantuk, mau tidur.”“Lho?!! Kok gitu? Terus aku mandi gimana?”“Ya mandi saja. nggak perlu ribet begitu.”“Tapi—”“Masih ingat yang saya bilang tadi siang?” sela Auriga sembari menghampiri Lavina. “Tubuh kamu bukan tipe ideal saya.”Mata Lav
“Nggak akan ada yang berubah dengan kita meski aku sudah menikah. Aku menikahi perempuan itu demi Aurora.” Yoana tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku tahu. Tapi apa dia nggak bakal terluka ya?” Auriga menunduk, menatap tangan Yoana yang turun ke bawah meja dan mengusap pahanya yang dibalut celana denim. Auriga tidak menepis tangan Yoana, hanya membiarkan Yoana berbuat sesukanya. “Seharusnya nggak. Dia sudah aku beri peringatan.” “Baguslah.” Yoana kembali mengangguk. “Cuti berapa lama?” “Cuma tiga hari.” “Kenapa nggak ngambil satu minggu gitu? Biar agak lamaan dikit liburnya.” “Aku akan libur satu bulan kalau pernikahan ini benar-benar pernikahan yang aku inginkan.” Auriga mendengus pelan. Yoana mendecak lidah menanggapinya, lalu mengangguk pada waitress yang mengantar minumannya. Yoana lantas meneguk minuman itu sejenak, dan menaruh kembali gelas dengan elegan ke atas meja. “Seenggaknya kamu bisa ngabisin waktu bersamaku kalau cuti seminggu. Bisa aku jamin cutimu n
"Om pakai parfum cewek ya?!" “Apa?” Lavina mendekati Auriga dan mengendus kaos pria itu di bagian dada. Auriga langsung mundur selangkah, jari telunjuknya mendorong dahi Lavina supaya menjauh. “Apa yang kamu lakukan?” Satu alis Auriga terangkat. “Ish!” bibir Lavina mencebik. “Penampilan aja yang cool, tapi selera parfumnya aneh. Cowok, kok, malah suka pakai parfum cewek? Udah paling bener aku nggak suka sama tipe cowok kayak Om.” Lavina geleng-geleng kepala prihatin lalu berjalan menghampiri lemari. Auriga mengendus tubuhnya sendiri, terdiam sesaat, sebelum akhirnya melanjutkan langkah ke kamar mandi. “Semalam Om nginap di mana? Kenapa nggak balik lagi ke sini?!” seru Lavina, yang membuat langkah Auriga terhenti. Auriga mengembuskan napas dan menatap Lavina. “Di manapun saya menginap, itu—” “Bukan urusanku!” Lavina menyela, melanjutkan kalimat Auriga. Ia tersenyum lebar dan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan ibu jari. “Oke! Aku tahu itu bukan urusan aku, jadi aku ngga
“Saya nggak tahu selera baju kamu, jadi lemarinya masih kosong dan kamu bisa membelinya sendiri.” Auriga menyerahkan sebuah kartu gold pada Lavina. “Huh? Apa ini, Om?” Lavina mengerjap menatap kartu tersebut. Ia tahu itu kartu debet, tapi… untuk apa? “Ini bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu. Saya akan transfer uangnya setiap bulan ke sini,” jelas Auriga seraya menatap Lavina dengan tatapannya yang masih tanpa ekspresi. “Jangan khawatir, ini sudah terisi untuk nafkahmu bulan ini. Gunakan dengan bijak. Dan ini…." Kali ini Auriga menyerahkan sebuah remot kecil pada Lavina yang masih tampan kebingungan. Dan kembali berkata, “Ini kunci mobil. Saya sudah menyediakan satu mobil buat kamu. Gunakan itu untuk keperluanmu.” Lavina tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lidahnya pun mendadak terasa kelu meski banyak hal yang ingin ia ucapkan. Namun, yang bisa keluar dari mulutnya hanya…. “Terima kasih banyak,” lirihnya, “aku akan menggunakannya dengan bijak.” Lavina ragu untuk mengambil kartu da
“Aurora?! Boleh aku masuk?!” seru Lavina sembari melongokan kepala di celah pintu kamar Aurora yang terbuka, bibirnya tersenyum lebar.Aurora sedang menulis di meja belajar. Anak itu menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk.Setelah mendapat izin, Lavina pun menghampiri Aurora. “Hey, rajin sekali! Pagi-pagi udah belajar aja ya?” candanya dengan senyuman lebar yang masih terpatri di bibirnya.Aurora terkikik sembari menutup buku lalu memeluknya di dada, seolah takut buku itu akan direbut Lavina. “Aunty nggak boleh lihat!”“Eh?”Lavina terkejut hingga langkahnya mendadak berhenti di dekat meja.Bukan. Ia bukan terkejut karena Aurora terlihat memiliki rahasia di buku itu. Namun, Lavina terkejut karena panggilan aunty yang Aurora lontarkan barusan.“Aun… ty?” gumam Lavina. Padahal sejak awal bertemu, Aurora selalu memanggilnya mommy. Ada apa dengan anak ini?Aurora turun dari kursi, lalu menggenggam tangan Lavina dan menariknya ke tepian tempat tidur. Keduanya duduk di sana berdampingan.“A