“Terkadang, orang baru menyadari hal terpenting dalam hidupnya, yang sudah banyak dia sia-siakan, ketika kematiannya sudah dekat di depan mata.”
***
“Bawa dulu ke ruang ganti, perawat anestesi ready kan? Ada residen anestesi? Panggil!”
Anggara panik, masalahnya operasi belum selesai dan penata anestesinya terkapar entah apa yang terjadi. Beberapa paramedis masuk, membawa tubuh itu keluar dari OK, di susul seseorang yang sudah siap dengan masker dan segala peralatan lain masuk menggantikan posisi Nadya.
“Residen anestesi?” tanya Anggara yang belum bisa tenang sebelum posisi Nadya tergantikan.
“Iya, Dokter.” Jawab laki-laki itu yang Anggara sendiri tidak tahu dia siapa.
“Tahun ke ...,”
“Tahun akhir, Dok!”
Anggara hanya mengangguk pelan, dia sudah chief residen, itu artinya dia sudah kenyang pengalaman keluar masuk OK, menanggani kondisi demikian. Mata dan pikiran Anggara fokus pada obyek bedah da
“Komitmen itu tentang kata hati, bukan apa yang memaksamu untuk pergi.”***“Sayang! Tunggu!”Anggara dengan panik berlari mengejar langkah itu. Kenapa isterinya bisa ada di sini? Dia begitu rapi dengan snelli-nya, apakah dia ada on call juga? Siapa yang malam-malam begini menyuruhnya datang kemari? Perlu Anggara bilang bahwa dia melarang Selly on call tengah malam begini? Tapi mana bisa? Tidak profesional namanya!Anggara terus berlari, tidak peduli selepas dia memaksa Nadya lepas dari pelukannya tadi, wanita itu sontak menitikkan air mata dan terisak. Anggara benar-benar tidak peduli, yang dia pedulikan sekarang hanyalah isterinya, bukan siapa-siapa.“Sayang, tunggu!”Anggara berhasil meraih tangan itu, menariknya hingga ia berhenti berlari. Tampak Selly mencoba melepaskan genggaman tangan itu, namun sia-sia, ia kalah tenaga.“Lepas!” Selly memberontak, namun
Anggara sudah sampai depan pintu kamar mereka, ia menghela nafas panjang, menekan knop pintu dan menemukan Selly yang masih dengan bajunya tadi duduk bersandar sambil meluruskan kaki di atas ranjang.Mata mereka bertemu ketika Anggara masuk kedalam, sebuah tatapan mata yang tidak ramah, Anggara tahu itu.Anggara mendekat, duduk di tepi ranjangnya dan meraih tangan Selly, kembali berusaha meluluhkan hati sang isteri."Aku minta maaf, Sayang," desisnya lirih.Selly tidak menggubris, matanya kembali berkaca-kaca, kembali menitikkan air mata. Anggara makin erat menggenggam tangan sang isteri, satu tangannya menyeka air mata Selly yang menitik."Tau nggak sih kalau aku sayang sama kamu, Ko? Udah terlanjur cinta sama kamu? Kalau begini jadinya tau begitu aku nggak us-."Anggara menempelkan telunjuknya di bibir sang isteri, melepas genggaman tangannya dan meraup wajah Selly yang masih berurai air mata itu. Mata Anggara ikut memerah, ia tidak suka m
“Hal yang paling menakutkan itu ternyata adalah ketika kamu menantikan vonis untuk dirimu sendiri, menantikan jawaban tentang apa yang selama ini kau pertanyakan tanpa ada jawaban.”***“Bisa bangun, kan?” tanya Anggara yang tengah menggedong Gilbert itu sambil tersenyum jahil.Selly yang masih begitu berat membuka mata itu hanya mencebik, kembali menaikkan selimut dan memejamkan matanya. Badan Selly rasanya lemas tidak bertenaga, persendiannya terasa seperti lepas dari tubuh, sungguh ia tidak punya daya pagi ini.Anggara menatap sang isteri dengan senyum yang belum mau pergi dari wajahnya itu. Kenapa rasanya sebagai laki-laki ia begitu senang dan bahagia melihat Selly terkulai lemas seperti ini? Ahh ... Anggara rasa bukan hanya dirinya yang bahagia dengan pemandangan ini, laki-laki manapun pasti juga akan merasakan hal yang sama, bukan?“Sayang, masih harus koas, kan? Yuk bangun!” tidak
“Ada hal yang sama sekali tidak bisa manusia rubah, sebanyak apapun uangnya, setinggi apapun jabatan mereka. Dan hal itu adalah kematian yang sudah Tuhan tuliskan dalam daur hidup mereka.”***Anggara buru-buru belok ke poli gigi dan mulut begitu melihat sosok itu melangkah keluar dari poli saraf. Ia tidak mau berurusan lagi dengan Nadya, sudah cukup dia dua kali ribut dengan sang isteri gara-gara perempuan satu itu. Anggara tidak mau!Nadya masih tampak begitu pucat dan ia melangkah dengan begitu tenang menyusuri koridor rumah sakit. Bajunya belum ganti, dan Anggara pastikan dia tidak pulang semalam.“Dok ... ngapain?”Anggara terkejut sampai hampir berteriak ketika tangan itu menyentuh pundaknya, untung dia tidak sampai berteriak. Kalau sampai Anggara berteriak, sudah dia pastikan Nadya akan mengetahui keberadaannya.Anggara menoleh dan mendapati Denta, dokter gigi spesialis orthodonti itu
“Jangan terlalu memikirkan orang lain, terkadang diri sendiri perlu kau pikirkan, kau utamakan.”***Nadya masih berada di ruang residen ketika ponselnya berdering dan mendapati dokter Ridwan meneleponnya. Jantung Nadya seperti berhenti berdetak, dengan tangan sedikit bergetar, ia mengangkat panggilan itu.“Hallo, hasil pemeriksaan saya sudah keluar, Dok?” Nadya menahan nafasnya, ia benar-benar penasaran dang sangat ingin tahu hasil dari pemeriksaan menyeluruhnya tadi.“Sudah, bisa ke ruangan saya, Dok?”Nadya memejamkan matanya, kenapa rasanya seperti menantikan eksekusi mati? Kenapa rasanya ia begitu takut melangkahkan kaki kesana? Nadya menghela nafas panjang, mengangguk pelan dan kembali bersuara.“Baik, saya kesana, Dokter.”“Ok saya tunggu, Dok.”TUTNadya meremas ponsel dalam genggamannya, jantungnya makin tidak karu-karuan. Bagaimana hasil pemeriksaannya
“Kok manyun, kenapa Sayang? Capek?” Anggara tersenyum kecut ketika melihat sang isteri tampak begitu murung ketika naik ke mobil. Mereka sudah harus pulang sore ini.“Agak pusing, kita pulang yuk, pengen istirahat.”Anggara mengulurkan tangannya, mengelus kepala sang isteri dengan lembut dan membawa mobil itu keluar dari halaman rumah sakit. Sesekali ia melirik Selly yang nampak sangat tidak bersemangat itu. Ada apa dengan isterinya? Kenapa ia tampak begitu lain?“Habis kena marah konsulen?’ tanya Anggara yang begitu penasaran.Selly hanya menggeleng perlahan, ia malah menyandarkan tubuhnya di jok dan memejamkan matanya, membuat Anggara tersenyum kecut dan tidak banyak bertanya lagi. Fokusnya pada jalanan dan segera mungkin sampai ke rumah agar sang isteri bisa segera istirahat.Walau dalam hati Anggara ia begitu penasaran pada perubahan wajah dan mood sang isteri, namun ia tidak berani banyak bertanya, ia percay
"Jadi seperti ini rasanya takut kehilangan?"***Selly sudah sibuk berkutat di depan MacBook miliknya, ia sedang fokus mengerjakan presentasi kasusnya sebagai tugas akhir di stase obsgyn. Setelah ini, dia akan pindah stase, entah stase apa lagi, yang jelas ia sudah begitu siap.Ia begitu serius dengan MacBook-nya, sementara Gilbert tengah bersama sang papa."Besok jadi dokter bedah sehebat bapak kau ini ya, Sayang."Anggara menimang Gilbert yang sudah begitu harum dengan aroma minyak telon berpadu dengan hair lotion itu, harum yang begitu menenangkan."Jadi internis kayak mamamu aja, Sayang!" Selly berteriak dari hadapan laptopnya, apaan sih pakai di doktrin harus jadi dokter bedah? Curang!"Elah selesaikan dulu presentasi mu, Sayang. Buat betul-betul, jangan hilang lagi flashdisk mu." Anggara melirik Selly yang nampak begitu serius dengan presentasi yang tengah dia buat itu.Selly mencebik, ia kembali fokus pada MacBook di
Selly menggebuk gemas lengan sang suami, nafasnya tersenggal-senggal. Anggara kembali memacu tubuhnya dengan luar biasa panas malam ini. Membuat tubuh Selly rasanya lemas tidak bertenaga. Nampak Anggara terkekeh, bergegas bangkit dan melangkah ke kamar mandi sambil membawa pakaiannya.Selly menutupi tubuhnya yang masih polos itu dengan bedcover, benar kata sang suami, mata Selly sontak langsung terasa begitu berat dan tidak perlu waktu lama, Selly langsung terlelap di balik selimutnya, mengabaikan Anggara yang masih sibuk membersihkan diri selepas bermandikan keringat bersama malam ini. Siapa sih yang tidak tergoda dengan mulus kulit sang isteri itu? Anggara laki-laki normal, jadi jangan salahkan dia kalau dia begitu menggebu berhasrat pada sang isteri.Anggara menyeka rambutnya yang sedikit basah efek dia yang mencuci wajahnya, tersenyum melihat sang isteri sudah tertidur begitu pulas di balik selimut.“Nah ... apa aku bilang? Kau sih nggak pe