Share

Bab 8 : Malu-maluin

“Halo, Mas Solar! Perkenalkan, kami teman-temannya Hanna! Aku Via dan di sebelahku Elora! Salam kenal, ya!”

“Salam kenal, calon tunangan temen saya yang paling ganteng!”

Hanna mengusap wajah gusar saat dua teman gilanya ini memaksakan diri untuk berkenalan dengan Solar. Lihatlah sekarang wajah Solar yang tampak bingung, bahkan sampai menatap Hanna, seolah meminta penjelasan atas kekacauan semua ini.

Seharusnya, Hanna tinggalkan saja dua orang itu setelah ia selesai salat dzuhur tadi. Kalau tahu bakal malu-maluin begini, ia enggak akan sudi menunggu mereka dari tadi. Sekarang Hanna benar-benar menyesal. Sungguh, Hanna malu punya teman enggak tahu diri kayak mereka!

“I-iya, ini teman-teman aku. Teman kuliah,” ucap Hanna dengan ogah-ogahan.

“Oh, kalau begitu salam kenal.” Sudut bibir Solar terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman formalitas.

“Salam kenal juga, Mas! Mas tau, enggak? Hanna pas menceritakan tentang Anda, dia selalu mesem-mesem, loh! Mas Solar ini katanya ganteng banget! Ternyata memang benar-benar ganteng, ya!” Via menyahut dengan antusias sekaligus melirik Hanna dengan jahil.

Seketika Hanna memucat. Apa yang teman-temannya ini katakan?

“Bener banget! Dia katanya bersyukur banget loh, Mas! Dia kalau cerita ke kita-kita ini terus menggebu-gebu begitu! Pantas saja dia selalu antusias, orang calonnya seganteng ini!” Elora sengaja mengompori Hanna sampai terkikik geli melihat wajah Hanna yang memerah.

“Benar sekali! Mas Solar ini idaman Hanna banget! Udah kayak pangeran berkuda putih~! Makanya, dia tuh suka malu-malu kucing begini. Iya enggak, Han? Jujur aja, udah! Hahahahaha!” Via tertawa puas melihat wajah Hanna yang semakin memerah.  

“Argh! Sudah kalian pergi sana!” seru Hanna, sudah kelewat malu karena dua teman gilanya ini. Tangannya langsung mendorong dua temannya itu untuk menjauh. “Pergi sana! Hush! Hush!”

“Tuh, kan! Dia udah enggak sabar buat berduaan, nih! Makanya ngusir-ngusir kita gitu!”

“Iya! Mentang-mentang udah ada calon, sekarang maunya berduaan terus! Enggak apa-apa sih, asalkan nanti undang-undang, ya! Hahahahaaha!”

“Ih, kalian ini!” Hanna mengepal tangan dan menggeram malu. “Awas kalian, ya!”   

“Kabuuurr! Ahahahahaha!”

Via dan Elora tertawa puas dan kabur begitu saja ketika Hanna sudah bersiap memukul mereka berdua. Terlihat sangat jelas betapa jahilnya dua orang itu yang sampai mengedipkan mata nakal pada Hanna saat berlari menjauh.

Hanna sudah tidak tahu harus berwajah seperti apa di depan Solar. Hancur sudah semuanya. Ia sampai menutup wajahnya yang semakin memerah, merutuki dua orang yang telah membuatnya seperti ini. Seharusnya, ia bisa menikmati waktu siang dengan tenang dan mendekatkan hubungan dengan Solar. Bukannya menanggung malu seperti ini.

Sumpah, malu-maluin banget sih mereka!  

“Aku enggak tahu kamu punya teman seperti mereka.” Solar membuka suara, tampak menahan senyum dengan jemarinya yang terkepal ringan. Dilihatnya Hanna yang masih menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Maaf, ya. Teman-temanku kalo ngeledek emang enggak ada otak,” ucap Hanna, masih menahan malu di balik telapak tangannya.

“Santai aja,” sahut Solar, masih memperhatikan Hanna di sebelahnya. “Mau sampai kapan kamu di sana? Ayo.”

Hanna menarik napas panjang sebelum membuka kedua telapak tangannya. Wajahnya masih panas, tetapi sudah tidak semerah tadi. Beruntung Solar sudah berjalan di depannya sehingga tidak perlu melihat bagaimana mukanya saat ini.

Awas saja kalian! Dasar Via! Dasar Elora!   

********

Sejujurnya, Hanna masih menahan malu karena terus teringat perbuatan dua teman gilanya yang malu-maluin. Namun, begitu sampai di sebuah mall mewah, seketika Hanna melupakan rasa malunya, bergantikan dengan rasa kagum melihat seisi mall yang tak pernah ia pijaki sebelumnya. Kedua manik coklatnya berbinar tanpa sadar, amat sangat terpukau saat melihat benda-benda yang terpajang di sana.

Semuanya terlihat mewah, apik, dan mahal. Barang-barang berlapis branded bertebaran dimana-mana. Bukan hanya pajangan yang tampak mewah, tetapi pengunjungnya pun juga tak kalah memukau mata. Kali ini Hanna tidak menyesal karena sudah berpakaian rapi sejak pagi dan telah memoles ulang wajahnya dengan make-up tipis sebelum Solar datang. Setidaknya, ia tidak seperti upik abu yang mengikuti langkah majikannya.

“Mau kemana dulu?” tanya Solar, melirik Hanna sekilas.

Hanna tampak berpikir sesaat, tapi akhirnya mengendikkan bahu. “Terserah kamu aja. Aku enggak begitu familiar dengan mall ini.”

“Hm, kalau gitu lihat cincin dulu aja, ya?”

Hanna hanya mengangguk ketika Solar berjalan di depannya. Tanpa sadar, tatapannya beralih pada punggung Solar. Langkah lelaki yang begitu tegap, tubuhnya yang terlihat atletis, dan aroma parfum pria yang masih tercium meski mereka hanya berjarak dua langkah. Ia baru sadar kalau penampakan Solar dari belakang ternyata sudah terlihat begitu tampan.

Buru-buru Hanna menggelengkan kepalanya, menghapus pikiran nista itu. Ia tidak mau melihat pesona Solar, meski ia memang tidak bisa membantah kalau Solar memang tampan. Ia tidak mau disamakan dengan gadis-gadis di luar sana yang menilai dari ketampanan seseorang.

Hanna kembali merutuki isi kepalanya yang mulai berpikiran aneh, sepertinya ia telah terprovokasi akibat ucapan Via dan Elora tadi.

“Selamat datang, Tuan Hamid. Kami telah menunggu kedatangan Anda sedari tadi.” Seorang pelayan wanita menyambut dengan ramah begitu mereka sampai di sebuah toko perhiasan.

Hanna memiringkan sedikit kepalanya, bingung dengan panggilan ‘Hamid’. Begitu Solar membalas pelayan itu dengan senyuman, barulah Hanna sadar kalau Hamid adalah nama belakang sekaligus nama keluarga Solar. Ia baru ingat kalau Solar dikenal dengan sebutan ‘Tuan Hamid’ kalau di dunia luar.

“Wah, pasti ini calon tunangan Anda, ya. Cantik sekali.” Pelayan tersebut beralih pada Hanna yang berada dua langkah di belakang Solar. “Mari saya tunjukkan model yang cocok untuk Anda.”

Hanna hanya bisa diam mengikuti langkah Solar saat beranjak ke salah satu etalase perhiasan. Terlihat macam-macam kalung, cincin, anting emas yang tampak berkilau dengan pajangan harga yang memukau. Hanna tak bisa melepaskan pandangannya begitu melihat salah satu nominal dari cincin yang ada di sana.

Jika dia disuruh membayar, pastilah dia tidak sanggup untuk melunasi semuanya dalam sesaat. Matanya saja sampai tak tahan melihat seberapa banyaknya angka nol di sana.

“Hanna, kamu mau yang kayak gimana?”

Hanna tersentak, sadar dari lamunannya. Ia pun memasang pose berpikir, celingak-celinguk memperhatikan macam-macam cincin di dalam etalase bening tersebut dan tampak ragu. Sebenarnya semua bagus, bahkan jika Solar memilih acak pun, dia pasti akan menyukainya. Hanya saja Hanna tidak berani memilih yang mahal, tetapi di cincin di sini di atas sepuluh juta semua. Ia tidak enak, takut kalau Solar akan memikirnya cewek matre.

“Ada rekomendasi enggak, Mbak?” tanya Hanna pada pelayan yang ada di depannya. Pelayan itu pun tersenyum dan mengeluarkan sebuah kotak cincin merah.

 “Tentu saja ada. Ini dia rekomendasi kami. Three stone diamond ring klasik dari Eropa. Jenis diamondnya menggunakan berlian asli satu carat dengan total berlian 47 biji. Berat cincinnya lima gram. Bagaimana?”

Hanna tidak bisa menahan diri untuk tidak kagum melihat cincin cantik di depannya saat ini. Cincin bermodelkan three stone diamond ring itu berwarna putih dengan ukiran yang begitu apik. Begitu ia coba, ukurannya pun kebetulan pas dan terlihat begitu cantik. Tidak terlalu menor, tapi terkesan klasik dan cantik di pandang mata.

Namun begitu melihat harga yang tertempel di sana, sepasang manik hitam itu langsung melotot. Harganya melebihi lima belas juta. Astaga, mahal sekali!

“Kamu suka?” tanya Solar, mendekati Hanna yang masih syok dengan harga.

Hanna mengangguk pelan, tak bisa melepas pandangan dari cincin tersebut. “Suka, cuma harganya—”

“Kalau begitu, kami pilih yang ini, Mbak. Tolong disiapkan, ya. Nanti, suruhan saya yang mengambil.”

Refleks, Hanna mendelik tak percaya melihat Solar sebegitu mudahnya memesan. Kemudian ia beralih pada pelayan yang langsung tersenyum sumringah dan mengangguk semangat sambil menutup box cincin tersebut. Hanna tidak percaya kalau cincin itu benar-benar dibeli oleh Solar.

“Solar, kamu serius?” bisik Hanna sebelum mereka benar-benar beranjak dari etalase tersebut. “Itu harganya … harganya ….”

Solar menaruh telunjuknya di bibir Hanna, membungkam gadis itu. “Masalah uang enggak usah khawatir.”

Hanna memerah, malu sekaligus membeku karena tiba-tiba Solar menunjukkan sisi gentlemannya seperti ini. Terlebih ketika ia menarik Hanna untuk keluar, Hanna hanya bisa mengikutinya dalam diam. 

“Terima kasih, Tuan Hamid. Semoga hari Anda menyenangkan.”

Solar hanya mengangguk dan mengajak Hanna untuk beralih ke toko lain. Diam-diam Hanna melirik punggung Solar, memikirkan betapa enaknya orang kaya yang tidak perlu pikir dua kali untuk menghamburkan uang. 

Bahkan untuk cincin lima belas juta pun, bisa langsung dibeli tanpa pikir panjang. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya.

“Terima kasih, Solar.” Hanna bergumam kecil. 

Solar menoleh, menatap Hanna dengan bingung. “Untuk?”

“Buat tadi. Cincin tadi. Aku … enggak pernah berpikir ada yang mau membelikannya untukku,” jawab Hanna dengan jujur. Jika ia tidak dijodohkan dengan Solar, mungkin saja ia tak akan pernah bisa melihat cincin sebegitu mahalnya.

“Tidak masalah.” Solar mengangguk sekenanya. Menyadari kalau Hanna yang tiba-tiba berjalan di belakangnya, ia memelankan langkahnya dan berjalan berdampingan dengan Hanna.

Hanna tersenyum tipis, menyadari ekspresi Solar yang tak lagi datar. Sepertinya bertunangan dengan Solar tak begitu buruk. Atau … belum terlihat buruk?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status